Saya menulis artikel ini berdasarkan pengalaman menangani program film pendek untuk festival film. Keterbatasan daya ingat saya dalam membahas semua film pendek tak dapat terhindarkan, mengingat sudah banyak film pendek Indonesia yang saya tonton sejak1998. Saya selalu memberikan perbandingan antara film-film pendek lama (produksi sebelum 2010) dengan yang terbaru. Beberapa film pendek lama yang saya bahas di sini mudah diakses karena sudah diunggah pembuat filmnya di berbagai media internet. Cakupan film pendek yang dibahas tidak terbatas pada jenis film pendek tertentu, mulai dari dokumenter, fiksi, animasi, eksperimental, hingga gabungan jenis-jenis tersebut. Batas durasi film pendek pun bertambah menjadi maksimal 60 menit, karena durasi film dokumenter pendek umumnya memakan waktu di atas 30 menit. Pencantuman jenis, durasi, dan tahun produksi film menjadi penting agar dapat memberikan gambaran utuh mengenai identitas sebuah film.
Hubungan antara sinema dan kota dalam film-film pendek Indonesia saya ibaratkan surat cinta yang ditujukan pembuat film pendek kepada kota. Saya membaginya secara sederhana ke dalam dua kategori. Pertama, film pendek yang bercerita mengenai sebuah subjek atau tokoh di mana lokasi hanya berfungsi sebagai latar atau pendukung cerita. Pada kategori ini, cerita film tidak menekankan secara spesifik terjadi di kota tertentu atau bahkan dapat terjadi di mana saja di Indonesia. Kedua, film pendek yang menggunakan latarserta simbol penanda suatu kota sebagai bagian utama cerita, biasanya juga mengangkat permasalahan sosial dan menampilkan budaya lokal yang khas dari kota tersebut. Film pendek yang masuk pada kategori kedua ini yang menjadi fokus tulisan saya. Dan karena saya lahir dan besar di Jakarta, maka film-film pendek Jakarta saya bahas secara terpisah pada bagian akhir tulisan.
Catatan Terserak Program 3 Cities Short Film Festival
Hubungan kota dan sinema menjadi sangat berarti dalam 3 Cities Short Film Festival, festival dua tahunan yang pernah berlangsung pada 2006, 2008, dan 2010. Selain film pendek yang dibawa Boemboe, festival yang diadakan Boemboe secara bersamaan di tiga kota (dua hari di setiap kota) ini juga memutar film pendek yang berasal dari ketiga kota tempat festival 3 Cities diadakan. Tantangannya adalah menemukan mitra penyelenggara serta film pendek lokal, karena ketiga kota justru dipilih berdasarkan kota yang film-film pendeknya belum tertangkap radar Boemboe. Tidak semua film pendek tersebut secara khusus bercerita mengenai kota. Tujuan program ini ialah untuk mendapat capaian bentuk dan gaya film pendek khas setiap kota, serta permasalahan aktual anak mudanya, selain untuk saling memperkenalkan film pendek kepada publik di ketiga kota.
Pada 3 Cities edisi pertama di Cirebon, Salatiga, dan Jember, Boemboe gagal menemukan film dari Cirebon. Mitra kami, UKM Seni & Budaya Universitas Swadaya Gunung Jati (UNSWAGATI), baru kali pertama mengadakan acara film dan belum berjejaring dengan pembuat film pendek Cirebon. Kami lalu memilih satu film pendek karya mahasiswa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) asal Cirebon, walau sebenarnya film tersebut merupakan produksi Jakarta. Pada hari pertama festival, seorang anak jalanan memberikan kaset mini DV berisi sebuah film pendek—ia terlibat sebagai salah satu pemainnya. Kami putuskan memutar film tersebut pada hari kedua dengan kehadiran sang sutradara, Elsa Dudi, pada sesi diskusi.
