Tahun ini film horor nusantara berusia 82. Ia telah berstatus penyintas; menghabiskan masa kanak-kanak dalam dekapan ibu tiri, tumbuh besar di pedesaan dengan segudang legenda dan bualan moral, sakit keras dan ditinggalkan saat krisis ekonomi menerjang, hingga bangkit dan kaya raya di kota dengan membuka jasa tur wisata berbalut legenda urban.
Perjalanannya tak lepas dari perkembangan lingkungan di sekitar. Sebagai produk budaya, memang sudah semestinya film merekam semangat khas tiap zaman yang dilaluinya. Namun tak bisa terelakkan bahwa pertumbuhan film punya hubungan erat dengan roda kehidupan kota: ia lahir dan tumbuh di sana sebagai gaya hidup kaum urban.
Semua bermula pada 28 Desember 1895, kala Lumière bersaudara memutar film dokumenter 50 detik berjudul The Arrival of a Train at La Ciotat station untuk pertama kalinya di Grand Café, Boulevard des Capucines, Paris. Saat itu para penonton dikabarkan mengalami teror dan kepanikan mencekam. Gambar kereta besar bergerak mendekat dalam ruang gelap menciptakan ilusi yang terasa begitu nyata dan tak pernah dialami sebelumnya. Mereka takut tertabrak.
Kemudian, 1895 dianggap sebagai tahun kelahiran sinema yang memunculkan sebuah istilah baru: efek kereta. Itu dipicu pengalaman penonton yang seakan masuk dalam cerita dan benar-benar berada di depan kereta bergerak tersebut.
Tak butuh waktu lama bagi film horor sebelum ia ikut meramaikan dunia perfilman Prancis. Pada 1896, sutradara Georges Méliès merilis apa yang disebut sebagai film horor perdana berjudul Le Manoir du diable alias Istana Berhantu. Film bisu ini berkisah soal pertemuan dengan iblis dan makhluk jejadian lainnya yang dikemas secara komikal. Pada masanya, film ini dianggap ambisius karena berdurasi lebih dari tiga menit.
Kelahiran dan perkembangan genre horor saat itu berjalan seiring berkembang luasnya pemikiran pakar psikoanalisis Sigmund Freud tentang hasrat terpendam manusia di bawah alam sadar. Menurut Freud, horor berasal dari sesuatu yang ganjil, ditandai dengan kemunculan imaji dan pikiran dari Id primitif manusia yang sebelumnya tertekan oleh Ego yang beradab.
Walhasil, horor mampu mendapat tempat khusus dalam diri manusia. Menurut Aristoteles, manusia memang senang dengan kisah-kisah seram penuh kekejaman karena bisa membawa katarsis atau kelegaan emosional dalam dirinya.
Itu pula yang terjadi saat film horor pertama kali lahir pada zaman Hindia Belanda.
Pertunjukan “gambar hidup” dilakukan pertama kali di Nusantara pada era kolonial Belanda, tepatnya 5 Desember 1900, di Tanah Abang. Film pertama yang diputar adalah dokumentasi jepretan Ratu Wilhelmina dan Pangeran Hendrik di Den Haag, adegan-adegan Perang Boer di Transvaal, Afrika Selatan, dan potongan pendek tentang pameran di Paris.
Saat itu, Belanda sebagai “ibu tiri” yang mengasuh paksa Indonesia membagi kelompok etnis menjadi tiga golongan: Eropa, timur asing dan pribumi. Kebijakan devide et impera ini bertujuan mencegah kemungkinan munculnya persatuan yang berpotensi membahayakan kekuasaan pemerintah kolonial. Akibatnya muncul primordialisme amat kental di antara masing-masing kelompok etnis tersebut.
