Hubungan Sinema dan Filsafat, Menurut Gilles Deleuze

wacana-gilles-deleuze_hlgh

Pemikiran filsuf Perancis Gilles Deleuze adalah sebuah tantangan tersendiri ketika kita bicara tentang sinema, filsafat, dan hubungan di antara keduanya. Di Indonesia, belum banyak kajian dan praktik yang menggunakan pemikiran Deleuze sebagai pisau bedah, taruhlah lagi landasan berpikir bagi beragam keperluan.

Poin pertama yang perlu digarisbawahi adalah konsep multiplisitas yang sekiranya dapat mengantarkan kita ke dalam horizon pemikiran Deleuze terutama dalam kaitannya dengan sinema dan area main Deleuze yang biasa, yakni filsafat. Bagi Deleuze, multiplisitas adalah keragaman pintu masuk (a multiple entry point) yang merupakan elemen yang paling utama dalam berpikir. Dalam kajiannya, ia menandai sistem berpikir semacam ini dengan istilah ‘rizom’. Bagai akar yang berurat kesana-kemari, rizom menghapuskan hierarki segala sesuatu dalam berpikir. Bagi Deleuze, pemikiran adalah perihal bagaimana kita membuat relasi antara satu dengan yang lain dan hal tersebut berlangsung dalam sebuah area yang imanen, tak ada yang lebih tinggi, lebih agung dan lebih besar di antara satu dan yang lain.

Selain itu, relasi tidaklah hadir sebagai sesuatu yang niscaya, melainkan harus dibuat dalam pikiran, dan dalam proses pembuatan relasi, ia mestilah dibangun di antara konsep dan imaji. Bagi Deleuze, konsep terwakili melalui filasafat, sementara imaji terwakili melalui sinema. Relasi konsep dan imajilah yang mendasari Deleuze dalam menelurkan dua edisi buku yang ia beri judul Cinema 1: Movement-Image (1983) dan Cinema 2: Time-Image (1985). Kedua buku ini membahas bagaimana sinema terbentuk dari saling-silang gambar dan durasi; keduanya hadir sebagai imaji yang memiliki keterhubungan yang bersifat senantiasa dengan konsep.

Bagi sebagian orang, Cinema 1 dan Cinema 2 adalah buku yang luar biasa rumit karena Deleuze terkesan begitu tendensius dalam merekonstruksi klasifikasi imaji yang sudah dibangun selama hampir seratus tahun sejarah sinema. Deleuze tidak bicara shot, tidak bicara peletakan dan pergerakan kamera, tidak bicara teknis, ia bicara tentang sinema sebagai realitas (bukan penanda realitas sebagaimana yang ramai dibahas oleh para begawan semiotika–Christian Metz, Teresa de Lauretis, Umberto Eco, Pier Paolo Pasolini, dan lain-lain) yang memiliki durasi dan keberadaannya sendiri. Kesulitan-kesulitan ini, menurut kami, sebagian besar disebabkan karena kita seringkali terlalu terburu-buru memasuki lanskap pemikiran Deleuze tanpa mempertimbangkan karya-karyanya sebelumnya.

Itulah mengapa, sebelum mulai membaca Cinema 1 dan Cinema 2, ada baiknya kita mengkaji terlebih dahulu pemikiran-pemikiran Deleuze mengenai filsafat itu sendiri dan bagaimana sebuah konsep berelasi dengan imaji. Dalam edisi Wacana kali ini, Cinema Poetica memperkenalkan dua eksemplar skripsi yang secara brilian mengkaji peran pemikiran Deleuze bagi sinema, filsafat dan juga hubungan di antara keduanya. Skripsi yang pertama secara khusus berusaha untuk memetakan pemikiran Deleuze mengenai sinema dalam peta yang lebih besar tentang pemikiran filsafat Deleuze secara keseluruhan. Dalam skripsi yang ditulis Suluh Pamuji (Jurusan Filsafat, Universitas Gadjah Mada) ini, ulasan mengenai pemikiran Deleuze disusun secara akademis namun tetap renyah sehingga bisa dicerna oleh sesiapa saja yang tertarik membaca.

Selanjutnya, setelah memahami lebih kurang posisi gagasan sinema Deleuze dalam horizon pemikirannya secara keseluruhan, Cinema Poetica juga menyediakan satu skripsi yang mengkhususkan diri sebagai studi kasus atas bagaimana salah satu konsep dalam pemikiran Deleuze mengenai imaji sinema dibedah secara mendalam dan dibuat relevan dengan pertanyaan-pertanyaan populer hari ini.

Keberpihakan pada superfisialitas

Dualisme klasik antara forma (bentuk, bungkus, permukaan, apa-yang-nampak) dan materia (isi, materi, esensi) dari Aristoteles rupanya masih relevan untuk dibahas dalam dunia sinema. Perkara inilah yang kemudian diangkat oleh Yustinus Kristianto (Jurusan Filsafat, Universitas Parahyangan) dalam skripsi bertajuk Imaji dan Gerak dalam Superfisialitas Film.

Walter Benjamin pernah mengungkapkan bahwa film adalah sesuatu yang paling menggambarkan peleburan antara seni dan teknologi. Namun ketika hari-hari ini semua hal bisa dengan mudahnya dianggap (baca: dilabelkan) seni, dan teknologi semakin mendominasi kehidupan, perkara dualisme klasik seakan mencuat kembali. Menggunakan istilah ‘superfisialitas’ yang berarti menyangkut hal-hal permukaan, Yustinus mengungkapkan kegelisahannya bahwa dunia sinema sangat mungkin didominasi oleh bentuk atau hal-hal yang berada di permukaan karena didukung oleh kemutakhiran teknologi. Dan di sisi lain, Yustinus juga tidak mau mereduksi film semata-mata hanya persoalan isi atau esensi.

