Ke Gombrich Lewat Bordwell: Catatan dari Zomerfilmcollege 2011, Antwerpen, Belgia

ke-gombrich-lewat-bordwell-catatan_highlight

“Sejatinya seni tak pernah ada, yang ada hanyalah seniman”—E.H. Gombrich [1]

Zomerfilmcollege, (Antwerpen, Belgia, 24 – 31 Juli 2011) yang dalam bahasa belanda berarti Kamp Film Musim Panas, Summer Film Camp, adalah sebuah pengalaman yang sungguh mengesankan. Apalagi yang kau harapkan ketika para sinefil, pembuat film, akademisi film, aktivis film, pemilik bioskop, dan masyarakat umum berkumpul mengadakan seminar, diskusi, dan percakapan mengenai film? Seperti pernyataan David Bordwell, “Zomerfilmcollege adalah perayaan yang lebih berarti dari apapun.” Saya pribadi tak pernah segirang ini menyaksikan antusiasme manusia terhadap film dan berbagai diskusi tentangnya. Partisipan Zumerfilmcollege berasal dari berbagai umur, mulai 17 hingga 70 tahun. Kegirangan saya tak pelak digelayuti beberapa pertanyaan mengenai motivasi mereka mengikuti acara ini. Untuk sementara, jawabannya tentu saja penghargaan yang mendalam kepada seni sinema.

Dimulai pada pukul 9 pagi dan berakhir menjelang tengah malam, Zomerfilmcollege terasa seperti kehidupan itu sendiri. Ia memantik pertemanan-pertemanan baru, pengetahuan anyar tentang film-film dan sutradara yang selama ini tak pernah terbayangkan, serta tentu saja “persahabatan intelektual” yang tak ternilai harganya. Belum lagi pemutaran 30 film berformat 35 milimeter yang begitu menggairahkan. Tak masalah saya disebut banci teknologi, sebab menonton film-film monokrom tahun 1940an di layar perak raksasa rasanya benar-benar tak sebanding dengan menontonnya dalam format DVD.

Zomerfilmcollege adalah acara dua tahunan yang diprakarsai Flemish Service for Film Culture (VDFC) yang bermarkas di Brussels, Belgia. Acara ini sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Pada acara tahun ini, seorang partisipan tampil menceritakan kenangannya mengikuti Zomerfilmcollege pada tahun 1970-an tersebut. Acara ini biasanya dilangsungkan di Brugge, tapi pada tahun ini giliran Antwerpen yang mendapat kehormatan menjadi tuan rumah pagelaran seminggu suntuk ini. Antwerp Cinema Zuid bertindak selaku fasilitator untuk kelas harian dan pemutaran. Satu hal yang saya kagumi dari Cinema Zuid adalah program pemutaran mereka. Meski tak sempat melihat salah satu filmnya, tapi pencantuman Otto e Mezzo (Federico Fellini, 1963) dan Dog Day Afternoon (Sidney Lumet, 1975) ke dalam program bulanan mereka seakan mengundang terbit air liur. Seandainya saja saya bermukim di Antwerp, saya takkan keberatan bertandang ke Cinema Zuid beberapa kali sepekan hanya untuk menonton karya-karya agung klasik tersebut, sekali lagi, dalam format 35 milimeter. Surga, kawan!

Salah satu pembicara utama dalam Zomerfilmcollege tahun ini -dan banyak tahun sebelumnya, tak lain dan tak bukan adalah Professor David Bordwell, ilmuwan film kondang dari Amerika Serikat. Pensiun dari profesinya sebagai dosen, Bordwell justru semakin aktif dalam berbagai penelitian film, festival film, konferensi dan berbagai macam perkongsian sinema. Setiap tahun ia selalu datang memberikan kuliah singkat sebagai penghormatannya terhadap Sinematek Brussels yang telah membantu banyak  dalam penelitian-penelitiannya. Tahun ini, isu yang diusung Bordwell adalah seputar eksperimentasi penceritaan di Hollywood tahun 1940an, judulnya “Dark Passages: Storytelling Strategies in 1940s Hollywood.”

