Khalifah: Cadar itu dari Arab, Bukan dari Tuhan

khalifah_highlight

Dulu sekali, mahaguru film nasional Usmar Ismail pernah menulis tentang film sebagai dakwah, intisarinya kurang lebih begini, Film dakwah pada fungsinya sama saja dengan film propaganda. Mereka sama-sama mengajak penonton untuk mengikuti sesuatu. Mereka hanya berbeda orientasi, film propaganda berdalih mengajak rakyat untuk meyakinkan diri bahwa merekalah daulat tertinggi. Sementara film dakwah mengajak penonton untuk meyakini bahwa mereka justru sangatlah rendah, jauh lebih rendah dibanding Tuhan seru sekalian alam.

Gaya dakwah kembali menjadi tren pasar film Indonesia akhir-akhir ini. Film-film dalam tren ini umumnya menyuarakan purifikasi iman: bagaimana perubahan karakter dipengaruhi oleh sesuatu yang berkembang dari dalam dirinya, lalu ditimpali oleh peristiwa-peristiwa menggugah dalam format drama sehingga menjadi cobaan dan pelajaran baginya, kemudian imannya bertambah. Iman sebagai parameter dakwah, kebanyakan diterjemahkan sebagai hubungan vertikal dua-arah antara sang karakter film dengan tuhan. milieu internal film secara naratif berfungsi sebagai ‘sekedar’ pemicu yang pada akhirnya semakin meneguhkan iman tersebut.

Film bertajuk Khalifah (sama dengan nama karakter utamanya, Khalifah) mencoba mencongkel kemiripan pola hubungan karakter tersebut dengan menggeser hubungan interaksi karakter utamanya. Khalifah, seorang karyawati salon memutuskan bercadar karena kemauan suaminya, bukan karena upayanya memurnikan iman sebagai urusan sematanya dengan tuhan. Pola hubungan vertikal yang biasa kita lihat dalam film-film dakwah diubah menjadi garis yang horizontal. Khalifah tak menghadirkan tuhan dalam perubahan sikapnya untuk bercadar, melainkan hubungan sosialnya dengan suaminya. Dakwah ala Khalifah menjadi selangkah lebih sosial. Khalifah, oleh suara hati dan kejadian-kejadian di lingkungannya, justru tidak mengarahkan dirinya mendekati tuhan (yang katanya menganjurkan cadar), melainkan membawanya bertemu dengan lingkungan yang mendedah cadar secara sosiologis. Selain karena suaminya, Khalifah juga memakai cadar karena yakin keluarganya pasti akomodatif terhadap hal itu, menimbang latar belakang ayahnya sebagai seorang merbot. Bukan karena tuhan.

Terbaca jelas, Khalifah berusaha meneguhkan argumen bahwa memakai cadar lebih berat bertumpu pada kerangka kultural ketimbang pada anjuran agama. Argumen itu terbaca secara naratif: Rasyid, suami Khalifah, menyuruhnya memakai jilbab karena ia seorang penjaja barang-barang bikinan Arab Saudi; Fatimah, kenalan Khalifah, pernah tinggal sepuluh tahun di Arab sehingga ia bercadar dan menguatkan Khalifah untuk juga terus bercadar; Yoga, tetangga Khalifah, bekerja di Arab Saudi sehingga pernah mengirimi Khalifah beberapa cadar.

Argumen itu juga menyaluri simbol-simbol yang ramai bertebaran, seperti parfum, sajadah, hiasan dinding, yang semuanya kearab-araban. Sehingga memperbesar kemungkinan agar penonton bisa sampai pada kesimpulan bahwa cadar juga sama saja dengan komoditas itu semua, bagian dari kehidupan orang Arab, yang sebenarnya tak begitu perlu ditimbang berdasar terminologi-terminologi agama. Hal yang lebih asik lagi, bahasa suara yang diwakilkan oleh tata musik besutan Djaduk Ferianto pun bernuansa kearab-araban, sangat “tidak konteks” dengan rasa film yang sangatlah Indonesia. Musik arab, dalam hemat saya, berusaha untuk selalu menghantui penonton dengan argumen: Cadar itu Arab, bukan Islam.

Khalifah, tanpa menyinggung kelemahan teknisnya yang begitu kaya, menambah campuran warna dalam modus bercerita film-film dakwah dalam konteks Indonesia. Sebab alih-alih untuk merendahkan manusia dihadapan Tuhan sebagaimana yang disebutkan Usmar Ismail di depan, Khalifah juga meninjau kemungkinan manusia untuk tidak sekedar merendah dan memaklumi kekurangan, melainkan juga menyadari fungsi, amanat, dan kelebihannya sebagai khalifah secara sosial: pemimpin, setidaknya bagi diri sendiri.

Khalifah | 2011 | Sutradara: Nurman Hakim | Negara: Indonesia | Pemain: Marsha Timothy, Indra Herlambang, Ben Joshua, Titi Sjuman, Jajang C. Noer.