Film fiksi berjudul Emperan (durasi 15 menit, 2006) ini bercerita tentang kehidupan tiga orang anak jalanan. Mereka harus menghadapi kecurigaan hingga tuduhan kriminal, permasalahan utama anak jalanan yang sering dicap sebagai ‘sampah masyarakat’. Pengambilan gambar melalui kamera handheld berhasil menangkap sudut pandang dilematis anak jalanan, antara menjadi warga masyarakat yang baik atau bertahan hidup. Ternyata permasalahan anak jalanan tidak hanya milik kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.
Pada 3 Cities kedua di Pontianak, Banjarmasin, dan Balikpapan, mitra lokal Boemboe di Pontianak, Yayasan Bidar membuat program tambahan berupa pemutaran dan bedah film pendek lokal. Program ini menunjukkan film-film pendek Pontianak yang cenderung sederhana, penuh aksi, dan jenaka. Dengan kata lain, film-film ini lebih fokus pada mengejar bentuk sehingga masih kurang menggarap konten, seperti permasalahan lokal.
Untuk program film lokal 3 Cities, kami memilih film fiksi Pontianak karya Rayhan Bayu Wicaksono berjudul Belajar (Bukan Lelucon) (durasi 4 menit, 2008). Secara jenaka, film ini mempertanyakan penghargaan terhadap karya seni yang seringkali diabaikan di Pontianak. Hadir pula film fiksi asal Balikpapan yang berjudul Bias Kelam (durasi 8 menit, 2008) karya Afen Yani Sandi. Perlakuan diskriminatif masyarakat terhadap sebuah keluarga yang salah satu anggotanya menjadi teroris berhasil diceritakan secara sederhana namun efektif. Kedua film ini, bagi saya, berhasil membuka wawasan permasalahan lokal dari setiap kota.
Penyelenggaraan 3 Cities edisi ketiga diadakan di Maumere, Bangkalan, dan Mataram. Boemboe memutar film peraih penghargaan Film Terbaik & Terfavorit Penonton Eagle Awards 2008 yang berjudul Prahara Tsunami Bertabur Bakau (durasi 15 menit) karya Emanuel Tome Hayon dan Mikhael Yosviranto. Dokumenter ini fokus pada usaha milik Baba Akong dan istrinya dalam menanam bakau seluas 23 hektar di pesisir pantai Ndete, Maumere, setelah dilanda tsunami pada 1992. Kami sempat mengunjungi Baba Akong di rumahnya serta hutan bakau yang beliau tanam.
Sayangnya, ketika 3 Cities Maumere berlangsung, kedua sutradara dan Baba Akong berhalangan hadir. Maka pada sesi diskusi kami mengundang Chosin Lelo, seorang pembuat musik video band lokal dan memutarkan salah satu karyanya yang mengambil latar di gedung bekas bioskop. Saat itu, seperti halnya Mataram dan Bangkalan, sudah tidak ada lagi bioskop yang beroperasi di Maumere. Gedung bioskop di ketiga kota ini sudah beralih fungsi, atau tersiakan menjadi gedung kosong yang terlantar.
Film Pendek Indonesia Tentang Kota dalam 15 Tahun Terakhir
Ada beberapa pembuat film pendek Indonesia yang secara sadar mengangkat permasalahan kota tempat mereka tinggal serta menggunakan film pendek karyanya sebagai pernyataan sikap atas permasalahan tersebut. Dalam hal ini, Bowo Leksono yang terdepan, baik melalui karyanya sendiri maupun bersama komunitasnya, CLC Purbalingga. Dari film fiksinya yang paling populer, Peronika (durasi 13 menit, 2004), hingga dokumenter Banjaran Menolak Sampah! (durasi 45 menit, 2013), Bowo selalu konsisten mengangkat permasalahan yang terjadi di kota Purbalingga serta wilayah Banyumas pada umumnya. Dalam film-filmnya, tampak kebanggaan sekaligus keprihatinan atas apa yang terjadi di Purbalingga.
