Makau ingin mengembangkan diri sebagai kota perfilman dunia. Tidak hanya dari sisi bisnis, tapi juga budaya perfilman untuk warga setempat, sebagaimana yang dinyatakan Maria Helena de Senna Fernandes, presiden International Film Festival & Award Macao (IFFAM), “Kami ingin membuat sebuah wadah pertukaran untuk profesional industri film dunia, dan membuat program pelatihan bagi pembuat film Makau. Selain itu, tujuan kami untuk membantu perkembangan industri kreatif dan budaya, serta mengenalkan penonton lokal terhadap apresiasi film internasional”.
Terdengar ambisius memang. Makau sendiri, tidak seperti tetangganya di Hong Kong atau Cina Daratan, masih jauh dari industri film yang mapan. Penyelenggaraan kedua IFFAM diharapkan dapat menjadi jalan menuju ke sana. Selama seminggu, dari 8 sampai 14 Desember 2017, festival film karpet merah ini menayangkan 48 film panjang dan 16 film bagi publik setempat—warga lokal, turis, maupun pelaku perfilman antarbangsa yang datang khusus untuk festival.
Film Makau Masih sebagai Pelengkap
Ada dua program kunci dalam perhelatan IFFAM 2017. Pertama, program kompetisi khusus sineas pemula—hanya film panjang perdana atau kedua—yang mempertemukan sepuluh film dari berbagai negara. Hunting Season (Temporada de Caza) karya Natalia Garagiola (Argentina) terpilih sebagai film terbaik. Program kompetisi ini, sayangnya, sama sekali tidak melibatkan film produksi Makau. Fakta ini tidak luput dari Joan Chen, anggota juri kompetisi. Dalam salah satu jumpa pers, beliau menyayangkan hanya ada satu film berbahasa Mandarin yang layak berkompetisi, itu pun berasal dari Cina Daratan—Wrath of Silence (Bao Lie Wu Sheng) karya Xin Yukun. Tanggapan pihak penyelenggara: “Kami telah menonton banyak film mandarin, tetapi sulit untuk menemukan film mandarin yang kuat. Hanya Warth of Silence yang kami masukan”.
Film Makau sendiri bukannya absen dalam IFFAM. Mereka tetap diperhitungkan sebagai unsur pendukung program festival. Ada program Macao Special Presentation yang menayangkan dua film panjang garapan pembuat film lokal yang berlatar di Makau: Passing Rain karya Chan Ka Keong dan Love is Cold, karya Ho Fei. Melengkapi program tersebut ada Local View Power, kumpulan 14 film pendek karya sineas-sineas setmpat yang didanai Macao Cultural Center. Selain itu, IFFAM turut menayangkan film-film pendek hasil lokakarya British Film Institute yang melibatkan 24 sineas muda Makau. Selain program-program ekshibisi untuk mendukung perfilman setempat, ada kuliah umum bersama John Woo, sutradara legendaris asal Hong Kong, serta Pang Ho Cheung tentang cara menulis dialog yang luwes dan relevan bagi penonton.
Program kunci lainnya dalam IFFAM 2017 adalah pasar film. Melalui IFFAM, Makau diharapkan bisa menjadi titik temu bagi pelaku perfilman di Asia untuk berkolaborasi dengan pelaku perfilman dari belahan dunia lain, baik dari segi bisnis maupun dari artistik. Wujud utama dari program ini adalah Project Market, arena bagi para sineas dunia untuk mempresentasikan proyek film mereka. Karya-karya terpilih akan mendapat dana dukungan sejumlah USD $10.000,-. Dari empat belas proyek film panjang yang dipresentasikan, terpilih tiga proyek unggulan: Mihara (Amerika Serikat & Jepang), The Girl with No Head (Malaysia), serta The Last Savage (Amerika Serikat, Prancis, dan Indonesia).
Mendampingi pasar film, ada serangkaian forum yang diselenggarakan IFFAM untuk membahas sejumlah tantangan yang dihadapi perfilman internasional secara umum dan perfilman Makau secara khusus. Sayangnya, forum ini terbatas dan tertutup bagi umum. Ada tiga topik yang dibahas: loyalitas konsumen industri film di tengah perkembangan industri televisi dan media streaming; relevansi festival film untuk perfilman zaman sekarang; dan potensi ekspor film Cina ke pasar internasional.
Jumlah Penonton Meningkat
Penyelenggara IFFAM boleh berbesar hati. Pasalnya, jumlah penonton IFFAM 2017 lebih ramai dari tahun sebelumnya. “Kami turut senang dengan respon penonton Makau dan saya berterima kasih kepada pembuat film yang dapat untuk mempresentasikan film mereka. Sebuah minggu dan perayaan pemutaran layar lebar yang menakjubkan”, ucap Mike Goodridge, direktur artistik IFFAM.
Meski tiap pemutaran untuk publik umum dikenakan biaya $50 atau sekitar Rp 84.500, beberapa film seperti Journey’s End, Angels Wear White, dan Call Me by Your Name habis terjual tiketnya. Di sisi lain, tempat dan hari pemutaran film juga berdampak pada jumlah penonton. Beberapa pemutaran berlangsung di pusat keramaian, seperti Macao Tower dan Cinemateque Passion. Dan, seperti yang bisa diduga, akhir pekan menjadi waktu paling ramai penonton selama IFFAM.
Layaknya banyak festival lainnya yang punya aspirasi mendunia, IFFAM turut mengundang sejumlah sosok ternama untuk menjadi duta festival, macam Jeremy Renner, Miriam Yeung, Donnie Yen, Shekhar Kapur, Choi Dong-hun, dan Doh Kyung-soo (aka D.O.). Nama terakhir cukup sukses menarik perhatian remaja setempat. Doh Kyung-soo merupakan aktor dan anggota EXO, sebuah band asal Korea Selatan yang terkenal di Makau. Meski filmya tidak diputar di IFFAM 2017, para fans D.O. turut meramaikan karpet merah.
Satu kelowongan yang masih berulang dari tahun lalu adalah interaksi antara pembuat film dan penonton. Umumnya, pembuat film hanya memberikan sambutan pada awal film dan ketika pemutaran selesai, pembuat film dan penonton kembali ke urusan masing-masing. Tidak ada upaya aktif dari penyelenggara festival untuk mewadahi interaksi antara keduanya, yang mana bisa berkontribusi bagi pemantapan budaya menonton di Makau. Seusai pemutaran film Goodbye, Grandpa!, misalnya, beberapa penonton menghampiri Yukihiro Morigaki (sutradara) dan Yukino Kishii (pemeran) untuk menyampaikan kesan mereka. Tanggapan dari para sineas hanyalah rasa canggung, karena tidak ada penerjemah yang bisa menjembatani keterbatasan bahasa di antara kedua belah pihak.
Di atas kertas, aspirasi IFFAM untuk menjadi “a new avenue of the world of film” mungkin sudah tercapai. Ia telah berhasil memutar dan mengundang pembuat film dunia untuk mengunjungi Makau. Namun, masih ada ruang kosong bagi perkembangan industri dan pembuat film lokal, serta apresiasi oleh penonton lokal. Harapannya melalui festival berikutnya, IFFAM dapat mengisi ruang kosong tersebut.
Laporan ini merupakan hasil kunjungan anggota redaksi Cinema Poetica ke International Film Festival & Award Macao 2017. Untuk laporan penyelenggaraan tahun lalu, bisa diakses di sini.