The Force Awakens begitu merepresentasikan Hollywood dan generasi penontonnya saat ini dalam plot, karakterisasi, dan treatment yang dibangun—khususnya dalam menuturkan political correctness atau kepatutan politik.
Apa yang Mia Wasikowska lakukan dalam film-filmnya adalah upaya untuk melakukan sebuah penyingkapan (disclosure) melalui seni peran. Jean Luc-Nancy mengatakan bahwa suatu penampilan dengan penampilan lainnya takkan pernah habis, terus-menerus berbeda. Ketinampilan itu selalu berganda, tanpa ada sudut pandang tunggal yang dapat merangkum keseluruhannya.
Kadar demokrasi suatu negara sesungguhnya bisa dilihat dari pilihan film yang tersedia bagi masyarakatnya. Logikanya: semakin beragam film yang beredar di publik, semakin terbuka pula masyarakatnya terhadap segala bentuk perbedaan dan kebaruan. Bisa dikatakan kondisi perfilman kita sekarang merupakan imbas dari belum tuntasnya perwujudan demokrasi di Indonesia.
Selama lima tahun Daniel Ziv mengikuti kehidupan Titi, cerita yang terbangun dalam Street Ballad sebenarnya tidak menawarkan hal baru. Bisa dibayangkan berapa banyak gambar yang diambil dan yang dibuang untuk menjadikan kehidupan Titi terlihat semenarik mungkin. Penonton bisa saja kagum dengan sosok Titi, bisa juga bersimpati dengan nasibnya, tapi setelah itu apa?
Apa benar budaya sinema kita terbatas pada bioskop dan televisi saja? Apa iya pergerakan budaya sinema kita hanya naik turun di tangga boxoffice tapi tidak meluas ke seantero nusantara? Perspektif yang teramat bioskop-sentris ini sesungguhnya menutup mata kita akan pergulatan-pergulatan di tempat lain yang turut berkontribusi bagi perkembangan budaya sinema di Indonesia.
Praktik Islam di Indonesia, seperti apapun bentuknya, bisa saja menjadi benar, tapi tidak mungkin menjadi satu-satunya. Dua film Nurman Hakim menghidangkan problem Yang Arab dan Yang Islam dalam konteks mutakhir. Ia memotretnya dalam jukstaposisi yang sejatinya adalah salah satu batu pijak montase.