
(foto: Kabelan Ngoopi Kendal)
Ekshibisi film beberapa tahun belakangan ini mengalami perkembangan yang menarik. Setidaknya, sejak 2015, kegiatan jenis ini menjadi kegiatan favorit di ranah komunitas film, berdampingan dengan kegiatan produksi film yang sebelumnya mendominasi. Di daerah-daerah tak berbioskop, layar-layar mandiri milik komunitas tak jarang menjadi satu-satunya ruang menonton film bagi warga setempat. Di banyak daerah lainnya, layar mandiri menjadi alternatif dengan menayangkan film-film yang tidak bisa tayang di bioskop setempat, baik karena batasan sensor maupun karena kebijakan pasar.
Ekshibisi yang diadakan komunitas film membuka sejumlah peluang. Di satu sisi, ia memantik kegiatan bahkan kultur apresiasi film. Di sisi lain, hadir pula peluang ekonomi. Sebelumnya, penayangan film di tingkat komunitas identik dengan kegiatan cuma-cuma. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, makin lumrah bagi komunitas film menarik tiket masuk untuk layar mandiri yang diselenggarakan. Penayangan film menjadi opsi untuk menghasilkan uang dan menghidupi komunitas-komunitas sehingga bisa terus hidup dan berkegiatan.
Bagi saya pribadi, motivasi ekonomi tidak kalah penting. Dalam banyak hal, ia menunjukan bahwa komunitas-komunitas film ingin lebih menjejak lagi dalam semesta perfilman, menjadi wadah bagi film-film (Indonesia) yang rentan tergerus mekanisme pasar. Komunitas-komunitas ekshibisi film tak hanya ingin meminta film, tapi juga memberi sebuah timbal balik pada film-film yang ingin mereka putar dan akhirnya membangun sebuah keuntungan mutual. Pemilik film bisa mendapat opsi distribusi serta ruang apresiasi bagi karyanya, sementara penayang film bisa mendapat timbal balik ekonomi.
Dua tahun sebelum pandemi COVID-19, saya sebagai selaku bagian dari komunitas penayang film mulai merasakan sejumlah keterbatasan ruang gerak. Ekshibisi alternatif semakin sulit menghadirkan tayangan yang beragam atas berbagai alasan, salah satunya adalah belum terbukanya pembuat film terhadap pemutaran alternatif. Sementara itu, kerumitan operasional masing-masing komunitas penayang film untuk melakukan kegiatan ekshibisi—mulai dari merancang program, menghubungi pihak film, memastikan materi sampai dan dapat diputar, hingga promosi dan publikasi—merupakan kerja-kerja yang komitmennya tak bisa dinihilkan secara ekonomi.
Jumlah penonton pun merosot, sementara ada beban tetap operasional yang harus ditanggung. Memang ada beberapa inisiatif yang diselenggarakan beberapa kelompok sekaligus, sehingga ongkos dan tenaga penyelenggaraan bisa ditanggung secara kolektif, namun sifatnya insidental. Kalau memang ada kemiripan tayangan film antara satu ruang putar dan lainnya, mungkinkah komunitas penayang film membangun suatu sistem bersama yang efektif dan efisien?
Pandemi COVID-19 memaksa banyak komunitas penayang film beristirahat sejenak. Bagi saya pribadi, ini menjadi kesempatan merefleksikan bagaimana dunia ekshibisi film pada masa mendatang. Dengan mempertimbangkan potensi yang ada, saya rasa kita bisa membaca arah industri global saat ini dan menengok kembali pergerakan di masa lampau.
