Akhir 2010, Noorca M Massardi berhasil mem-viral-kan masalah bea masuk atas hak distribusi film impor. Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia itu bilang MPAA (Motion Pictures Association of America) akan menghentikan impor film Hollywood ke Indonesia. Ngambeknya MPAA ini rupanya tak digubris Direktorat Jenderal Pajak. Pada Januari 2011, pemerintah menetapkan disinsentif yang disebut Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Royalti dan Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemasukan Film Impor. Intinya, dari ingatan samar empat tahun lalu saat mewawancara pihak pemerintah, mereka ingin seluloid berisi film dibedakan pajaknya dengan impor seluloid kosong.
Terdengar masuk akal. Lalu, apakah betul-betul tidak bisa impor karena adanya tambahan biaya ini? Waktu itu Raam Punjabi yang selama ini saya kira antagonis (siapa suruh sinetron garapannya begitu semua) dan Ilham Bintang memberi jawaban melegakan. Keduanya menyanggupi untuk mengimpor film di luar Hollywood. Selamat datang film Eropa, Thailand, Jepang, Korea, juga film-film festival!
Artinya akan lebih banyak jenis film yang beredar, alih-alih film yang peran utama perempuannya dengan konsisten berganti gaya rambut, anting-anting, serta make up di tengah perang robot raksasa dari luar angkasa. Tak hanya itu, keduanya mengatakan pajak untuk film impor justru akan memberi ruang bagi film lokal. Disinsetif bagi film impor, insentif bagi film Indonesia. Begitulah kira-kira.
Nyatanya, hal ini tak pernah terjadi. Waktu itu masyarakat menggerutu berjamaah, berbondong-bondong ke Singapura untk menonton film Hollywood. Lalu Jero Wacik yang entah apa kerjanya, mulai berpendapat di media. Jero merasa malu kalau masyarakat harus ke Singapura cuma untuk menonton bioskop.Penonton dan menterinya mematikan kans untuk memberi ruang untuk film Indonesia bermutu, dan film impor selain Hollywood.
Empat tahun kemudian, Jero Wacik tak lagi jadi menteri. Hari ini, film Hollywood tetap dalam daftar putar dan daftar antri paling banyak di jaringan bioskop 21.
Saya tak anti film Hollywood, tak ada yang salah dengan film Hollywood.Tapi juga saya rasa juga tak ada yang salah dengan film Indonesia. Siapa bilang film Hollywood melulu bagus? Film Hollywood yang masuk box office biasanya memasukkan formula objektifikasi perempuan dan one man show (baca: tetek dan laga). Bisa jadi Hollywood yang tak tembus ekspor juga banyak yang cuma tetek, setan, dan bullying. Mungkin film macam ini tak masuk Indonesia, tak jadi besar, sehingga kita tak tahu banyak film Hollywood yang lebih jelek dari film Hollywood jelek di jaringan 21.
Tak jauh berbeda dengan keadaan Hollywood, dominasi film-film Indonesia di layar lebar adalah tetek, setan, dan bullying. Sementara film yang layak tonton justru hanya bisa menembus bioskop keliling, dengan proyektor yang lebih pantas untuk menayangkan presentasi Power Point laporan keuangan tahunan.
Jelas keberpihakan bioskop patut dipertanyakan, tetapi apakah keberpihakan penonton tak perlu dipertanyakan? Bulan lalu Selamat Pagi, Malam masuk ke dalam daftar putar Jaringan 21. Siapapun yang ingin menonton harus bersegera. Terlambat sedikit, hilang sudah film yang katanya dibuat bertahun-tahun ini.
Tak lama berselang, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya muncul di tiga layar bioskop 21. Sayangnya, belum sempat saya menonton, Vakansi sudah binasa dari Plaza Senayan. Filmnya hanya tayang dua minggu. Jaringan bioskop 21 yang dahulu memonopoli dan kini tetap pemain terbesar, memang tak ramah film Indonesia. Ralat: tak ramah terhadap film Indonesia yang bukan setan, tetek, dan komedi sarkas tak lucu macam bullying.
Kenyataan ini bahkan membuat Selamat Pagi, Malam mengirim surel yang menyebalkan: mewanti-wanti penonton untuk meluangkan waktu ke bioskop dan memilih film tersebut sebelum diturunkan, kalau tidak nanti bioskop Indonesia akan dipenuhi bule yang bikin film kungfu. Surel ini sungguh mengganggu, pertama The Raid itu film silat, bukan kungfu. Dua, si bule uda bikin merantau sejak Iko masih cupu, apa salahnya? Tiga, filmnya cakep kok. Empat, itu Jalanan bikinan bule juga mau diributin juga? Lima, ya udalah ya, OOT.
Namun sesungguhnya, ke mana penonton film Indonesia? Setiap kali menonton film Indonesia yang bagus, bioskop kosong melompong. Sering kali saat mengajak orang Indonesia menonton film Indonesia dijawab dengan: “Males banget sih nonton film Indonesia. Buang waktu, buang uang.”
Bisa jadi pandangan buruk ini muncul lantaran pihak jaringan bioskop terlalu sering menampilkan tetek, setan dan bullying, sehingga calon penonton pun trauma menonton film Indonesia. Namun seperti halnya bioskop yang selalu berlindung di balik alasan kampret bernama rating dan profit. Juga sebenarnya sulit dibantah kalau mereka murni berbisnis, jelas mereka akan pasang film yang laku saja. Walaupun sebenarnya yang laku juga persoalan ayam dan telur, apakah kuasa ada pada bioskop atau penonton? Apakah penonton mau ikut-ikutan berlindung di balik alasan-yang-juga-tidak-benar-benar-amat bahwa film Indonesia pasti tidak bagus?
Teknologi bernama internet sudah berkembang massif empat belas tahun terakhir ini. Masak iya calon penonton tidak bisa menggali informasi mengenai film Indonesia yang ada? Masak penonton tidak punya alat untuk membedakan film Indonesia yang kampret dan kece? Kalau belum tahu, informasi saja nih, teknologi internet bisa membantu mencari tahu apakah suatu film sungguh bagus atau cuma jualan tetek loh.
Persoalannya tak banyak juga penonton Indonesia yang mau menonton film bagus ala Indonesia, bahkan langsung enggan ketika tahu suatu film adalah buatan Indonesia.Banyak penonton berkiblat dengan gaya dan pola film ala Hollywood. Bagi mereka film yang bagus harus seperti pola Hollywood, atau kalau meminjam bahasa Ayu Utami, rumus “ci…luk…ba” yakni pembangunan konflik, puncak konflik, solusi. Sesuatu yang tidak seperti formula ini seakan-akan tidak bagus, tidak menarik, dan sudah salah sejak pikiran.
Sebab itu banyak film Indonesia dan film yang bukan Hollywood susah laku di Indonesia.Namun, sekali lagi, ini persoalan ayam dan telur. Bisa didebatkan bahwa penonton bersikap demikian lantaran edukasi dari 21 dan stasiun televisi, yang mendidik untuk menonton film dengan pola Hollywood. Duh, masak iya penonton Indonesia sebegitu tidak berdaya?