Perlahan, pemutaran film pun semakin marak. Dari yang tadinya ditujukan untuk masyarakat kelas atas di perkotaan saja, akhirnya film ikut dinikmati kalangan pribumi di pedesaan. Ini mendorong pemerintahan kolonial mengeluarkan peraturan perfilman pada 1916 yang diikuti beberapa revisi di tahun-tahun berikutnya. Melalui peraturan tersebut, muncullah kebijakan sonsor serta aturan bahwa pembuatan film mesti melibatkan aktor pribumi. Ironisnya, ini dipicu terbentuknya citra negatif orang-orang kulit putih di kalangan pribumi setelah menonton film-film impor yang menyajikan berbagai adegan penuh perkelahian, pembunuhan dan seks di luar nikah.
Film pertama yang diproduksi langsung di Hindia Belanda adalah Loetoeng Kasaroeng (1926) karya duet sutradara G. Kruger dan L. Heuveldorp. Sementara itu, butuh waktu sewindu sebelum kemudian muncul film horor perdana berjudul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (1934) yang diproduksi oleh Cino Motion Pictures. The Teng Chun jadi sutradaranya. Film ini bercerita soal hasrat dua siluman ular untuk hidup layaknya manusia biasa.
Kisah Doea Siloeman Oeler Poeti en Item atau Ouw Peh Coa sesungguhnya bukan barang baru. Menurut Claudine Salmon, kisah yang sama sempat beredar dalam buku karangan Lim Ho Hin (1883) dan Tjiong Hok Long (1885). Ia begitu digemari masyarakat peranakan Cina dari golongan timur asing. Bahkan, data dari Tzu You menyebut rombongan opera Soei Ban Lian sempat mementaskan Ouw Peh Coa pada 1911.
Kemudian, The Teng Chun kembali menampilkan sosok siluman dalam dua film horor lainnya pada 1935: Ang Hai Djie dan Tie Pat Kai Kawin. Legenda rakyat Cina memang kerap jadi pilihan untuk diangkat di atas panggung sandiwara maupun dunia film kala itu. Apalagi, banyak perkumpulan sandiwara yang dimotori orang-orang keturunan Cina pada awal abad ke-20. Selain Soei Ban Lian yang didirikan oleh Teng Poei Nio pada 1911, ada pula Miss Riboet Orion yang didirikan Tio Tek Djien pada 1925. Bahkan, The Malay Opera Dardanella yang didirikan A. Piedro asal Rusia pada 1926 juga banyak beranggotakan pemain asal Cina.
Walhasil, selera masyarakat pun ikut terbentuk dari apa yang ditampilkan oleh berbagai kelompok sandiwara populer tersebut. Menurut sastrawan Armijn Pane, pertunjukan sandiwara di zaman itu bertujuan sebagai sarana eskapisme bagi penonton untuk melupakan masalah kehidupan sehari-hari. Maka, berbagai pertunjukan kerap mengangkat hal-hal gaib dan ganjil dengan kemewahan warna, serta umumnya mengangkat dongeng ataupun kisah rakyat dari negeri lain. Ini terbawa pula masuk ke dunia film.
Kemudian, migrasi besar para pemain sandiwara ke dunia film terjadi pada 1937, tepatnya setelah kesuksesan besar film Terang Boelan produksi Nederlandsch Indie Film Syndicaat. Disutradarai oleh Albert Balink, film tersebut diadaptasi dari film Amerika Serikat berjudul The Jungle Princess karya Wilhelm Thiele pada 1936. Imbasnya, usaha pembuatan film kian dianggap sebagai bisnis menjanjikan.
Perusahaan Java Industrial Film milik The Teng Chun cukup banyak menarik orang-orang sandiwara, semisal pasangan suami-istri Ferry Kock dan Dewi Mada dari Dardanella. Pada rentang 1940-1941, perusahaan ini sukses memproduksi 15 film, salah satunya horor berjudul Tengkorak Hidoep karya Tan Tjoei Hock pada 1941. Film ini laku keras di pasaran. Ia mengisahkan perjalanan seorang pendekar ke pulau angker. Penonton berhasil dihibur dengan berbagai efek yang ditampilkan, seperti di adegan kuburan disambar petir dan tengkorak yang bisa bergerak.
