Lahirnya sineas di Palu tidak terlepas dari perkembangan dan persebaran teknologi terkini yang memunculkan budaya serba digital. Salah satu dampaknya adalah peningkatan produksi film, khususnya di kalangan anak muda. Dengan segala keterbatasannya, hingga hari ini mereka terus berproses, menjadikan film sebagai wadah ekspresi diri dan eksplorasi budaya setempat.
Saya ingin membicarakan tiga sutradara yang diangkat dalam tulisan ini adalah Yusuf Radjamuda, Eldiansyah Latief, dan Edward Charles. Saya sendiri cukup lama mengenal mereka serta mengikuti perkembangan dari karya-karya yang mereka buat. Ketiganya memiliki latar belakang kesenian yang berbeda. Sejak kecil Yusuf Radjamuda sudah aktif membaca puisi. Pada 1997, dia dan teman-temannya membentuk group band beraliran black metal, Viata Ritual, yang masih aktif hingga saat ini. Adapun riwayat berkesenian Eldiansyah Latief bermula dari seni tari Jepeng, yang tidak lain adalah kegiatan ekstrakurikuler kesenian Islam yang harus dijalaninya sebagai seorang santri di Pesantren Alkhairat Madinatul.
Kedua sutradara ini kemudian terjun ke dalam perkumpulan teater. Yusuf memilih bergabung dalam kelompok musik pengiring teater, sedangkan Eldiansyah aktif mendalami akting di panggung Sanggar Seni Balia, sebuah unit kegiatan mahasiswa di Universitas Tadulako. Sutradara ketiga, Edward, memiliki latar belakang pendidikan formal pertelevisian di Lembaga Pendidikan dan Profesi Nasional (LPPN) pada 2007. Sama seperti Yusuf dan Eldiansyah, Edward juga sempat bermain teater. Ia pernah mewakili sekolahnya, SMA Al-Khairat Palu, dalam pementasan teater bersama di kota tersebut.
Seperti halnya banyak pemain teater yang kemudian menjadi pembuat film, di Palu hal itu juga terjadi pada ketiga sutradara ini. Produksi film lokal mulai tampak pada 2003 lewat film panjang, Telunjuk Tak Berjiwa karya Erwin Siradjudin. Yusuf dan Eldiansyah bergabung sebagai kru dan mendapat banyak pengalaman belajar dari proses produksi film tersebut.
Yusuf Radjamuda
Pada 2006, Yusuf pertama kali membuat film, Sahabat dan Harapan, yang kemudian memicu Eldiansyah untuk memproduksi film perdananya Viginia (2009). Sementara itu, Edward yang masih mengenyam pendidikan pertelevisian di Palu mulai aktif dengan fotografi—dan di sinilah ia berkenalan dengan kamera. Baru pada 2011, Edward memproduksi film pertamanya, Menabrak Dosa. Film-film berikutnya mendapatkan dukungan dari Lembaga To Kaili Bangkit (LTKB), sebuah organisasi yang bertujuan menggali kembali nilai-nilai lokal masyarakat Palu.
Namun kendati aktif dalam teater, ketiga sutradara tersebut tidak serta merta memindahkan pengetahuan dan pengalaman berteater tersebut ke dalam format film. Ada proses kreatif cukup panjang yang mereka tempuh hingga mereka menemukan cara dan bentuk tersendiri. Apa yang terlihat dalam film-film buatan mereka merupakan proses pembelajaran yang dilakukan lewat berbagai cara, mulai dari menambah referensi film melalui YouTube, vimeo, dan beberapa media online lainnya hingga cakram bajakan. Yang juga tak kalah penting, kemampuan yang mereka miliki saat ini pun tidak terlepas dari keterlibatan mereka dalam sejumlah festival film, baik itu festival berskala nasional maupun internasional.
“Film-film saya, Matahari misalnya, bercerita tentang relationship. Pada Halaman Belakang juga tentang relationship, dan film-filmku yang lain,” ungkap Yusuf dalam satu kesempatan.
Nampaknya “relationship” menjadi sentral dalam film-film Yusuf. Namun, yang ia maksud dengan relationship tidaklah terbatas pada hubungan antarmanusia dalam latar Palu seperti dalam film Sahabat dan Harapan (2006), akan tetapi juga mengenai hubungan antarmanusia dengan penanda-penanda alam, misalnya matahari, seperti dalam film Matahari (2011), yang mana film ini sendiri berusaha menampilkan kenyataan tentang curah matahari Palu yang sangat terik serta keluhan setiap warganya di siang hari. Hubungan-hubungan ini kemudian dikemas Yusuf menjadi hubungan yang intim, yang dapat terjadi dalam waktu sangat singkat. Seperti misalnya karakter antara pencuri dan polisi dalam film Wrong Day (2012).
