Tidak sedikit kalangan yang menolak ketika media mendudukkan tulisan-tulisan film di meja hiburan. Sebagai hiburan, film hanya ditulis ala kadarnya. Beberapa di antaranya menanggapi dengan membuat media sendiri terkait kajian dan telaah film. Salah satunya Hikmat Darmawan.
Hikmat adalah satu dari sejumlah kritikus dan jurnalis yang sempat menghidupi RumahFilm—perhimpunan yang bergerak memajukan kajian dan telaah yang berkait dengan film Indonesia. Selain Hikmat, ada sejumlah nama yang sampai sekarang masih aktif berkegiatan di dunia film, seperti Krisnadi Yuliawan, Asmayani Kusrini, Eric Sasono, Ekky Imanjaya, dan Ifan Ismail. Situs RumahFilm kini sudah tak aktif, tapi tak bisa dipungkiri, selama kehadirannya RumahFilm banyak menyumbang gagasan dan perspektif menarik seputar film Indonesia, bahkan menjadi rujukan untuk generasi baru kritikus dan jurnalis film di Indonesia.
Selain film, Hikmat Darmawan juga gemar mengamati dan menikmati budaya pop, khususnya komik. Dia turut serta menggerakkan kegiatan budaya di Indonesia dengan mendirikan berbagai organisasi, yaitu Musyawarah Burung, Akademi Samali, dan Pabrikultur.
Pada 20 November 2015, Hikmat Darmawan menyanggupi ajakan redaksi Cinema Poetica untuk bertemu dan berdiskusi. Meski baru pulang dari Frankfurt, lelaki berzodiak Gemini ini tampak segar dan bersemangat meladeni kami. Kami bertemu di salah satu tempat kesukaan beliau mencari buku: basement Blok M Square, Jakarta Selatan. Selama kurang lebih dua jam, kami berbincang seputar kritik film dan film-film Islam di Indonesia.
Ulasan film di Indonesia, menurut amatan Mas Hikmat selama ini, apa saja ragamnya? Dan bagaimana kualitasnya?
Saya membaca ulasan film sejak SD. Dulu, pada akhir 1970an dan awal 1980an, informasi tentang film hanya dari media massa. Ada dua yang menonjol, harian Kompas dan majalah Tempo.
Kemudian, pada 1980, informasi tentang film mulai banyak. Ada dua majalah yang sangat kuat penulisan filmnya, yaitu majalah Zaman dan Jakarta-Jakarta. Di majalah Zaman, ada artikel panjang tentang film. Menariknya, di majalah Jakarta-Jakarta, orang-orang yang menulis tentang film adalah para sastrawan, seperti Seno Gumira Ajidarma, Danarto, Putu Wijaya. Mereka menulis tentang Jackie Chan, Jaka Sembung, dan sebagainya. Seno juga banyak menulis di majalah Zaman.
Di Tempo, ada Salim Said. Dia sarjana politik dengan bidang khusus militer, yang kemudian sangat mendalami film. Dia sering mengulas festival-festival film. Di Kompas, ada Marselli [Sumarno]. Juga ada JB Kristanto, yang seperti kita tahu masih konsisten sampai sekarang.
Media-media itu memberikan ulasan yang cukup cerdas. Jadi bayangkan waktu itu, dari segi ulasan film, resensi pun sangat kaya. Untuk resensi pendek saja, yang nulis bisa jadi seorang sastrawan yang waktu itu masih aktif. Tulisan film mereka, walaupun pendek, ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan analitik. Penonton serasa dituntun, dan sudut pandang yang digunakan kaya dan tajam. Saya yang masih SD pun bisa mengerti. Dan itu penting. Karena waktu itu belum ada internet dan sumber informasi yang lain. Saya hanya bisa mendapat informasi dari media-media itu.
Pada pertengahan 1980an, ada satu acara di TVRI yang memberi ulasan tentang film. Saya lupa nama acaranya. Sedikit sih bahasannya, tapi saya jadi tahu informasi soal dunia film, selain dari media cetak tentunya.
Secara kuantitas, tentu saja resensi pendek yang lebih banyak tersedia bagi publik. Yang paling menarik di majalah Jakarta-Jakarta, beberapa film dibahas secara khusus satu sampai dua halaman beserta uraian pendek. Di samping kolom, ada rating film itu oleh beberapa sastrawan. Misalnya, untuk film Angel Heart [karya Alan Parker pada 1987], SGA memberi bintang empat, Danarto bintang dua. Seru sekali, penonton jadi semakin penasaran.