Kesadaran ini berpengaruh besar kepada peserta workshop film SMA yang rutin Bowo fasilitasi bersama CLC setiap tahun. Generasi pembuat film setelah Bowo rata-rata juga jeli menangkap permasalahan kota Purbalingga ke dalam film pendek. Contohnya film fiksi Ali-Ali Setan karya Putri Purnama (durasi 6 menit, 2015) yang bercerita tentang perkelahian akibat memakai cincin batu akik ke sekolah. Film ini menyoroti fenomena demam batu akik yang melanda jajaran pegawai negeri kota Purbalingga. Ketika salah satu tokoh utama membuang cincin batu akik di akhir film, jelas sudah pernyataan sikap sutradara atas fenomena ini. Film-film pendek Purbalingga secara cerdas mempertanyakan permasalahan aktual kota melalui sudut pandang keseharian warga Purbalingga.
Pembuat film Yogyakarta juga sering membicarakan kota dan permasalahannya. Pada film Jalan Sepanjang Kenangan (durasi 30 menit, 2007), Eddie Cahyono menyajikan kisah seorang suami dengan istri yang sedang mengidam dan upaya mereka mengingat kembali kenangan melalui kunjungan ke alun-alun, salah satu landmark kota Yogyakarta. Jika Jalan Sepanjang Kenangan berhasil memaknai sudut kota melalui memori para tokohnya, maka film fiksi Eva Kenapa Rumahmu Jauh? (durasi 20 menit, 2002) karya Fredy Aryanto, Sugeng Wahyudi, Wahyu Aditya, dan Edwin ini menggunakan kelompok musik Kronchong Chaos untuk memaknai sudut kota lewat kemunculannya sambil bermain musik setiap saat emosi tokoh utama tersentuh atau bergolak. Kelompok ini membawakan musik dengan semangat bermain-main khas Yogyakarta. Semangat yang sama hadir dalam film fiksi karya Jeihan Angga yang berjudul Neng Kene Aku Ngenteni Koe (durasi 22 menit, 2015), yang mengangkat kisah jenaka mengenai perjalanan menuju stasiun kereta api Tugu. Inilah gaya bercanda khas Yogyakarta dalam film pendek.
Lewat film Mayar (durasi 32 menit, 2002) Ifa Isfansyah berkisah tentang Mayar, seorang pembantu rumah tangga Jakarta yang pulang kampung ke Yogyakarta. Ifa mengangkat cerita persaingan antara pendukung calon lurah, yang saling terhubung dengan cerita persaingan merebut cinta Mayar. Kenaifan tokoh utama juga menyiratkan perspektif Ifa tentang kota besar Jakarta, sesuatu yang juga disinggung oleh Bowo Leksono dalam film Peronika. Film-film tersebut menjadi terasa konteks kotanya karena Ifa dan Bowo sama-sama membawa penonton kepada perspektif umum yang jamak tentang Jakarta, kota besar serba modern tempat mencari uang, yang membuat para perantau membawa pulang nilai-nilai baru ke kota asalnya sehingga mengakibatkan perubahan.
Kini, tema tersebut begeser menjadi longgarnya hubungan para perantau dengan kota asalnya karena menghadapi nilai-nilai dan tempat yang baru. Dalam film fiksi Natalan (durasi 28 menit, 2015), Tata Sidharta mengangkat kisah perjalanan pulang kampung seorang anak yang pararel dengan kisah kerepotan sang ibu bersiap menyambut kehadirannya menjelang hari Natal. Kedua tokoh tak saling bersinggungan lantaran sang anak berulang kali tak mengindahkan telpon dari ibunya. Kepulangan yang telah lama dinanti berubah menjadi sepi berkepanjangan.
Film-film pendek Yogyakarta mengangkat permasalahan kota secara subtil. Selalu ada isu sosial bahkan dalam film komedi sekalipun. Sebagai kota pelajar dan kota wisata, banyaknya jumlah pendatang telah menimbulkan berbagai persoalan sosial dan budaya di kota Yogyakarta. Film fiksi Kitorang Basudara (durasi 30 menit, 2015) karya Ninndi Raras mengangkat persoalan kost-kostan dan interaksi yang terjadi antara pendatang dengan warga Jogja. Film ini menunjukkan kaitan erat antara stereotip para pendatang dan bagaimana stereotip itu terbentuk dalam benak warga Yogyakarta. Sementara dokumenter Belakang Hotel (durasi 40 menit, 2014) karya kolektif WatchDoc mengkritisi cepatnya pertumbuhan hotel dalam satu dekade terakhir yang mengakibatkan hilangnya persediaan air warga. Kritik terhadap persoalan yang sama juga diangkat dalam bentuk dongeng oleh Bambang “Ipoenk” KM melalui film fiksi berjudul Amarta (Gadis dan Air) (durasi 19 menit, 2015). Ipoenk memakai pendekatan pertunjukkan untuk menceritakan semesta filmnya. Film ini cocok ditonton anak-anak sebagai sebuah pembelajaran dini terhadap isu sosial.