Sayang, kedatangan Jepang ke Nusantara pada Maret 1942 menghentikan laju pertumbuhan film. Jepang yang sedang melakoni Perang Pasifik segera menggunakan berbagai media sebagai sarana propaganda, entah siaran radio, koran, sandiwara, hingga film. Terpaksa, film horor mati suri.
Setahun setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949, dunia film kembali bergeliat dengan menghasilkan setidaknya 23 film. Pada 1951, jumlahnya bahkan bertambah hingga 40 judul. Namun, titik balik kelahiran kembali film horor baru dimulai pada 1971, saat muncul Lisa karya M. Syarieffudin serta Beranak dalam Kubur karya Awaludin dan Ali Shahab—film horor debut Suzanna, yang kemudian melegenda hingga mendapat julukan “ratu horor Indonesia”.
Kesuksesan Beranak dalam Kubur bahkan membuat PT Tidar Jaya selaku rumah produksi sukses meraup keuntungan Rp 72 juta. Padahal, biaya pembuatan film pada 1974 diperkirakan hanya berkisar di antara Rp 25-35 juta. Alhasil, ia membuka jalan bagi kemunculan berbagai film horor lainnya. Pada 1972-1980, ada 22 judul film horor diproduksi. Selang satu dekade, angkanya melonjak hampir empat kali lipat. Pada 1981-1991, muncul setidaknya 84 judul film horor, 16 di antaranya dibintangi Suzanna.
Lahir dan tumbuh kembali di masa Orde Baru Soeharto, film horor pun mesti beradaptasi dengan kondisi sosial dan politik saat itu. Rezim ini dibangun di atas lautan darah manusia. Setelah tragedi 30 September 1965, seluruh pihak yang dianggap simpatisan komunis dibantai atau diasingkan. Jumlah korban jiwa tak pernah bisa dipastikan, ada yang menyebut 500 ribu, ada yang bilang 3 juta. Setelahnya, Soeharto mulai membangun Indonesia versinya. Rezim ini membuka diri untuk investasi asing, menerapkan liberalisasi ekonomi, serta memberlakukan dwifungsi ABRI.
Dengan dukungan militer, kontrol ketat pun dilakukan atas konten media massa seperti koran, radio, televisi dan film. Alhasil, masyarakat kehilangan daya tawarnya terhadap pemerintah. Narasi perjalanan bangsa seakan telah ditetapkan satu arah oleh Soeharto dan para kroninya. Siapa berani melawan, bisa mendadak hilang tanpa peringatan.
Di tengah kondisi inilah film horor tumbuh pesat. Film horor yang hadir pada masa 1970-1990an identik dengan legenda masyarakat pedesaan berbalut unsur kekerasan, seks dan komedi. Karena itu Suzanna bisa begitu digandrungi. Ia cantik, bertubuh molek dan berani terlibat dalam adegan panas. Namun, kesuksesannya juga tak lepas dari kehadiran para pelawak legendaris semacam Bokir. Contohnya saat mereka berduet di film Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), Malam Jumat Kliwon (1986), Ratu Buaya Putih (1988) dan Wanita Harimau (1989).
Menurut Freud, masyarakat berusaha mendorong jauh-jauh naluri seksual dan agresif dari kesadaran. Pemikiran-pemikiran akannya baru bisa diterima bila terlontar dalam keadaan tidak serius. Humor kemudian jadi salah satu bentuk pemberontakan atas tuntutan suatu tertib sosial. Maka wajar bila film horor bisa begitu digandrungi. Belum lagi, legenda rakyat yang diangkat terasa dekat dengan keseharian penonton hingga memunculkan ikon-ikon dunia film horor saat itu, dari kuntilanak, sundel bolong, pocong, genderuwo, hingga Nyi Roro Kidul.