Kalau di majalah Zaman, penilaiannya pakai tanda—untuk sinematografi, misalnya, pakai ikon kamera, dan sebagainya. Sekarang saya dapat lagi majalah Zaman, seluruh edisi, dari awal terbit sampai akhir. Saya baca-baca lagi, sering sih ulasannya sotoy-sotoy gitu. Wah saya nonton film kaya begitu dulu. Menyenangkan sekali. [Tertawa]
Dari situ, kita bisa tahu kalau dulu tulisan tentang film itu diperhatikan, dilakukan dengan penuh pertimbangan. Tidak ditulis sembarangan atau oleh sembarang orang, walaupun sistemnya redaksional atau penugasan. Danarto, misalnya. Dia menulis tentang film karena dia kerja untuk Zaman. Tapi Danarto sendiri, sebagai seorang sastrawan, punya kemampuan menulis yang mumpuni. Sehingga bagaimanapun juga, sudut pandangnya unik. Saya jadi terlatih karena membacanya.
Setelah Zaman mati, hadir Matra pada 90an. Rezim Orde Baru kan cukup ketat ya membatasi penerbitan. Ada yang namanya surat izin penerbitan, jadi nggak sembarang koran atau majalah bisa terbit. Nah, di Matra itu sering masuk tulisan bagus, salah satunya Joko Anwar. Dia mengawali karier perfilmannya dengan menulis. Jakarta Post juga bagus, meski waktu kecil saya tidak pintar bahasa Inggris. [Tertawa]
Produksi film mulai surut pada 90an. Pada saat yang sama, televisi swasta bermunculan. Ada satu-dua acara yang mengulas film, walau secara umum banyak pekerja film yang pindah ke televisi. Waktu itu juga, saya mulai menulis untuk Republika. Dan saya merasakan bahasan tentang film di media-media makin sedikit. Kompas tidak lagi mengulas film—kalaupun ada, paling dengan sekadar sistem bintang. Kompas buat saya makin lama makin sembarangan. Baru bagus kalau Mas JB [Kristanto] atau Danarto yang menulis. Itupun karena mereka diundang untuk menulis esai, feature, resensi, dan sebagainya.
Penulisan tentang film waktu itu lebih banyak saya temukan dalam bentuk buku. Kebanyakan kajian film. Nggak hanya esai, tapi juga tulisan akademik. Dari situ saya lanjut belajar tentang film. Apalagi, waktu itu, wawasan internasional mulai terbentuk karena saya mulai mengakses perpustakaan. Buku-buku tentang film mulai bisa diakses dengan mudah.
Pada 2000an ini, kelihatan sekali rubrik film di banyak media diisi oleh orang-orang yang tidak menguasai film. Film masuk meja hiburan, dan sebagai hiburan, film hanya ditulis ala kadarnya. Tidak ada perhatian sungguh-sungguh. Bahkan untuk data. Banyak sekali kesalahan dalam penulisan, bahkan di media sekelas Kompas.
Contohnya?
Contohnya, mereka menulis Bourne Identity sebagai film sains-fiksi. Atau Vertigo adalah adaptasi novel Alfred Hitchcock. Parahnya, itu terjadi pada zaman internet. Tinggal cek Google. Sangat sembarangan. Tidak ada kedalaman. Film dianggap remeh, sekadar hiburan. Yang kebagian nulis adalah wartawan-wartawan baru.
Dari situ, saya dan teman-teman jelas tidak puas. Mendingan bikin media sendiri deh kalau gitu, pikir kami. Kemudian lahir RumahFilm dan blog-blog lainnya.
Menurut Mas Hikmat, penonton sendiri butuh ulasan seperti apa?
Menurut saya, penonton nggak butuh, karena sebenarnya banyak penonton merasa tak butuh baca ulasan orang lain. Kalaupun butuh, ulasan tertentu saja. Sekadar consumer guide, sebuah panduan menonton—film-film yang kalaupun kamu tonton, kamu nggak bakal rugi duit. Mereka cuma butuh panduan belanja, belanja karcis. Asumsinya, yang paling dicari adalah yang hiburannya paling tinggi.