Dalam film eksperimental It’s Almost There (durasi 23 menit, 2001) Ariani Darmawan menelusuri kota Bandung –walau konteks sebenarnya adalah Indonesia. Melalui napak tilas ke kamar, rumah, pasar, hingga pabrik, Ariani menuntun kita kepada perenungan pribadinya: apa yang menjadikan Indonesia dan menjadikannya orang Indonesia melalui sudut-sudut kota yang bermakna baginya. Berbeda dengan Ariani, Dessy Darmayanti memilih merekam kota Bandung melalui sebuah sudut di pasar swalayan dan berbincang dengan sekelompok anak muda penggemar minuman beralkohol dalam film Free As A Bird (durasi 8 menit, 2006). Penggambaran kehidupan anak muda yang bebas dari segala aturan pada film ini telah membuka celah untuk mengintip subkultur anak kota Bandung pada masa itu. Kedua film ini memberi pemaknaan personal sudut-sudut kota Bandung melalui gaya yang sangat berbeda.
Subkultur anak muda menjadi tema penting ketika membicarakan hubungan sinema dan kota dalam film pendek. Pada dokumenter Salah Gaul (durasi 18 menit, 2012), Abdul Razzaq dan Sahree Ramadhan berbicara tentang fenomena anak muda alay, mulai dari perilaku, atribut, tempat nongkrong, hingga cara bertutur yang khas di Surabaya Sebuah fenomena yang sebenarnya juga menggejala di banyak kota besar di Indonesia. Sebelumnya, ada film animasi dua dimenasi (2D) yang membahas cara bertutur khas Surabaya, Grammar (Suro & Boyo) (durasi 12 menit, 2007) karya Cak Ikin. Film ini menggunakan ikon kota sebagai tokoh utama, ikan hiu (Suro) dan buaya (Boyo) yang selalu berbicara menggunakan kata “Cuk”, sebuah kata kasar namun wujud keakraban percakapan di Surabaya. Film ini kemudian melahirkan sekuel dan versi anak-anak yang berjudul Culo & Boyo, yang pada akhirnya terkenal di kota Surabaya. Film ini masih terus berlanjut dalam bentuk web series.
Cak Ikin juga aktif membuat acara rutin pemutaran film animasi lokal dan terlibat berbagai kegiatan film pendek di Surabaya. Ia bermain dalam film fiksi Palak (durasi 9 menit, 2012) karya Jaka Triadi. Palak berhasil mengangkat budaya pungutan liar dalam konteks kota besar; sebuah lingkaran setan yang terjadi di mana-mana dan menjangkiti semua kalangan. Bagi saya, pembuat film pendek di Surabaya mempunyai gaya lugas tanpa tedeng aling-aling dalam membicarakan kota serta permasalahannya.
Bergeser ke Sumatera Barat, film pendek dari Padang yang menarik bagi saya adalah dokumenter Padang in Carnival (durasi 20 menit, 2009) karya Lidia K. Afrilita. Film ini berkisah tentang meriahnya transportasi publik angkutan kota di Padang, mulai dari klakson dan bunyi-bunyian musik lewat pengeras suara, hingga modifikasi bentuk dan dandanan mobil, yang diklaim para supir angkot sebagai penentu dalam menarik calon penumpang. Fenomena angkot di kota Padang juga diangkat oleh Harryaldi Kurniawan lewat dokumenter berjudul Angkot dan Cerita (durasi 12 menit, 2011). Film ini lebih fokus pada cerita supir angkot dibalik penggunaan stiker dan gambar yang banyak menghiasi angkot. Kedua film ini menunjukkan pentingnya tampilan fisik angkot bagi eksistensinya di kota Padang. Angkot telah menjadi refleksi masyarakat Padang terhadap apa yang sedang terjadi di dalam masyarakat, sekaligus menjadi pernyataan atas cara mereka menghadapi pengaruh luar.
