Penjelajahan akan makna kelamin dalam Prenjak terhitung langka dalam film-film Indonesia—yang umumnya masih mengeksploitasi, ataupun takut setengah mati untuk menampilkan, penis dan vagina.
Dunia nyata, sewajar apapun itu, juga terdiri dari kondisi-kondisi serupa hutan dan Hotel dalam The Lobster. Kadang berbahagia dalam kesendirian, kadang merindukan dekapan kekasih. Pada akhirnya, kita pun tidak menemukan yang mana yang paling benar, karena cinta itu bergerak dengan sendirinya.
Latar Two Days, One Night memang Belgia, tapi konteks yang dibawanya bisa berhubungan dengan kehidupan masyarakat manapun, termasuk Indonesia. Sangat mudah membayangkan cerita yang sama terjadi di Indonesia, entah itu pada pelayan restoran, penjaga warnet, kuli toko, penjual burung, ataupun sopir ojek.
Penuturan individu-melawan-dunia model Amarta sudah tak lagi selaras zaman. Terlebih lagi ketika isu hak warga atas air beberapa tahun ini menjadi isu yang kian mendesak.
Pulau Tanah Air Beta tidak hanya mengupayakan pelurusan sejarah. Pada lingkup yang lebih personal, kita juga bisa melihat film ini sebagai upaya anak mengenal bapaknya—yang kisah hidupnya kerap tersaring propaganda negara.
Dalam How to Win at Checkers, Thailand yang penonton dapati bukanlah negara tujuan wisata. Thailand bukan sekadar candi-candi besar yang kental nilai relijius, bukan pula sekadar cinderamata gajah. Thailand yang penonton lihat adalah kolase kehilangan.
Harapannya, Semalam Anak Kita Pulang bisa menjadi pertanda bahwa kita perlu lebih serius mendedah keterpisahan warga yang timbul akibat motif ekonomi—sebuah fakta peradaban yang tidak bisa kita tolak. Untuk sekarang ini, rasa saja sudah cukup. Nantinya, belum tentu.