Sebagai menu utama, hari pertama kami diisi oleh kuliah Bordwell yang bergaya akademis namun tetap mengindahkan estetika film secara umum. Kuliah tersebut bertajuk “Seeking and Seeing: Lessons from E.H. Gombrich.” Selama ini, saya memang termasuk pengagum ide-ide Gombrich[2] atas sejarah seni dan bagaimana Bordwell mengadopsi model “Problem-Solution”-nya ke dalam sejarah gaya film (film style), sehingga penyaduran ide Gombrich untuk menjelaskan sejarah film pada era tertentu –Hollywood 1940an- menjadi sangat menyenangkan. Sebagian besar babakan kuliah menguatkan keyakinan saya dalam mempelajari seni sinema, terutama menyangkut gaya visual (visual style). Lewat pernyataan Gombrich ‘Sejatinya seni tak pernah ada, yang ada hanyalah seniman,’ Bordwell menjelaskan penekanan Gombrich bahwa mempelajari seni berarti mempelajari keahlian. Gombrich berkonsentrasi pada ide bahwa seniman visual sebenarnya adalah ‘pembuat gambar,’ mereka adalah agen aktif yang bekerja dalam sebuah tradisi dan ruang sejarah tertentu. Mereka dikendalikan oleh tugas-tugas, dan percaya atau tidak, kompetisi antarartis akan lahir ketika mereka mulai menyusun-ulang suatu konvensi atau melabrak norma-norma artistik tertentu.

Penulis (kedua dari kiri) bersama David Bordwell (ketiga dari kiri) di Zomerfilmcollege 2011
Penulis (kedua dari kiri) bersama David Bordwell (ketiga dari kiri) di Zomerfilmcollege 2011

Salah satu fitur menarik dari pemikiran Gombrich adalah kecenderungannya untuk membawa sejarah seni ke level yang kongkret dan pragmatis. Gombrich tidak mengacu pada ide-ide Hegel mengenai seni, bahwasanya seni dan seniman adalah untaian ide yang melayang-layang dan menunggu giliran lahir pada momen tertentu dalam sejarah. Ketika dihubungkan dengan sinema Hollywood 1940an, Bordwell tertarik untuk mempertanyakan, misalnya, mengapa tak ada film yang menggunakan pencahayaan terang (high-key lighting) pada masa itu? “Beberapa orang akan mendebat, film Laura [Otto Preminger, 1941] menggunakan pencahayaan terang, itu akan didiskusikan,”  Bordwell menambahkan “Pada dasarnya terdapat perbedaan yang jelas antara para sinematografer di Hollywood tahun 1930an dan 1940an yang mengarah pada laku pencahayaan tertentu pada subjek-subjek tertentu pula.

Gradasi visual dengan kontras tinggi yang dikendalikan oleh pencahayaan redup menjadi ciri khas tahun 1940an. “Dalam adegan kriminal tanpa bumbu komikal, maka pencahayaan menjadi begini. Ketika tiba banyolan atau romantika, maka pencahayaannya menjadi begitu,” papar Bordwell mengenai pilihan-pilihan konvensional para sinematografer saat itu. “Ada semacam ketidakleluasaan yang dikendalikan oleh konvensi genre dan itu menentukan mana gambar yang boleh dan tidak boleh,” Lalu kemudian Bordwell melemparkan pertanyaan puncaknya, “Memangnya apa yang terjadi pada tahun 1940an?” Salah satu sasaran utamanya pada Zomerfilmcollege adalah menelusuri satu penjelasan yang mungkin menjawab pertanyaan ini, yakni, “Karena pada tahun 1940an, pembuatan film kriminal meningkat sangat tajam dan jumlahnya menjadi saat banyak. Film kriminal kemudian “naik derajat” menjadi lebih dari sekedar drama dan tampak membentuk genre sendiri.” Hipotesis inilah yang ditelusuri lebih jauh lewat Zomerfilmcollege dimana para peserta turut menyumbang saran dan bantahan terkait penelitian ini, tentunya dengan menggunakan model yang melibatkan para peserta diskusi secara mendalam.

Normalnya, kami menonton film sedari pagi. Yang kami tonton adalah film-film legendaris macam Suspicion (Alfred Hitchcock, 1941) dan The Lady from Shanghai (Orson Welles, 1947) sampai pada film yang tak terlalu tenar seperti Crossfire (Edward Dmytryck, 1947) dan Letter to Three Wives (Joseph L. Mankiewicz, 1949). Setelahnya, kami berdiskusi dan David Bordwell akan memberikan kuliah berdasarkan film-film dan diskusi tersebut pada keesokan paginya. Dengan demikian, kami menaiki semacam perahu intelektual yang dinakhodai oleh Bordwell, meskipun, tak jarang tanggapan dan komentar partisipan tampil menentang hipotesis Bordwell sendiri. Tanggapan-tanggapan ini biasanya berkisar di pusaran plot, misalnya, “Bagaimana dengan adegan dalam Laura ketika Waldo bisa melihat kedatangan sang detektif sementara ia sendiri masih di bathtub?” Sebenarnya saya tak keberatan membicarakan plot, hanya saja saya kurang nyaman ketika perdebatan  sudah mengarah pada debat kusir dimana setiap orang menafsirkan plot sesuai dengan kerangka pengalaman pribadi masing-masing yang, seringkali, hanya berdasar perasaan dan tidak berdasar pada bukti-bukti tekstual.