Raksasa-raksasa global sudah mulai mendisrupsi dirinya sendiri. Terakhir ada kabar bahwa dua film Warner akan ditayangkan pada waktu bersamaan di kanal digital dan bioskop komersial. Lalu, bagaimana dengan perfilman khususnya ekshibisi film di Indonesia nanti? Bila film-film studio besar sudah berubah alur distribusinya, apakah aturan atau praktik umum yang menyatakan film harus ditayangkan di bioskop dulu baru ditayangkan di tempat-tempat lain (termasuk bioskop alternatif) masih tetap berlangsung? Belum lagi, selama masa transisi, bioskop masih harus membatasi daya tampungnya, sementara jumlah film yang butuh layar (termasuk film yang tertunda tayang selama pandemi) terus bertambah. Layar-layar mandiri komunitas bisa berperan melalui kekhasannya. Lebih dari sebatas tambahan layar, komunitas penayang film bisa menyajikan kuratorial film yang berbeda dengan bioskop, pengalaman ruang yang lebih bersahaja, suasana diskusi yang lebih intens, dan sebagainya.
Para komunitas penayang film perlu mekanisme baru yang bisa dieksplorasi bersama agar kegiatan ekshibisi alternatif bisa hidup berkelanjutan. Misalnya dengan membuat jaringan distribusi antar komunitas, agar pemilik film juga lebih yakin untuk menayangkan filmnya di ruang putar alternatif karena telah memahami potensi ekonomi di dalamnya dan tidak direpotkan harus dihubungi satu persatu oleh penayang film. Kedua, ruang-ruang putar ini (termasuk bioskop komersial yang saat ini masih mencoba pulih) dapat lebih aktif berpartisipasi dalam mendorong keragaman konten, entah patungan dengan skema koperasi untuk mengimpor film atau malah ikut memproduksi film. Kita tentu sudah akrab dengan berbagai layanan streaming yang telah memproduksi konten sendiri demi membangun relevansi layanannya pada pelanggan, dahulu pun berbagai bioskop independen lokal ikut aktif memproduksi film lokal untuk nantinya mereka putar. Model-model seperti ini bisa diadaptasi dan sesuaikan dalam kerangka pemutaran alternatif. Toh, bioskop-bioskop komersil selama ini juga telah memiliki film-film sendiri untuk mereka tayangkan dan edarkan.
Tanpa adanya rumusan baru, kita hanya akan kembali pada kerutinan yang sama pasca pandemi, kerutinan yang bisa jadi tak lagi tepat guna dan mungkin membebani banyak pihak. Malah bisa jadi lebih sulit untuk membangun budaya menonton di ruang alternatif ketimbang sebelum pandemi COVID-19. Besar kemungkinan, pasca longgarnya batasan kegiatan di luar rumah, ruang-ruang menonton akan kebanjiran penonton. Bioskop-bioskop akan ramai, begitu juga dengan layar-layar mandiri milik komunitas. Tapi, momentum itu jelas tak akan bertahan lama. Bagaimana dengan masa-masa setelahnya? Perlu kita ingat, berbeda dengan bioskop komersil yang punya tempat tetap serta mendapat pemasukan tambahan dari penjualan makanan dan minuman, komunitas penayang film umumnya hanya menumpang lokasi dan tidak memiliki kegiatan ekonomi lain untuk subsidi silang kegiatan.
Seperti halnya isu-isu lain di republik ini, pandemi sebenarnya hanya memperjelas masalah-masalah yang laten sejak lama. Inilah saatnya berstrategi untuk menyikapi peluang dan tantangan masa mendatang, mendisrupsi diri sendiri agar tak hanya disetir oleh bagaimana pemain besar bergerak.
REFERENSI
Devy Octafiani, Kinosaurus Ruang Alternatif Pemutaran Film di Kemang Umumkan Tutup, detik.com, 2 Desember 2020.
Fathurrozak, Menonton dan Belajar Film, mediaindonesia.com, 22 April 2018.
Isma Savitri, Asyiknya Nonton Film Sambil Ngejamu di Paviliun 28, tempo.co, 17 April 2015.
Wike Dita Herlinda, MICROCINEMA: Menyimak Pergerakan Ruang Tayang Film Alternatif, bisnis.com, 15 November 2016.