Kebijakan pemerintah untuk mengurangi kuota film impor juga turut berpengaruh. Jumlah film impor pada 1972 sempat mencapai 700-800 judul. Satu dekade kemudian, jumlahnya merosot jadi 200 judul. Namun di sisi lain, muncul pula Kode Etik Produksi Film Indonesia pada 1981 yang mewajibkan produksi film nasional untuk senantiasa menjaga moral bangsa. Imbasnya, para tokoh agama kerap berseliweran dalam film horor menunggu waktu untuk melontarkan bualan moralnya. Jadi, semumpuni apa pun kekuatan gaib yang ada di film horor, ujung-ujungnya ia harus tetap takluk pada Tuhan Yang Maha Esa yang kehadirannya diwakili oleh para tokoh agama itu.
Pandangan negatif dan penuh kecurigaan terhadap kota juga mulai muncul dalam film horor seiring modernisasi yang terjadi sejak 1970an. Imbasnya, segala hal yang berbau modern kerap dianggap mengganggu kehidupan bersahaja ala masyarakat pedesaan. Dalam film Beranak dalam Kubur (1971), tokoh Lila jadi target rencana jahat saudarinya sendiri, Dhora, setelah Lila pulang dari kota ke Desa Ciganyar. Sedangkan pada film Malam Satu Suro (1988), Bardo Ardiyanto, pemuda dari Jakarta, menikahi sundel bolong bernama Suketi dan digambarkan jadi kaya raya setelahnya.
Pada 1990an, dunia film mengalami kemunduran, terutama setelah kemunculan sejumlah stasiun televisi swasta nasional seperti RCTI, SCTV, ANTV, TPI dan Indosiar. Masyarakat mulai menemukan hiburan baru di layar kaca dan pekerja film pun seakan berlomba masuk ke industri televisi.
Lalu, krisis ekonomi menghantam Indonesia hingga berujung pada runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto pada Mei 1998. Mau tak mau, dunia film pun sakit keras dan mesti hibernasi.
Wisata misteri dan kejenuhan penonton urban
Kebangkitan genre horor pasca-reformasi ditandai dengan munculnya acara televisi bertajuk uji nyali pada awal 2000an, yaitu Dunia Lain di stasiun Trans TV. Setelahnya, beberapa acara sejenis muncul mengekor, dari Uka-Uka di TPI, Ekspedisi Alam Gaib di TV7, hingga Pemburu Hantu di Lativi.
Tren ini segera diikuti dengan hadirnya film Jelangkung (2001) karya Jose Poernomo dan Rizal Mantovani yang kerap dianggap sebagai titik balik film horor Indonesia abad ke-21. Dengan waktu pengambilan gambar hanya dua minggu dan biaya total produksi sekitar Rp 1 miliar, film ini bisa mendatangkan 1,5 juta penonton selama diputar di layar lebar. Bandingkan dengan Petualangan Sherina (2000) karya Riri Riza yang menghabiskan biaya Rp 2 miliar dengan jumlah penonton kurang lebih sama.
Jelangkung berkisah soal empat sekawan asal Jakarta yang terbawa rasa penasaran mencari penampakan setan hingga ke desa Angkerbatu, Jawa Barat. Di sana mereka melakukan ritual jelangkung untuk memanggil arwah yang berujung pada kemunculan berbagai peristiwa mistis nan mencekam.
Tren uji nyali anak muda ini terus berlangsung dan memunculkan film-film sejenis seperti Hantu (2007) karya Adrianto Sinaga, Pulau Hantu (2007) karya Jose Purnomo ataupun Air Terjun Pengantin (2009) karya Rizal Mantovani.
Tak lupa, jurus lama untuk menambahkan bumbu seks dan komedi di film horor juga kembali digunakan. Wanita seksi dan badut pencair suasana berseliweran di film-film tersebut. Sebut saja Melanie Ariyanto dan Rony Dozer dalam Jelangkung (2001), Nia Ramadhani dan Mastur dalam Suster Ngesot (2007), serta Dewi Persik dan Rizky Mocil dalam Setan Budeg (2008).