Lalu kita bisa melihat David Darmadi mengkritisi ‘sampah visual’ yang bertebaran di ruang publik kota Padang selama kampanye pemilu berlangsung lewat film eksperimental Cleaning Area (durasi 14 menit, 2013). David memutuskan melakukan ritual pembersihan poster, spanduk, dan baliho di berbagai ruang publik dengan caranya sendiri sebagai klaim dan protesnya atas penggunaan ruang publik secara sepihak. Eksperimentasi David menekankan pada pentingnya ruang publik kota sebagai ruang milik bersama yang tidak seharusnya dikotori oleh kepentingan pihak tertentu, sebagai sesuatu yang menggejala di kota-kota besar Indonesia.
Pasar menjadi salah satu lokasi ruang publik kota yang penting. Di Makassar, kita akan bertemu dengan dua orang anak yang sehari-hari bekerja di pasar ikan dalam film dokumenter Paotere (durasi 16 menit, 2009) karya Andi Arfan Sabran. Impian sederhana kedua anak, yang satu ingin memiliki sepatu bola dan yang lain ingin membeli baju koko, harus mereka kejar dengan bekerja keras di pasar ikan usai sekolah. Begitupun dalam film fiksi karya Aditya Ahmad yang berjudul Sepatu Baru (durasi 14 menit, 2013), seorang anak melakukan segala cara untuk menghentikan hujan demi bisa memakai sepatu barunya. Sifat gigih dalam meraih apa yang menjadi kehendak adalah perwatakan khas para tokoh yang saya temui dalam film-film pendek Makassar.
Contoh lain bisa ditemui lewat film fiksi Dunia Yang Lengang (durasi 27 menit, 2013), Deli Luhukay menggambarkan imajinasi dunia dengan sebuah batasan: bahwa setiap orang hanya punya jatah berbicara 130 kata setiap harinya. Maka, menjadi wajar jika setiap orang berusaha menyimpan jatah bicaranya untuk hal terpenting yang kadang berada di ujung hari. Film ini secara cerdas mempertanyakan kehendak manusia untuk saling berinteraksi secara langsung jika segala sesuatunya kini sudah didominasi oleh interaksi media sosial.
Ketika Pembuat Film Pendek Mengirim Surat Cinta Untuk Jakarta
Dalam film animasi stop motion Everything’s OK (durasi 5 menit, 2003), kita akan melihat pandangan Tintin Wulia terhadap kota Jakarta. Sebagai ibukota negara, Jakarta harus selalu tampak bersih dan teratur. Sehingga lebih baik menutupi kejelekan kota daripada memperbaiki akar masalah. Sementara itu, Ari Satria Darma melalui film Iqra (durasi 2 menit, 2005) memperlihatkan bagaimana wajah Jakarta tanpa kepungan papan nama toko-toko dan warung di pinggir jalan. Apakah kita sadar bahwa Jakarta telah sedemikian terpolusi oleh pesan komersil? Kedua film animasi ini memulai premis film dengan “bagaimana seandainya jika…”, sebagai sebuah usaha menunjukkan alternatif dari kenyataan Jakarta yang sudah sedemikian penat oleh tumpukan masalah.