Eldiansyah Ancha Latief memilih film karena dia bukan tipe orang yang mudah berkomunikasi dengan orang lain. Intinya, dia sulit memulai percakapan dengan orang asing dan film memudahkannya untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Lewat film, ia bisa menjadi seorang yang cerewet, seperti dalam Umar Amir (2013).
Selain itu Eldiansyah memilih film sebagai medium pertukaran gagasan, di mana pikirannya bebas bertemu dengan pikiran orang lain. Dari sana kebaruan bisa dicapai. “Untuk apa membuat sebuah film jika cuma menjadi film yang meniru ide dan bentuk film lain?” tanyanya. Eldiansyah menyadari bahwa film dan proses kreatif merupakan sebuah proses dimana seseorang mengumpulkan, mengolah, hingga kemudian menemukan bentuknya sendiri. Ia sadar bahwa segala sasuatu memiliki keterikatan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Sebagai pembuat film, tidak semua karya Eldiansyah bisa dibilang sesuai harapan si pembuat. Ada beberapa film buatannya, yang masih ia akui sangat lemah, baik secara cerita maupun bentuk. Tapi kemudian dia berpikir bahwa inilah proses yang harus dilalui sebagai pembuat film, terlebih sebagai pembuat film yang bergerak secara independen tanpa latar belakang formal pendidikan film. Dia belajar dari proses dan juga dari pengalamannya sendiri, sembari bertemu dan berkenalan dengan para pembuat film lainnya, misalnya melalui festival film, terutama Festival Film Solo (FFS), pemutaran yang diselenggarakan komunitas Godong Gedang Banjarnegara, dan banyak lagi.
Dari ketiga sutradara Palu di atas, Edward Charles ialah yang termuda. Keputusannya untuk membuat film juga terbilang masih baru. Film pertamanya adalah Pribumi (2009), sementara yang paling terkenal adalah Anganku Tinggi Ke Bawah (2010). Sebagai pembuat film, Edward memiliki caranya tersendiri dalam mengkonstruksi kenyataan. Keindahan gambar dalam setiap adegan adalah kunci. Ia mengaturnya secara cermat sejak awal agar tak perlu repot saat proses editing, termasuk ketika mengolah warna gambar. Tampaknya, Edward merasa bahwa film yang dibuatnya selama ini masih terjebak dalam aturan gambar yang baku. Ia juga mengaku bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh latar pendidikan formal pertelevisian yang dimilikinya.
Awalnya Edward lebih berminat pada fotografi, namun kemudian ia mencoba untuk membuat film. Dari film yang telah diproduksinya tersebut kemudian dia mendapatkan perhatian dari Lembaga To Kaili Bangkit (LTKB). Selanjutnya, proses kreatif yang dilakukannya berada di bawah dukungan lembaga yang memiliki visi mengangkat kembali tradisi kesenian lokal yang sudah mulai dilupakan oleh sebagian besar masyarakat Palu.
Namun akhirnya Edward merasa bahwa mempercantik gambar melalui kaidah-kaidah dasar fotografi malah menjadi kekurangannya dalam menciptakan realitas. Menurutnya teknik tersebut membuatnya lebih mengutamakan gambar ketimbang kekuatan cerita. Jika ditelaah lagi, maka apa yang ia maksud dengan “mengutamakan gambar yang indah di satu sisi akan mengabaikan cerita di sisi lain” mungkin ada benarnya. Akan tetapi keindahan gambar tidak serta merta bisa melemahkan cerita. Sebab, yang umum terjadi malah sebaliknya. Dalam hal ini sebenarnya yang dilakukan Edward ialah ia mencoba memproduksi film dengan proses seefektif mungkin. Hal ini diakuinya, di mana ia sudah melakukan editing sejak awal pengambilan gambar. Kamera diatur sedemikian rupa sehingga bayangan akan apa yang ia inginkan dari gambar-gambarnya sudah terpenuhi tanpa proses editing. Dengan demikian, ia bisa menghemat waktu, tenaga, bahkan biaya.
Proses kreatif yang dilakukan oleh ketiga sutradara di Palu bukan merupakan hal mudah. Bergerak secara independen bahkan militan[i], tidak saja membutuhkan anggaran yang sedikit, akan tetapi juga menghasilkan simbol yang mempertentangkan sekaligus menjungkirbalikan konsepsi akan kemapanan. Kemapanan di sini dapat berupa kehidupan sosial yang tampak baik-baik saja dalam kehidupan nyata, yang kemudian dipertanyakan kembali lewat film, atau dapat juga dengan melihat film sebagai produk budaya yang selama ini didominasi oleh industri. Kita bisa melihat beberapa film yang dengan tegas menunjukan kritik sosial, termasuk mengkritisi film di Indonesia lewat bahasa filmnya sendiri. Misalnya dalam film Anganku Tinggi ke Bawah (Edward, 2010) yang mencoba mempertanyakan ruang kota, atau lewat film Umar Amir (Eldiansyah, 2013) yang memaparkan ide mengenai bentuk film eksperimental. Sementara, Yusuf sudah sangat sering bermain dalam ranah tersebut dalam Protes (2008) serta film-film pendek lainnya.