Karena dasarnya itu, ulasan yang dibuat pun sekadar penulisnya suka atau tidak suka, kamu bakalan suka atau nggak. Tidak ada argumen kritik di situ. Kritik hanya sebatas apa yang penulis anggap tidak menyenangkan, sehingga membuatnya rugi. Ulasan model seperti itu yang sekarang melimpah ruah di online. Sekarang ini, ketika orang sudah merasa rajin menonton, dia merasa dia bisa kasih tahu orang lain. Tak ada kebutuhan besar untuk mendapatkan tulisan yang kritis.
Tapi ada juga kritik film yang sifatnya akademis, yang terkadang bocor ke media massa, berupa esai. Dulu di Bentara Budaya kadang-kadang muncul Eric Sasono, Mas JB juga. Mereka menulis bukan tentang filmnya saja, tapi lebih luas lagi dari itu. Ulasan mereka selalu berdasar pada teori dan wacana tertentu.

Bagi Mas Hikmat, apa tugas seorang kritikus?
Tulisan kritik adalah menjembatani film dengan penonton. Si kritikus harusnya berfungsi bukan sebagai pemandu belanja, dan tidak lagi berdasar pada suka atau tidak suka. Dia bertanggungjawab memperkenalkan apa yang ia anggap sebagai tontonan baik, secara estetis maupun sosial. Tugas dia adalah membuat orang yang mungkin nggak kenal menjadi kenal, tahu, bahkan tertarik pada berbagai cara pandang alternatif terhadap film.
Seberapa penting penonton butuh tahu ulasan film seperti itu?
Tergantung penontonnya macam apa. Penonton film kan macam-macam jenisnya. Ada penonton bioskop—apapun yang diputar di bioskop, dia bakal tonton. Biasanya dia hanya punya motif umum: belanja. Dia memperlakukan film sebagai belanja. Biasanya tujuannya adalah pacaran, PDKT, hiburan, atau pelepas stres. Jadi, mereka memilih film hanya berdasar pada tingkat kepuasan tertinggi—yang paling menghibur. “Udah gue capek-capek kerja, di tempat kerja mikir, ngapain gue mikir juga pas nonton.”
Ada penonton yang mencari lebih dari hiburan, atau hiburan khusus. Misalnya, film yang bikin mikir. Biasanya mereka memperhatikan lebih mendetail, lebih banyak unsur film yang ditelaah. Mereka butuh ulasan yang mendalam.
Ada juga penonton yang ingin bikin film. Mereka lebih perhatian pada hal-hal yang sifatnya teknis. Cerewet sekali dengan gerak kamera, misalnya. Ada juga penonton-penonton yang di luar itu, mereka yang mau mendapat tuntunan. Ibu-ibu pengajian, misalnya.
Nah, butuh tulisan yang lebih dari sekadar hiburan. Tulisan mendalam tentang film itu ceruknya khusus. Kemungkinan pembacanya antara akademisi, orang yang belajar film, atau yang memang geek, yang ingin mendapat hiburan intelektual, baik dari membaca maupun menonton film.
Sasaran Mas Hikmat sendiri sebagai kritikus apa?
Saya ingin memperkenalkan cara pandang alternatif, yang bukan consumer guide. Sejak 90an, saya sudah seperti itu. Saya tidak terlalu tertarik menulis film berdasar suka atau tidak suka. Saya tidak menempatkan selera sebagai tumpuan saya. Tulisan pertama saya di Republika adalah ulasan The English Patient [karya Anthony Minghella pada 1996]. Ulasan saya berfokus pada alih wahana dari sastra ke film, serta peluang-peluang dalam suatu proses alih wahana dari sastra ke film. Dalam The English Patient, kasusnya adalah pada struktur naratif di novel yang berbeda dengan yang ada di film. Tapi justru karena itu, The English Patient dianggap setia dengan novelnya. Bandingkan dengan yang terjadi di Indonesia pada waktu itu. Ronggeng Dukuh Paruk diadaptasi berdasar sensasi seksnya saja. Saya melihat sampai ke sana, melihat estetikanya. Itu yang saya bayangkan waktu menulis, bukan sekadar orang mau memutuskan menonton atau tidak.
Siapa saja yang Mas Hikmat bayangkan sebagai pembaca?
Saya melihat film sebagai hiburan kritis, hiburan intelektual. Dan itu bertahan sampai dengan sekarang. Bukan film berdasarkan selera, tapi pembacaan dan tinjauan tersendiri. Jadi, yang saya bayangkan adalah orang-orang yang tertarik, atau yang bisa dibuat tertarik, adalah orang-orang yang berpandangan serupa.