Masalah anak jalanan juga hadir lewat animasi 2D berjudul Kapur Ade (durasi 5 menit, 2015) karya Firman Widyasmara. Mengisahkan seorang anak jalanan yang menemukan kesenangan kecil di tengah lalu lalang kendaraan di jalan raya sambil mencari kakaknya yang hilang. Dan ia tetap hanyalah seorang anak-anak yang butuh perhatian dari siapapun di sekitarnya. Di sisi lain, masalah macet dan terlalu cepatnya pertumbuhan kota juga terlihat pada animasi 2D berjudul Djakarta-00 (durasi 9 menit, 2015). Film karya Galang Ekaputra Larope ini memvisualisasikan kota Jakarta dalam wujud sebuah kota distopia bernama “Djakarta-00” dan menunjukkan apa yang terjadi saat pembiaran masalah terus terjadi. Sudut pandang serupa juga diambil oleh Andra Fembriarto saat menyoroti permasalahan banjir dalam film fiksi Jakarta 2012 (durasi 10 menit, 2007). Andra menggunakan banjir yang terjadi di Jakarta pada 2007 sebagai latar bagi filmnya dan meramal sikap sebuah keluarga dalam menghadapi siklus banjir lima tahunan. Ketiga film ini menjadi refleksi menarik bagi berbagai permasalahan kota Jakarta.
Film pendek penting lain tentang Jakarta adalah sembilan film dokumenter karya perdana Forum Lenteng, yaitu Mushroom Project (berdurasi antara 5-15 menit, 2003) tentang keseharian warga Jakarta yang terbagi dalam tiga tema besar: fasilitas umum, transportasi publik, dan pedagang keliling. Dalam film 5 detik 10 menit 24 jam yang merekam sebuah halte bus selama 24 jam, saya teringat akan film fiksi Halte (durasi 20 menit, 1999) karya Emilia Tanjung, yang menggambarkan kisah orang-orang yang datang dan pergi di sebuah halte, sebagai potret romantisme kehidupan malam Jakarta. Keduanya membuka sudut pandang reflektif tentang kota Jakarta, yaitu apakah kita menyadari apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita saat menggunakan fasilitas umum?
Film Massroom Project yang lain, Andang & Sarjo, menampilkan obrolan Andang dengan tukang cukur keliling, Sarjo, selama bercukur. Percakapan standar saat pedagang berinteraksi dengan pembelinya memperlihatkan sebentuk keakraban sesaat sebagai mekanisme penting dalam hubungan mutualistik bagi kedua belah pihak.
Keakraban sesaat juga tampil lewat film Massroom Project tentang transportasi publik yang berjudul Dongeng Sebelum Hujan. Film ini merekam berbagai kisah yang diceritakan seorang supir taksi kepada penumpangnya di sepanjang perjalanan. Dalam taksi, seolah terdapat sebuah rekam jejak supir taksi atas pengalamannya yang dapat ia bagi kepada penumpangnya. Taksi sebagai latar film pendek juga digunakan film fiksi horor berjudul Payung Merah (durasi 10 menit, 2010) karya Edward Gunawan dan Andri Cung, bercerita tentang seorang supir taksi yang mengantarkan seorang perempuan pulang tengah malam. Kebersamaan singkat dalam sebuah taksi dapat melewati batas keakraban antar supir dan penumpang yang asing satu sama lain. Kedua film ini menampilkan kisah-kisah urban legend yang terjadi dalam taksi. Film pendek mengenai perjalanan taksi menjadi identik dengan kota Jakarta, sama seperti film pendek mengenai perjalanan becak identik dengan kota Yogyakarta.
Film Massroom Project lainnya, Benhil, menampilkan intimasi fisik yang tak terhindarkan antara tukang ojek dan penumpangnya. Kondisi Jakarta yang seringkali macet dan transportasi publik yang kurang memadai membuat warga Jakarta beralih ke sarana ojek sepeda motor sebagai moda transportasi sehari-hari. Sementara lewat Pemandangan Piknik, Forum Lenteng membagi pengalaman penumpang kereta api dalam kota di bagian atas gerbong. Sesuatu yang berbahaya menjadi mungkin ketika dilakukan beramai-ramai dalam keberanian sebuah kerumunan sosial.
Pengalaman naik kereta api yang lebih akrab juga diperlihatkan Dimas Jayasrana lewat dokumenter Anarchist Cookbook For Beginners (durasi 18 menit, 2007), di mana sebuah percakapan ideologis terjadi secara spontan antara Dimas dengan anak-anak punk dalam gerbong kereta. Transportasi publik sebagai sebuah sarana kebersamaan singkat di tengah keterasingan penduduk kota telah menjadi sesuatu yang penting bagi proses kelangsungan hidup warga Jakarta.