Keberkaryaan
Ketiga sutradara di atas bisa dikategorikan sebagai “seniman modern”, yang oleh Pierre Bourdieu didefinisikan sebagai “seniman yang harus menemukan semua definisi secara khas apa itu seniman, mendobrak posisi yang telah ditetapkan, dan melawan mereka yang memegang posisi itu.”[ii]. Ada benarnya jika melihat proses produksi yang mereka lakukan. Selama ini mereka melakukannya dengan kebebasan tanpa kepentingan politik dan ekonomi. Mereka memiliki kebebasan penuh mendesain film yang mereka inginkan, dan secara bebas pula mereka dapat menentukan apa yang dapat dan tidak dapat tampil dalam film mereka. Kalaupun ada proses diskusi, keputusan akhir tetap berada di tangan sutradara. Bahkan tak jarang seseorang memegang posisi rangkap: berperan sebagai sutradara, produser, kameramen, sekaligus editor.
Seniman modern juga harus memiliki sikap profesional dalam berkarya, yakni menyerahkan sepenuhnya waktu yang mereka miliki. Kadang mereka dapat menyelesaikan sebuah film dalam sehari, namun tidak jarang juga mereka membutuhkan waktu yang sangat panjang dalam memproduksi sebuah film pendek. Dalam hal ini, gaya produksi dan juga film yang akan diproduksi dapat menjadi karakteristik desain produksi masing-masing.
Selanjutnya, aspek yang tak kalah penting adalah bagaimana si pembuat film dapat terbebas dari tuntutan politik atau arahan moral dalam berkarya. Film tidak semestinya dipengaruhi aturan moral yang rentan membatasi proses penemuan bentuknya sendiri. Dalam arti, tidak ada yang salah dengan menunjukan kesadisan atau hal-hal vulgar dalam sebuah karya, selama hal itu merupakan tuntutan dari cerita film itu sendiri. Akan tetapi, tetap menjadi catatan penting bahwa film harus bisa dipertanggungjawabkan, lantaran film dapat dipandang sebagai cerminan dari pembuatnya dan juga masyarakat di mana film itu diproduksi.
Hal lain yang bisa dilihat dari proses kreatif ketiga sutradara di atas adalah mereka memproduksi film tanpa harus mengejar atau memenuhi tuntutan eksternal. Dalam hal ini, yang terpenting ialah bahwa mereka memiliki ekspektasi pribadi yang ingin mereka penuhi terhadap film yang mereka kerjakan.
Jika anggapan bahwa ketiga sutradara di atas ialah bagian dari seniman modern bisa dibenarkan, maka mereka perlu menyadari bahwa proses berkesenian seperti yang dikatakan oleh Bourdieu sangat bersifat relatif. Saat ini bisa saja film yang mereka produksi hanya bagian kecil dari gambaran sinema di Indonesia. Akan tetapi tak ada yang bisa menebak ke mana arah kiblat perfilman tanah air akan mengarah di kemudian hari. Bisa saja pembuat film yang berasal dari wilayah Timur, termasuk sinema dari Palu, tampil ke depan dan menjadi representasi sinema Indonesia di masa depan.
Kemungkinan sebaliknya juga bisa terjadi, ketika sinema Palu cukup menjadi bagian dari catatan perkembangan sinema tanah air, di mana ketiga sutradara ini akan menjadi bagian dari sejarah sinema Indonesia. Sebab dalam berkesenian, posisi seorang seniman juga diukur dari sebarapa sering mereka menghasilkan karya dan di mana mereka ingin menempatkan dirinya. Apakah mereka ingin dikenal sebagai pembuat film yang berasal dari Palu, atau kemudian cukup dikenal sebagai pembuat film tanpa embel-embel Palu? Karenanya, proses menemukan arti seniman dan juga seni itu sendiri harus terus berlanjut.
CATATAN
[i] Sutradara Palu menyebut bahwa proses kreatif yang mereka lakukan merupakan gerakan militan. Hal ini didasarkan atas semangat yang mereka miliki walaupun memiliki keterbatasan berdasarkan posisi mereka sebagai pembuat film independen.
[ii] Melanie Martini dalam Basis Edisi Khusus Pierre Bourdieu: Kritik Terhadap Neo-Liberalisme/No. 11-12, Tahun ke-52, November-Desember 2003