Bahkan, beberapa film horor sengaja menampilkan artis porno luar negeri sebagai bintang tamu untuk daya tarik “penjual tiket”. Ada Rin Sakuragi dalam Suster Keramas (2009), Maria Ozawa dalam Hantu Tanah Kusir (2010), serta Sora Aoi dalam Suster Keramas 2 (2011). Semuanya berasal dari Jepang. Hanya Tera Patrick dan Sasha Grey, bintang porno asal Amerika Serikat, yang sempat bermain di Rintihan Kuntilanak Perawan (2010) dan Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011).
Film-film horor tersebut sengaja dibuat untuk menyasar pasar anak muda. Ini adalah bagian dari tren global yang bisa ditelusuri jejaknya sejak keberhasilan film Scream (1996) karya Wes Craven dan Ringu (1998) karya Hideo Nakata. Pengaruh film horor Jepang pun terasa dalam film-film horor lokal seperti Ada Hantu di Sekolah (2004) karya Koya Pagayo dan Mirror (2005) karya Hanny R. Saputra.
Ongkos produksi murah dan jaminan membludaknya jumlah penonton jadi alasan terus bertahannya film horor anak muda dengan bumbu seks dan komedi. Menurut data harian Kompas pada 2007, rata-rata biaya produksi film horor adalah Rp 2-2,5 miliar. Bandingkan dengan Laskar Pelangi (2008) karya Riri Riza yang menghabiskan biaya sekitar Rp 9 miliar.
Jangan heran, dalam daftar 70 film Indonesia terlaris 2007-2015 yang diolah produser Ichwan Persada dari FilmIndonesia.or.id, masuk 16 film bergenre horor, dari Terowongan Casablanca (2007) karya Nanang Istiabudi dengan 1,2 juta penonton hingga Taman Lawang (2013) karya Aditya Gumay dengan 526.761 penonton.
Bisa dikatakan, ini adalah kejadian berulang dari zaman penjajahan Belanda, Orde Baru, hingga reformasi. Saat satu film horor meledak di pasaran, ia membuka sebuah ceruk di pasar dan jadi pilihan lain bagi kebutuhan masyarakat akan hiburan. Segera, film horor pun jadi komoditas kapitalis yang terus ditingkatkan produksinya.
Film horor memang selalu mendapat tempat tersendiri di tengah kehidupan masyarakat. Bedanya, kini yang disasar adalah kaum anak muda di era globalisasi. Lihat saja, anak muda yang dihadirkan biasanya berasal dari kalangan kelas menengah yang sudah melek teknologi dan berkelindan dalam kehidupan modern ala perkotaan. Namun di sisi lain, mereka mencari sarana pelarian pada hal-hal berbau mistis yang tak bisa dijelaskan dengan logika dan akal sehat. Film-film horor jadi begitu turistik dengan mengonstruksi tabu (yang belum tentu ada) di tempat-tempat tertentu di berbagai belahan kota.
Imbasnya, para setan pun mulai berurbanisasi. Bermula dari desa Angkerbatu, Jawa Barat, belakangan mereka mulai menemukan rumah di perkotaan, entah di terowongan Casablanca dekat pusat bisnis dan perbelanjaan di Jakarta Selatan, ataupun Taman Lawang yang identik sebagai tempat berkumpulnya waria di Jakarta Pusat. Beberapa tempat wisata misteri lain sempat diangkat pula dalam film, entah Hantu Jeruk Purut (2006) karya Koya Pagayo, Rumah Kentang (2012) karya Jose Poernomo, Mall Klender (2014) karya David Poernomo dan Agusti Tanjung, ataupun Taman Langsat Mayestik (2014) karya Eka Katili.
Apalagi, produksi dan peredaran film Indonesia masih begitu Jakarta-sentris. Walhasil, keberadaan tempat-tempat “wisata” tersebut dapat menekan ongkos produksi para sineas yang berbasis di Jakarta.
Walau begitu, belakangan film horor tengah mengalami fase penurunan. Pada 2012, muncul 19 film horor dengan raihan 2,99 juta penonton. Ini adalah angka terburuk dalam lima tahun. Ada 19 film horor dengan 7,6 juta penonton pada 2008, 22 film horor dengan 7,23 juta penonton pada 2009, 19 film horor dengan 4,53 juta penonton pada 2010, dan 10 film horor dengan 2,42 juta penonton pada 2011.