Misalnya, saya bahas film-film jelek. Ada beberapa film dakwah, tapi saya bahasnya secara serius, dengan melihat film ini sebagai perwakilan ide kelompok Islam tertentu. Jika saya membahas kamera, sinematografi, kostum, tata cahaya, dan sebagainya, itu lebih pada apakah semua elemen dalam film mendukung gagasan yang hendak disampaikan.
Kalau kajian akademik, saya antara tertarik dan nggak. Karena saya tidak terlalu percaya kajian akademik betul-betul punya nilai strategis untuk masyarakat secara umum. Saya bukannya menafikan kajian akademik ya. Harus tetap ada, tapi saya sendiri merasa tidak punya kesungguhan untuk masuk ke sana.
Saya lebih suka bermain di ranah alternatif. Dalam konteks ini, saya malas mengulas kalau saya nggak menemukan bacaan menarik atau perspektif khusus. Kalau sekadar filmnya bagus atau jelek, ya itu cukup ngobrol di kafe atau nge-tweet saja.
Selama Mas Hikmat menjadi kritikus, bagaimana interaksi yang terjadi dengan pembaca?
Sejak ada internet, jadi lebih asyik. Paling nggak jadi tahu berapa hit, berapa like, jadi tahu apa tulisan ini disukai atau dicuekin. Ketika tulisan saya menarik tapi ternyata orang-orang nggak tertarik, ya itu salah mereka. [Tertawa]
Tapi sejujurnya tidak jarang saya meredam godaan menjadi narsis kok, dengan tidak memperdulikan hit atau like dan sebagainya. Internet memungkinkan ada interaksi lebih dengan tulisan. Saya malah senang kalau ada yang sampai mengajak diskusi.
Kalau dengan pembuat film, bagaimana? Mungkin bisa berbagi yang paling menarik.
Yang paling menarik adalah tanggapan terhadap ulasan saya tentang 99 Cahaya di Langit Eropa. Tanggapannya berasal dari karakternya sendiri. Dia yang meng-inbox saya. Ajaib kan, dan itu hanya bisa terjadi pada masa sekarang. [Tertawa]
Harusnya hal itu membuka peluang adanya dialektika. Makanya kalau kamu lihat tanggapan saya setelah itu, saya tetap menjaga emosi saya, biar saya tetap jujur. Jadi apa yang saya rasakan tidak saya buang. Karena itu tadi saya bilang, saya tidak terlalu akademis. Apa yang saya rasakan itu menjadi api, semangat dan komitmen untuk membahas poin-poin secara kritis. Saya mengharapkan ada dialektika.
Lama-lama saya berpikir, sebetulnya ruang komunikasi murni, seperti yang dibayangkan [Jürgen] Habermas, itu seringkali digagalkan banyak variabel. Jadi percuma juga sih. Pada akhirnya, saya tidak pernah berusaha mengubah lawan bicara saya. Dengan menulis, saya membiarkan orang lain membaca, biar kemudian mereka sendiri yang berdialektika. Mereka nggak harus setuju dengan saya. Dengan menuliskan, saya selalu percaya bahwa gagasan itu penting. Begitu gagasannya sudah tertulis, dialektikanya tidak terbatas pada si pembuat film, tapi juga untuk para pembaca.
Tentu, ada pembaca yang pada dasarnya sudah fanatik, yang tidak mau menerima pandangan lain. Ya tidak apa-apa juga. Di luar itu semua, ia bisa melihat, ada sudut pandang yang lain. Pada akhirnya, saya terkesan menjawab satu orang, si karakter itu, tapi sebetulnya tidak. Saya sendiri tidak merasa terlalu penting, apakah orang itu akan menanggapi secara serius jawaban saya.
Begitu saya tuliskan, apapun gagasan saya itu masuk ranah publik. Dialektikanya akan berada di ranah publik juga.
Saya sudah baca tulisan-tulisan itu. Seru sekali!
Saya seperti marah-marah ya. Mas JB sampai nelpon. Katanya, “Anda galak juga.” [Tertawa] Saya juga nggak mau menahan diri harus santun. Maksudnya, kita nggak harus membungkus-bungkus apa yang tidak seharusnya dibungkus kan. Karena saya sendiri akrab dengan pikiran Islam. Saya punya opini sendiri, yang kebetulan tidak sejalan dengan pandangan si karakter dalam 99 Cahaya di Langit Eropa.