Lalu di sinilah saya harus mengungkapkan kemahiran mengajar seorang David Bordwell. Baru kali ini saya melihat pengajar yang berhasil membuat para partisipan tak pernah merasa dipojokkan oleh materi kuliah, dan itu berlangsung terus-menerus selama dua jam. Tak rela berkedip, apalagi tidur. Menurut pandangan saya, Bordwell adalah tipe akademisi yang ‘great-thinker-great-communicator,’  yang penjelasannya selalu canggih nan masuk akal serta tak jarang diselipi dengan humor sehingga canda-tawa terundang pula masuk ke dalam kelas. Dalam sesi tanya jawab, ia bisa mempertahankan tensi aktif forum seraya menjauhkan komentar dan pertanyaan yang tak berhubungan dengan materi kuliah tanpa mengecilkan keberadaan penanya atau komentator yang bersangkutan. Tak setiap dosen memiliki talenta ini, cara Bordwell mengajar adalah cara yang patut dijadikan inspirasi oleh semua dosen ilmu sinema. Tak kalah pentingnya, cara tersebut akan sangat membantu para murid.

Sebenarnya masih banyak ide yang tergali dari persuaan tujuh hari ini, hanya saja saya tak mungkin menuangkan semuanya dalam sekali tulis. Untuk menyimpulkan catatan mungil ini, izinkan saya mengerat simpulan kecil dari rangkaian kuliah Bordwell mengenai mekanisme penceritaan dalam sinema Hollywood tahun 1940an:

“Ragam sinema Hollywood tahun 1940an atau sering kita kenali sebagai film noir sebenarnya lebih kompleks dari sekedar cerita detektif minim belas kasihan. Mereka adalah komposisi yang mengandung unsur dramatis dan komedik dalam cakupan yang luas. Apakah penemuan ini berpotensi  memancing perdebatan lebih lanjut mengenai status film noir sebagai sebuah genre?”

Beberapa film yang ditayangkan di Zomerfilmcollege 2011:

Pather Panchali  (Satyajit Ray, India 1955, 122’)

Miracolo a Milano (Vittorio de Sica, Italy 1951, 100’)

The Last of the Mohicans (Clarence Brown, Maurice Tourneur, USA 1920, 75′)

An American in Paris (Vincente Minelli, USA 1951, 113′)

El Espiritu de la Colmena (Victor Erice, Spain 1973, 99′)

Du Skale Aere Din Hustru (Carl Theodor Dreyer, Denmark 1925, 107′)

Le Monde de Paul Delvaux (Henri Storck, Belgium 1944-1946, 11′)

Caravaggio (Derek Jarman, UK 1986, 92′)

Arsenal (Alexander Dovzhenko, USSR 1929, 87′)

Stage Fright (Alfred Hitchcock,UK 1950, 106′)

Daisy Kenyon (Otto Preminger, USA 1947, 99′)

 How Green was My Valley (John Ford, USA 1941, 118′)

 Laura (Otto Preminger, USA 1944, 88′)

 Crossfire (Edward Dmytryk, USA 1947, 85′)

 The Killers (Robert Siodmak, USA 1946, 102′)

 All About Eve ( Joseph L. Mankiewicz, USA 1950, 138′)

 Ballet Mecanique (Fernand Léger, Dudley Murphy, France 1924, 15′)

 Sayat Nova (Sergei Parajanov, USSR 1971, 73′)

 Letter to Three Wives (Joseph L. Mankiewicz, USA 1948, 103′)

 Love is the Devil (John Maybury, UK 1998, 90′)

 The Lady from Shanghai (Orson Welles, USA 1947, 87′)

 Suspicion (Alfred Hitchcock, USA 1941, 100′)


[1] Artikel ini ditulis dalam bahasa Inggris dengan judul “Going Back to Gombrich via Bordwell: Some Notes on the Summer Film College 2011.” Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Makbul Mubarak.

[2] Ernst Hans Gombrich adalah sejarahwan seni yang paling berpengaruh sepanjang sejarah. Lahir di Austria dan besar di Inggris, Gombrich menulis sebagian besar karyanya dalam Bahasa Inggris. Karyanya yang paling dikenal adalah The Story of Art yang terbit pada tahun 1950 dan sekarang sudah mencapai edisi ke-16, terjual jutaan kopi dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa. Meski demikian, Art and Illusion (1960) adalah karyanya yang disebut-sebut sebagai yang paling berpengaruh.