Bila menoleh pada era modern, manusia pernah demikian mendewakan isi, sampai-sampai tubuh manusia hanya dianggap cangkang yang tidak lebih penting dari rasio. Masuk abad dua puluh, orang mulai percaya bahwa bentuk dan isi sama pentingnya. Namun rupanya di saat bersamaan, muncul gerak lain yang diciptakan oleh industri, neraca yang sempat relatif seimbang, kemudian mulai agak memberat pada persoalan bentuk. Sama seperti aneka merek dan jenis sabun, variasi pada bentuk sengaja diciptakan untuk memberikan kesan bahwa ada perbedaan, dan ujungnya tidak jauh dari perkara meningkatkan konsumsi.

Ketimbang menggunakan pemikiran Marshal McLuhan mengenai the medium is the message atau dengan kata lain, medium sama (penting) dengan pesannya, Yustinus memilih mengambil resiko dengan menggunakan pemikiran Deleuze yang pelik. Menggunakan pemikiran Deleuze dalam Cinema I, dan menjadikannya esai sepanjang 18 halaman tentu bukan perkara mudah, bahkan rawan menyebabkan lompatan ide. Menariknya, ketimbang membedah pemikiran Deleuze, esai Yustinus justru bernuansa lebih ‘pragmatis’, menggunakan pemikiran Deleuze untuk membenarkan asumsi dan menjadikannya serupa ‘alat bukti’.

Bagi Deleuze, realitas adalah kumpulan imaji-gerak (movement-image), dan imaji bergerak di dalam waktu. Lantas, bagaimana dengan realitas-dalam-film sendiri? Bila pada pemikiran dari filosof lain, cenderung menganggap karya seni sebagai tiruan dari realitas, maka Deleuze tidak sependapat. Baginya, film adalah juga realitas, sebab di dalam film terdapat imaji-gerak yang otonom, serta waktu yang terwujud dalam bentuk durasi. Film adalah kumpulan-imaji yang berurutan hingga menyebabkan gerak, yang kemudian dicerap oleh penonton. Inilah yang membedakan film dengan imaji-beku dalam fotograf.

Imaji gerak memiliki tiga manifestasi: imaji-aksi, imaji-afeksi, dan imaji-persepsi. Esai Imaji dan Gerak dalam Superfisialitas Film secara khusus menggarisbawahi imaji-persepsi. Apa yang dipersepsi oleh penonton amat diarahkan dan ditentukan oleh persepsi dalam film. Mata penonton, misalnya, akan melihat (dan ‘menandai’) apa yang sudah terlebih dahulu dilihat oleh kamera. Singkat kata, kesadaran penonton analog dengan, apa yang disebut Deleuze dengan, kesadaran-kamera (camera-consciousness).

Tentu kamera tidak bekerja sendirian dalam menciptakan imaji dalam film, masih ada penyuntingan, efek visual dan aneka elemen lain dalam film. Dari situasi ini sampailah kita pada kenyataan bahwa alat teknologi semacam kamera dan komputer, yang seolah-olah hanya digunakan untuk membangun tampilan film, di saat bersamaan justru memampukan kita tiba pada realitas-film, ‘merasakan’-nya, dan akhirnya membangun kesadaran baru. Yustinus meminjam ilustrasi dari film-film Kim Ki-duk yang tampilannya terasa kasar, namun justru karena itulah bisa membawa penonton mempersepsi bahwa “dalam realitas, masih banyak orang yang tidak merasakan hidup mulus dan halus”. Dengan kata lain, superfisialitas, hal-hal yang permukaan-tampilan itu tidaklah mungkin dapat dipisahkan dari perkara isi atau esensi.

Superfisialitas yang serta-merta ada dan terintergrasi di dalam film barangkali sesuai dengan apa yang disebut oleh Gilbert Ryle sebagai kesalahan-kategori (category mistake). Manusia yang memisah-misahkan hal yang integral menjadi superfisialitas esensi, kemudian mempertentangkannya, berupaya menunjukkan mana yang lebih penting, namun pada akhirnya menyadari bahwa keduanya sama penting. Namun, sampai di sini tak ada salahnya pula bila iseng-iseng kita menggunakan pemikiran Deleuze yang kemudian ‘dibaca’ oleh Yustinus untuk melakukan pengujian-pengujian kecil pada film-film yang kita tonton. Apakah superfisialitas yang ditampilkan sudah relatif “sepadan” dengan isi? Atau jangan-jangan, sebagaimana nuansa (meminjam perkataan Frederic Jameson) late capitalism zaman ini, alih-alih mengantarkan pada isi, superfisialitas malah lebih dekat dengan banalitas? Dan bila sudah demikian, kemutakhiran film hanya manifestasi dari ‘kecentilan’ teknologi dan pameran kapital, yang meriah namun tidak merayakan apa-apa.

DAFTAR BACAAN

  • Relasi Filsafat dan Sinema: Sebuah Proyeksi Atas Pemikiran Gilles Deleuze dalam Cinema 1, Cinema 2, dan What is Philosophy (Suluh Pamuji, 2014) | unduh
  • Imaji dan Gerak dalam Superfisialitas Film (Yustinus Kristianto, 2014) | unduh