Sekarang sudah ada lanjutannya lho, Bulan Terbelah di Langit Amerika.
Saya sudah nggak tertarik. Saya anggap itu sudah lewat. Saya sudah move on ke topik lain. Mas JB juga sempat kasih kabar, “Itu ada film Haji Backpacker, Anda nggak tertarik? Masih ada isu-isu Islam juga.” Saya jawab saja, “Nggak, Mas, cukup sudah. Mau ngomong apa lagi.”
Beberapa kali saya juga sempat menulis tentang film Islam di majalah Madina. Mendingan, tulisan-tulisan itu saya kumpulkan terus saya jadikan buku, dengan tema “Film Islam di Indonesia”. Tinggal tambah tulisan pengantar, pendahuluan, jadi deh satu buku. Tapi kalau saya terus-terusan menulis tentang itu di media, hmm, saya kan bukan kritikus khusus film-film Islam. Saya nggak mau terjebak di situ juga. Setidaknya, secara pribadi, saya sudah tidak terlalu tertarik lagi dengan tema itu. [Tertawa]

Ngomong-ngomong tentang perkembangan film Islam di Indonesia, bagaimana sebenarnya kondisi Islam dalam film Indonesia itu sendiri?
Kalau kita bicara untuk dekade 2000an ini, sebenarnya malah lebih beragam dari yang dulu-dulu, walau sekarang ini kebanyakan film dakwah. Film Islam, dalam kasus ini, saya definisikan sebagai film yang menjadikan Islam sebagai subjek, sebagai pokok bahasan. Ekspresinya bisa macam-macam.
Nah, pada 2000an ini, watak film Islam kita kebanyakan adalah film dakwah yang mendoktrin. Dan, tentunya, film dakwah itu tergantung pada materi dakwah. Bisa dilihat bedanya orang Iran sama Hanum Rais bikin film dakwah. Kalau di Iran, terdapat propoganda untuk menumbangkan kedzaliman. Di Indonesia, film dakwahnya lebih menekankan pada keselamatan pribadi. Dakwah sebagai alasan sukses. Dan ini klop dengan kecenderungan kita terhadap kemakmuran pribadi.
Makanya, di Indonesia, ada buku Qiyamul Lail yang berpengaruh pada sukses finansial. Sedekah jadi kaya. Motivasi sedekah agar berlipat-lipat baliknya. Itu kemakmuran pribadi. Bagaimana Qiyamul Lail bisa membentuk kita menjadi lebih peka terhadap ketidakadilan, itu yang nggak ada. Islam yang berkembang dalam film Indonesia lebih sebagai solusi kemiskinan yang bukan untuk membuat orang adil, tetapi lebih membuat individu menjadi kaya. Individualisme dunia-akhirat.
Menurut Mas Hikmat sendiri, sudah adakah film yang mencerminkan kondisi Islam di Indonesia?
Ada. Dalam hal spiritualitas, misalnya, Rindu Kami PadaMu [karya Garin Nugroho pada 2004]. Ragam dan pendekatannya relatif cukup majemuk.
Tapi, sayangnya pada 2000an, kedalaman wacana dan ide yang mengalami kemiskinan. Terjadi kemiskinan dalam memahami agama. Ya, nggak hanya Islam sebenarnya. Kebetulan saja kita tinggal di Indonesia. Jadi saat kita membahas film agama, kita jadi bisa menyimpulkan bahwa ini film Islam. Kalau dilihat menyeluruh, tidak cuma Islam, di semua agama sebenarnya terjadi banalisasi, pendangkalan.
Kalau kita bicara secara teknis, film-film sekarang sih sudah bagus. Editing, tata cahaya, scoring dari Melly [Goeslaw], kamera lebih bagus daripada saat Rendra dengan Al Kautsar [karya Chaerul Umam pada 1977] dulu.
Adakah tema terkait Islam yang sebenarnya cukup vital tapi belum diangkat dalam film? Atau mau diangkat tapi masih malu-malu?
Sudah cukup beragam sih sebenarnya. Radikalisasi sudah dibahas. Pluralitas dalam Islam juga sudah dibahas dalam Mencari Hilal [karya Ismail Basbeth pada 2015]. Yang belum ada mungkin drama-drama sederhana tentang keluarga Islam. Keluarga yang apa adanya,tidak terbungkus oleh ideologi, harapan, atau romantisasi.