Ada juga omnibus Belkibolang berisikan sembilan film pendek dari sembilan sutradara tentang Jakarta. Salah satu karya yang menonjol: 3LL4 karya Wisnu Suryapratama (durasi 8 menit, 2010). Film ini bisa mengemas sebuah percakapan biasa yang dapat berkembang menjadi percakapan penting, melalui persahabatan seorang pelacur dengan penjual makanan di warung pinggir jalan. Hubungan mutualistik yang terus berulang akhirnya membangun kepercayaan yang kemudian mendasari sebuah relasi antarmanusia. Begitupun pada Mamalia (durasi 9 menit, 2010) karya Tumpal Tampubolon, intimasi fisik berujung pada tindak kriminal. Tingginya daya pikat Jakarta seolah pararel dengan kerasnya kehidupan kota metropolitan.
Lain lagi halnya dalam film dokumenter Jakarta Kota Gue (durasi 13 menit, 2003) karya Andibachtiar Yusuf, di mana kebersamaan Jakmania, penggemar klub sepak bola Persija, tampak begitu kuat bagai persaudaraan ketika mereka saling berbagi rasa kebanggaan sebagai warga Jakarta melalui pertandingan sepak bola. Yusuf membuat versi pendeknya, Hardline (durasi 5 menit, 2004), untuk menceritakan sebuah kelompok di dalam Jakmania versi “garis keras”. Dalam film tersebut, rasa kebanggaan kelompok berubah menjadi perilaku agresif berujung tindak kriminal, khususnya saat berhadapan dengan penggemar klub sepak bola lawan.
Lebih dari itu, kehidupan keras Jakarta bahkan terasa hingga kematian datang. Ucu Agustin membicarakannya lewat dokumenter Kematian di Jakarta (durasi 20 menit, 2006) dan Ray Farandy Pakpahan lewat film fiksi Garis Bawah (durasi 25 menit, 2012). Sulitnya menemukan tempat pemakaman bagi anggota keluarga yang meninggal dunia tak ada apa-apanya dibanding kesulitan memakamkan jenazah tuna wisma yang tidak memiliki identitas resmi. Perbedaan strata kelas di kota Jakarta yang banyak menimbulkan permasalahan sosial membuat tema kelas bawah menjadi tema andalan film pendek Jakarta. Sebuah kebiasaan yang juga cukup mentradisi pada film pendek tugas akhir para mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV IKJ)
Film semi-dokumenter karya Ari Ibnuhajar yang berjudul Jakarta 468 (durasi 12 menit, 1996) misalnya, mengisahkan refleksi hidup seorang urban ketika berjalan ke berbagai sudut kota Jakarta. Perbedaan kelas dan sulitnya hidup di Jakarta disampaikan melalui narasi dan visual yang gamblang. Tema yang sama kini muncul melalui film fiksi Guk! (durasi 14 menit, 2012) karya William Chandra. Film Guk! berkisah tentang seorang anak dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang yang mengembalikan seekor anjing peliharaan sepasang suami istri kaya. Guk! mempertanyakan nilai kemanusiaan masa kini: masihkah kemanusiaan berharga? Jika sebelumnya saya membahas film-film yang fokus pada kebersamaan, maka empat film terakhir ini lebih fokus pada tema keterasingan manusia di tengah kota Jakarta.
