Jonathan Rosenbaum: Membela Spoiler

membela-spoiler_hlgh

Artikel ini merupakan terjemahan artikel Jonathan Rosenbaum yang berjudul In Defense of Spoilers, dari buku kompilasi tulisan Rosenbaum berjudul Goodbye Cinema, Hello Cinephilia: Film Culture in Transition (2010, hal. 10-11).

Alergi beberapa orang terhadap spoiler[1]  mulai membuat saya kesal. Masalahnya, fenomena tersebut tak saja terjadi di kalangan penonton film, tapi juga di para pembaca novel. Ketika Against the Day, novel terbaru Thomas Pynchon, baru saja dirilis, saya mengunjungi chat room para penggemar Pynchon. Mereka sedang meributkan resensi majalah Time, yang menurut mereka telah membocorkan kematian salah satu karakter. Saya ingat kematian karakter tersebut terjadi di seperlima novel, yang total jumlah halamannya sekitar 1100 lebih. Kalau dibandingkan, seperlima dari novel berhalaman 1100 novel itu sama dengan jumlah menit yang harus kamu lewati waktu menonton The Death of a President, sampai kamu menyaksikan kematian karakter yang notabene sudah diumumkan di judul film. Jujur saja, setelah saya memberitahukan fakta tersebut, apakah saya telah merusak kenikmatanmu menonton The Death of a President?

Saya keberatan dengan alergi spoiler ini. Berikut ini adalah daftar pembelaan saya:

1. Silakan lihat kembali novel-novel yang ditulis dari jaman Don Quixote sampai abad 19. Kamu akan menemukan spoiler di judul bab, judul-judul yang dengan sengaja membocorkan apa yang akan terjadi dalam cerita. Di novel pertamanya, V, Pynchon secara terang-terangan memuji praktek penulisan spoiler tersebut. Pertanyaan saya: kenapa selama tiga abad sebelumnya tidak ada yang komplain soal spoiler, sampai para pembaca novel dan penonton film itu meributkannya sepanjang dekade terakhir? Lihat juga sejumlah judul drama klasik. Bukankah William Shakespeare pantas dicambuk karena menjuduli salah satu komedinya The Taming of the Shrew? Bukankah judul dramanya memberitahukan akhir dari ceritanya? Lalu, bagaimana dengan Death of a Salesman?

2. Sebagai suatu konsep, spoiler mengutamakan plot ketimbang gaya dan bentuk, sembari mengasumsikan kalau pembaca resensi berpikiran serupa. Spoiler juga lebih dekat ke pembahasan fiksi ketimbang nonfiksi, walau Terry Zwigoff pernah protes ketika beberapa penulis resensi membocorkan kematian kakaknya Robert Crumb dalam film Crumb. Pertanyaan saya kemudian: mana yang pantas disebut sebagai spoiler? Penjelasan kalau Touch of Evil dibuka oleh adegan ledakan bomb, atau rangkaian crane shot yang panjang? Deskripsi perpindahan Dorothy dari Kansas ke Oz, atau pergantian The Wizard of Oz dari film hitam-putih jadi film warna?

Ada satu novel Gilbert Adair berjudul The Act of Roger Murgatroid: An Entertainment, yang menurut saya sangat menyenangkan. Novel tersebut menggabungkan teknik-teknik penceritaan yang kerap ditemukan dalam novel-novelnya Agatha Christie. Menurut saya, memberitahukan identitas pembunuh dalam novel tersebut bukanlah spoiler, sama halnya dengan menjelaskan kalau protagonis novel tersebut sebenarnya menarasikan cerita dalam sudut pandang orang pertama. Pembaca tidak akan menyadari dua hal tersebut, karena protagonis tidak menggunakan sudut pandang orang pertama sampai di akhir novel. Jadi, siapapun akan berasumsi kalau dia sedang membaca narasi dalam sudut pandang orang ketiga.

Novelnya Gilbert Adair kebetulan mengutip salah satu pernyataannya Raul Ruiz, “Dunia nyata adalah keseluruhan dari jalan yang tidak berujung ke mana-mana.” Menurut saya, kutipan tersebut sama magisnya dengan kutipan pernyataan Thelonious Monk dalam novel Against the Day: “Sejatinya setiap saat adalah malam. Kalau tidak, kita tidak akan pernah butuh cahaya.” Dengan membocorkan dua kutipan tersebut, apakah saya baru saja menyiksa pembaca dan calon pembaca dengan spoiler? Jelas tidak. Dua kalimat tersebut ada di halaman pertama. Bagaimana mungkin saya bisa merusak kenikmatan membaca mereka!

3. Apabila spoiler dilarang dan harus dihindari, saya jelas tidak mungkin berfungsi optimal sebagai seorang kritikus, terutama ketika harus menjelaskan sebuah film atau buku secara mendetail. Ketika saya diharapkan untuk menulis resensi, bukankah saya juga diharapkan untuk menganalisa?

4. Menurut saya, mereka yang meributkan spoiler adalah mereka yang secara naif ingin mempertahankan kepolosan mereka, dan mengalami segala hal sebagai sesuatu yang segar. Berdasarkan sudut pandang tersebut, kenapa mereka tidak sekalian saja tidak perlu mengetahui film apa yang akan mereka tonton, siapa saja pemainnya, siapa sutradaranya, ceritanya tentang apa, atau bahkan di mana film tersebut diputar? Detail-detail tersebut sama pentingnya dengan kejutan yang dibocorkan dalam spoiler. Faktanya, kita masih perlu mengetahui beberapa hal, bahkan untuk terkejut sekalipun.


[1] Spoiler adalah istilah populer untuk pengungkapan suatu elemen penting dalam plot karya fiksi. Elemen penting suatu plot kerap dimaknai sebagai suatu momen dramatis dalam konteks cerita, suatu kejadian yang menjelaskan esensi cerita, atau penyelesaian cerita itu sendiri. Sejumlah kalangan menganggap pengungkapan elemen penting tersebut akan merusak kenikmatan dalam mengkonsumsi produk naratif, seperti novel dan film. Istilah spoiler alert dan spoiler warning saat ini banyak ditemukan di situs-situs resensi, baik buku maupun film, untuk memperingatkan pembaca kalau resensi yang mereka baca akan memberitahukan sejumlah elemen penting dalam cerita.