Sebenarnya banyak film yang sudah punya potensi seperti itu, tetapi masih berangkat dari premis yang istimewa. Contohnya, Ibunda karya Teguh Karya [pada 1986]. Itu film biasa, tokoh-tokohnya sama sekali nggak luar biasa. Tapi kita dekat. Tantangannya adalah bagaimana membentuk hal yang sebenarnya dekat itu menjadi menarik.
Tema “Islam sempalan” juga belum. Belum ada film yang secara jelas mengangkat bagaimana mereka harus hidup sebagai minoritas. Kemarin Hanung [Bramantyo] dan kawan-kawan sempat menyinggung itu dalam Ayat-ayat Adinda. Dalam film, tersirat bahwa kepercayaan yang dimaksud adalah Ahmadiyah. Tapi itu nggak disebut sama sekali. Saya nggak menyalahkan produksinya. Tapi coba bayangkan kalau itu disebut, filmnya bakalan lebih tajam. Kalau film seperti Ayat-ayat Adinda diproduksi pada dekade 80an sih nggak masalah. Sekarang takutlah, ada FPI.
Film-film Hanung memang bicara tentang minoritas-mayoritas, tapi menurut saya lebih banyak teriaknya. Kesannya filmnya berani karena ada teriaknya, secara harfiah lho ya. Ngomongnya saja teriak-teriak, ucapannya besar, lebay, tapi yang diangkat tidak terlalu dalam. Saya ya jadi seperti provokator. Ayo bikin saja, yang berani saja. Tapi bingung juga kalau nanti sutradaranya diserbu sama FPI. [Tertawa]
Dari pengalaman tersebut, menurut Mas Hikmat, apakah kritik film sudah berpengaruh terhadap industri film, khususnya produksi, di Indonesia?
Buat beberapa pembuat film, paling tidak jadi teman diskusi. Misalnya untuk Joko [Anwar]. Dia pernah menyebutkan bahwa kritikus penting untuk para pembuat film, karena pembuat film nggak sempat mengurusi aspek wacana, ide, atau berbagai sudut pandang lainnya dari suatu karya film. Sehari-hari mereka sudah disibukkan oleh pembuatan film itu sendiri. Joko dulu kritikus film juga. Dia mengerti apa pentingnya kritik.
Kritik film saat ini baru sebatas teman diskusi, itupun untuk beberapa pembuat film saja. Pengaruhnya sebenarnya lebih terlihat di lingkaran film dokumenter dan “film indie” daripada di industri film.
Pengaruh lainnya, paling diundang jadi juri film. [Tertawa] Tapi dari situ pun kita bisa lihat bahwa pengaruhnya lebih pada presentasi suatu film ke publik, bukan pada produksinya. Dan perlu dicatat juga bahwa dalam praktik kritik film itu sendiri terdapat antagonisme. Makin banyak produser kacangan yang sekadar modal duit, pembuat film kacangan yang sok tahu. Sekali dikritik, mereka lansung menganggap sedang dibantai, dibunuh kariernya, dibunuh filmnya. Ini bodoh. Ada memang kritikus-kritikus ngehek yang sering bikin orang marah. Misalnya, Adrian [Jonathan Pasaribu]. Saya juga sih. Kadang-kadang, tapi kan nggak sengaja. [Tertawa]
Jadi kalau ditanya apakah kritik film berpengaruh ke pembuat film, saya rasa nggak juga. Pengaruhnya lebih ke publik.
Pengaruh ke publik? Untuk mengubah selera atau bagaimana nih?
Bukan mengubah selera. Ada memang yang menargetkan mengubah selera. Kalau saya sih nggak main selera ya. Selera itu borjuis banget. Selera itu dibuat oleh kelas sosial. Apa yang bagus menurut selera borjuis itu menampik apa yang dianggap bagus oleh rakyat biasa. Padahal kan mereka punya konteks estetiknya sendiri. Saya lebih mengukur pencapaian, setidaknya pencapaian bentuk. Perjuangan saya bukan perjuangan selera.