Kecenderungan lain dari film tentang Jakarta adalah hadirnya tema kekerasan, khususnya yang berlatar belakang politik. Pada film fiksi buatan Asep Kusdinar, Novi (durasi 24 menit, 2000), yang ia garap sejak tahun 1996, Asep mengilustrasikan fenomena kekerasan pada seorang gelandangan yang dianggap membangkang oleh seorang penguasa. Bandingkan dengan karya Nanang Istiabudi, yang berjudul Revolusi Harapan (durasi 31 menit, 1998) mengenai pembasmian aktivis yang dianggap berbahaya bagi pemilik kekuasaan yang dilakukan oleh empat orang “agen kekerasan”. Selanjutnya, ada dokumenter Tragedi Jakarta 1998: Gerakan Mahasiswa di Indonesia (durasi 43 menit, 2002) karya Tino Saroengallo yang mengikuti gerakan demonstrasi mahasiswa di Jakarta setelah reformasi, yang selalu berujung bentrok dengan pihak kepolisian dan militer. Tema kekerasan yang tersembunyi sebelum peristiwa reformasi seolah meledak pasca reformasi 1998.
Kini, para pembuat film pendek bersiasat melawan kekerasan yang sering dilakukan oleh ormas sipil atas nama agama tertentu dengan cerdik. Pada Indonesia Bukan Negara Islam (durasi 9 menit, 2009), Jason Iskandar membalikkan keadaan dan bertanya: apa yang dirasakan saat dua orang muslim menjadi minoritas? Sementara pada film fiksi berjudul Sinema Purnama (durasi 27 menit, 2012), Andra Fembriarto membawa persoalan ini ke tingkat hubungan personal antara dua individu yang berbeda paham. Pada dasarnya, pengalaman kebersamaan di tingkat individu dapat menjembatani perbedaan pemahaman.
Program Surat Cinta untuk Jakarta yang diluncurkan Dewan Kesenian Jakarta pada 2015 memuat tiga buah film fiksi pendek yang berbicara tentang kota Jakarta dari sudut pandang yang berbeda-beda. Panji Wibowo mengambil landmark jalan Jendral Sudirman sebagai ujung pangkal cerita pencarian sepasang kekasih yang hilang dalam film Mencari Sudirman (durasi 14 menit). Film ini mempertanyakan: sejauh mana ingatan terhadap sosok pahlawan Sudirman atau sedekat apa memori pada peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Jalan Jendral Sudirman?
Lain lagi pada film Kok ke Mana? (20 menit), Chairun Nissa menceritakan pencarian tikus peliharaan seorang anak yang terbuang. Tikus dipakai Chairun sebagai simbolisasi orang-orang terbuang yang kehilangan rumah akibat penggusuran. Sementara pada Rock ‘N Roll (durasi 20 menit), Wisnu Surya Pratama mengajak penonton bertualang ke berbagai warung makan legendaris Jakarta yang menyimpan memori kebersamaan sepasang anak muda yang sedang mencoba untuk bisa bersama lagi. Perjalanan keliling kota yang memendam perasaan cinta dan benci terhadap Jakarta termanifestasi dalam film ini layaknya sebuah lagu rock ‘n roll yang seru. Persamaan ketiga film ini adalah pencarian sesuatu yang hilang. Ketiga pembuat film ingin mengingatkan penonton, bahwa banyak yang telah hilang dari kehidupan kota Jakarta.
Film-film pendek tentang Jakarta menggunakan pendekatan yang dinamis dan penuh energi. Hal ini berbanding lurus dengan tema utama yang seringkali diangkat dalam film-film pendek Jakarta, yaitu tema urban. Aktualitas juga menjadi penting bagi pembuat film asal Jakarta dalam berkarya, baik terkait isu sosial terkini maupun gaya dan bentuk film yang paling mutakhir.
Pada akhirnya, saya memperhatikan berbagai tema yang terkait dengan ruang publik dan subkultur anak muda menjadi tema yang paling sering diangkat pembuat film pendek Indonesia saat berbicara tentang kota. Secara alamiah, film-film pendek tersebut telah merekam sejarah perjalanan bangsa. Hidupnya hubungan cinta antara pembuat film pendek dengan kota tempat ia tinggal ataupun singgah hanya terjadi saat ia tiada henti kritis mengangkat berbagai permasalahan aktual kota. Jika ini terus terjadi, maka selalu ada harapan bagi film pendek Indonesia untuk dapat bertahan dengan segala keterbatasannya. Jika cinta dapat terus bertumbuh selama masih terus dipelihara dan dijaga, maka inilah surat cinta saya kepada film pendek Indonesia.