Biaya produksi film horor pada 2010-2012 diperkirakan semakin rendah saja, hanya sekitar Rp 600 juta hingga Rp 1 miliar. Bandingkan dengan film lokal lain yang biasa menelan biaya Rp 2-4 miliar.
Bisa dikatakan, masyarakat mulai jenuh dengan resep yang digunakan film horor selama puluhan tahun lamanya: daur ulang ulang legenda rakyat dengan bumbu kekerasan, seks dan komedi. Padahal, definisi ketakutan sendiri terus berubah seiring berjalannya waktu. Penonton tentu tak lagi mengalami teror mencekam kala menyaksikan kereta bergerak cepat di layar lebar. Di sisi lain, kini teror bisa tersebar ke seluruh penjuru negeri hanya dalam beberapa menit dengan kiriman foto korban bom lewat aplikasi pesan di ponsel pintar.
Lebih ekstrem lagi, perkembangan teknologi saat ini memungkinkan siapa saja bisa membuat film hanya dengan bermodal kamera ponsel, serta mempermudah akses terhadap film lewat jaringan internet. Penonton jadi lebih selektif memilih tontonan berkualitas di tengah aktivitasnya sehari-hari. Film horor Indonesia yang kerap mendapat stigma dibuat asal-asalan pun kian terjepit saja.
Maka, satu-satunya horor yang kita dapat dalam film horor Indonesia kini adalah kenyataan bahwa penonton datang untuk tertawa ataupun terangsang saat menyaksikannya.
REFERENSI
________. The Psychology of Scary Movies. Filmmakeriq.com, diakses pada 8 April 2016.
Adrian Jonathan Pasaribu. 2013. Risalah 2012: Menjaga Momentum Film Indonesia. Filmindonesia.or.id, diakses pada 11 April 2016.
Armijn Pane. 1953. Produksi Film Tjerita Indonesia: Perkembangannja sebagai Alat Masjarakat. Jakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional.
Barbara Mennel. 2008. Cities and Cinema. New York: Routledge.
Didi Kwartanada. 2011. Dari “Timur Asing” ke “Orang Indonesia”: Pemuda Tionghoa dan Arab dalam Pergerakan Nasional (1900-1942) dalam Prisma volum 30, nomor 2. Jakarta: LP3ES.
Dyna Herlina & Garin Nugroho. 2015. Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Eric Sasono. 2008. Sketsa Jakarta dalam Film Indonesia. Karbonjournal.org, diakses pada 8 April 2016.
Fandy Hutari. 2015. Sandiwara dan Perang: Propaganda di Panggung Sandiwara Modern Zaman Jepang. Yogyakarta: Indie Book Corner.
Hikmat Darmawan. Mengapa Film Horor, diterbitkan ulang dari rumahfilm.org. Perfilman.perpusnas.go.id, diakses pada 10 April 2016.
Jakob Sumardjo. 2015. Ouw Peh Coa di Indonesia dalam buku pentas Opera Ular Putih. Jakarta: Teater Koma.
JB Kristanto. 1995. Katalog Film Indonesia 1926-1995. Jakarta: Nalar.
Julius Pour. 2011. Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Karl G Heider. 1991. Indonesian Cinema: National Culture on Screen. Honolulu: University of Hawaii Press.
Maulin Ni’a dan Nella A. Puspitasari. Film Horor Indonesia: Menertawakan Ketakutan. Academia.edu, diakses pada 10 April 2016.
Muhammad Lutfi & Agus Trilaksana. 2013. Perkembangan Film Horor Indonesia Tahun 1981-1991 dalam Avatara volum 1, nomor 1. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Ucu Agustin. 2002. Sihir Jelangkung. Pantau.or.id, diakses pada 10 April 2016.
Veronika Kusumaryati. 2015. The Feminine Grotesque in Indonesian Horror Films. Cinemapoetica.com, diakses pada 10 April 2016.