Yang perlu dibangun di publik adalah daya kritik. Saya harus tekankan bahwa yang saya maksud daya kritik adalah tanggapan rasional. Bisa mulai dari pertanyaan, apakah saya merasa uang saya bernilai nggak ketika saya nonton film ini? Itu kan rasional. Tapi yang lebih penting lagi adalah rasionalitas dalam bentuk penalaran. Film ini bisa bikin saya pintar nggak, film ini bikin saya makin ngerti Indonesia nggak, makin ngerti kenyataan nggak. Atau malah sebaliknya, menjauhkan dari kenyataan. Kalau memang menjauhkan dari kenyataan ada fungsi katarsis nggak, ada fungsi hiburan nggak. Jadi penonton sadar apa yang dia harapkan. Membangun kesadaran menonton yang kritis, itu tujuan yang layak untuk kritik film.
Itu alasannya kenapa saya nggak terlalu main selera. Kalau mainnya politik selera, dan taste maker-nya adalah orang-orang keraton yang di Jawa saja, bagaimana estetika di Papua atau Makassar itu bisa masuk? Malah susah jadinya.
Saya kasih contoh, dan ini sebenarnya cukup sering berulang, kasus film Opera Jawa [karya Garin Nugroho pada 2006]. Film itu pernah diputar di Jogja di hadapan tukang angkringan dan tukang becak, pernah diputar juga di Thailand. Ini cerita temen saya sendiri di Thailand. Dia seniman dokumenter, banyak aktif untuk pendampingan petani. Dia putar Opera Jawa di situ. Menariknya, Opera Jawa dianggap bagus oleh para petani di situ. Padahal kan film itu dibuat untuk memperingati seratus tahun Mozart. Apakah Eropa banget kesannya? Nggak tuh. Garin berhasil membuat film yang bicara. Kenapa? Karena mereka menganggap ini bagian dari alam kesadaran petani mereka.
Di Jogja juga begitu. Tukang angkringan dan tukang becak menonton Opera Jawa seperti sedang nonton wayang orang. Jadi walaupun dalam Opera Jawa terlihat ada nuansa blues, tarian kontemporer, seni rupa kontemporer, tetapi watak dan rasa Jawa-nya tetap nyambung.
Saya nonton Opera Jawa lagi di Blitz. Sebelah saya, ada cewek-cowok kinyis-kinyis yang ketahuan nontonnya film-film hiburan. Mereka nggak betah sama sekali. Saya sampai terganggu, karena mereka ngomel melulu. Selera mereka gak masuk, karena selera mereka borjuis. Di sisi lain, Opera Jawa cocok dengan selera para Petani di Thailand, tukang becak di Jogja, dan para penonton eksklusif di Eropa.

Untuk mengulas film, idealnya bagaimana?
Pertama, harus ngerti nulis saja sih, selain senang nonton tentunya. Senang dalam artian ada poin menarik yang ingin dikulik dan diungkapkan dalam tulisan. Jujur, saya nggak punya tenaga juga untuk membahas semua film. Harus selektif. Apa yang menyebabkan film ini penting untuk diulas. Kalau bahasa jurnalistiknya, ketemu angle-nya. Dan ini berlaku untuk semua tulisan, nggak hanya tulisan film.
Tulisan itu penting juga punya center. Jadi tugas penulis adalah finding the center. Kalau sudah ketemu center-nya, maka tulisan itu akan jadi natural. Center itu sebenarnya adalah angle, kesan utama, tema, tapi juga lebih dari itu semua. Centre adalah gagasan utama yang menghidupi tulisanmu.
Boleh nggak sih kita menggunakan center yang beda-beda dari satu tulisan ke tulisan lainnya?
Harusnya memang beda-beda,bahkan ketika membahas satu film yang sama sekalipun. Saya pernah nonton Tokyo Story di Jakarta, terus nonton lagi di Tokyo. Saya mendapatkan pembacaan yang berbeda. Menulisnya juga beda.
Tokyo Story bukan lagi tentang mertua atau sudut kamera. Saya juga melihat adanya rekaman penting tentang Jepang yang sedang berubah pasca perang, yang merupakan cikal bakalnya Tokyo sekarang. Rasanya sama seperti baca Norwegian Wood [novel karya Haruki Murakami] di Jakarta dan di Tokyo. Saya jadi lebih mengerti konteksnya sewaktu di Tokyo.
Jadi satu film saja angle-nya bisa beda-beda.
Apakah kita perlu mengenal ilmu lain untuk menjadi kritikus film?
Nggak cuma kritikus, wartawan dan penulis lainnya kalau ingin punya daya tahan lama tentu harus punya pengetahuan yang banyak. Tapi juga tergantung kebutuhan. Kalau sasarannya cuma untuk konsumer jelek, ya cuma butuh nonton film saja. Tapi kalau seorang penulis ingin dapat tanggapan rasional, tentu dia harus banyak baca.
Misalnya, orang yang lihat korek api dari zaman ke zaman. Kalau cuma dilihat dari desainnya, pembacaannya mungkin akan berhenti dari segi bentuk dan desain korek api itu sendiri. Tapi, misal, kalau yang baca semacam Seno Gumira Ajidarma, dia akan melihat perkembangan korek api sebagai sebuah rekaman sosial atau rekaman kultural. Kalau saya sebagai pembaca, saya suka aspek teknis, tapi saya juga senang dengan pembacaan yang mendalam. Melihat korek api tidak sekadar korek api.
Penulis yang kaya akan membuat pembaca kaya.
Untuk menulis, apakah perlu belajar film secara formal?
Mengetahui dasar-dasar tentang film itu penting, baik dari segi produksinya sampai apresiasinya. Memahami metode itu perlu. Kalau di tingkat itu, mutlak penting. Caranya terserah—bisa formal, informal, atau otodidak. Kalau otodidak, nggak boleh sendirian. Harus rajin bertanya dengan orang-orang yang sudah ahli. Entah melalui cara mentoring atau diskusi seperti ini misalnya. Pemahaman dasar itu mutlak. Caranya saja yang nggak mutlak.
Sebelum mulai menulis, apa saja modal atau bekal minimum yang harus dipunyai seorang kritikus?
Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saat ini kita hidup ketika standar penulisan di bawah rendah. Diksi, misalnya, sekarang lebih ditempatkan sebagai gaya, bukan sebagai pendukung akurasi. Sekarang ini standarnya bukan hanya tiarap di tanah, tapi udah gali tanah, masuk ke lubang. Sudah di bawah tanah. Nyungsep. Masuk jurang. Kalau kata teman saya, jelek saja belum.
Bahasa itu alatnya penulis. Sesungguhnya bahasa harusnya eksak, bukan relatif. Sekarang ini, orang yang memperhatikan ejaan dianggap sebagai orang yang punya kepekaan bahasa yang tinggi. Padahal itu seharusnya pengetahuan umum, pengetahuan dasar. Basic.
Saya nggak memusuhi bahasa lisan yang dimasukkan dalam tulisan. Tapi bagaimanapun juga, bahasa lisan di Indonesia jaraknya jauh sekali dari bahasa tulisan. Sehingga saat kita menulis dengan bahasa yang baik dan benar, kita seringkali dianggap kaku dan tidak asyik. Bahasa lisan itu tidak terstruktur. Apa gunanya dituliskan kalau dia nggak bisa mengikuti watak tulisan yang terstruktur dan sistematis. Maaf ya kalau jawabannya jadi panjang begini. [Tertawa]
Tapi sejujurnya saya kesel sih. Karena banyak sekali novel-novel sekarang yang mengabaikan hal itu. Belum lagi logika kalimatnya. Bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan gagasan itu penting. Ada bahasa yang kosakatanya melibatkan dimensi waktu, bahkan juga kelamin. Kita jadi tahu lawan bicara kita itu jenis kelaminnya apa dan kapan dia bicara. Bahasa Indonesia kan nggak begitu.
Itulah mengapa tulisan Chairil Anwar sampai sekarang masih bisa dibaca.
Selain bahasa?
Ya tentu pengetahuan tentang film itu sendiri, tentang kemungkinan-kemungkinan dalam medium film. Pengetahuan tentang teknis dan sejarah itu penting. Bukan untuk pamer ya, tapi untuk dipahami, sebagai bekal. Misalnya, kita nonton film eksperimental, kita jadi mengerti kenapa kameranya harus goyang-goyang, bukan karena yang megang kamera itu bego, tapi karena ada maksud tersendiri di balik pengungkapan semacam itu. Dan nggak perlu jadi pembuat film untuk tahu hal-hal itu.
Yang ketiga, tentunya wawasan yang lain. Tahu sastra, politik, dan semacamnya. Itu bakal memperkaya kamu sebagai seorang penulis. Tapi kembali lagi, yang mutlak untuk dipelajari pertama-tama adalah bahasa.