“Di mana aku?”
“Di rumah”
“Sudah berapa lama aku kerasukan?”
“Sekitar satu jam”
“Aku ngantuk”
“Ya sudah, sana tidur”
Dialog ini berlangsung dengan santainya antara Ateng dan pembuat film, beberapa menit setelah Ateng tersadar dari arwah mbah-nya yang baru saja menguasai alam bawah sadarnya. Kerasukan arwah leluhur telah menjadi bagian dari hidup Ateng—fenomena mistis yang tak lagi ia anggap janggal. Percakapan antara Ateng dan sang pembuat film terkesan sederhana, bahkan lucu saat diketahui bahwa si pembuat film tidak paham bahasa Jawa. Inilah yang menjadi daya tarik Harimau Minahasa—dan mungkin satu-satunya.
Harimau Minahasa, dokumenter hasil kolaborasi Andang Kelana dan Syaiful Anwar, menempatkan adegan kerasukan pada lima belas menit jelang akhir film. Momen ini menjadi begitu terasa mencuri perhatian, karena selama empat puluh menit sebelumnya, tidak jelas mana yang pembuat film ingin tekankan dalam karyanya: pengalaman hidup Ateng, cerita keluarga Ateng, atau bisnis pala di daerah Minahasa?
Selama sekitar empat puluh menit pertama, Harimau Minahasa menyorot keseharian Ateng sebagai seorang pekerja kasar. Ateng, terlahir sebagai Budiono Saputra, adalah seorang laki-laki perantauan asal Jember, yang bekerja di sebuah perkebunan pala di Desa Treman, Minahasa Utara. Dalam sejumlah percakapan dengan pembuat film, terungkap nukilan perjalanan Ateng, yang merentang dari Pulau Jawa, Bali, Aceh, hingga Medan, sampai akhirnya ia menetap di Manado. Alasannya: upah kerja.
“Sehari, kalau dikasih makan sama rokok, dapat upah 75 ribu. Kalau dikasih bersih, bisa seratus ribu,” jelas Ateng pada pembuat film. “Di Jawa, mau kerja sampai bengkok pinggang, paling dapat cuma lima puluh, empat puluh, pernah malah 25 ribu”
Kepada pembuat film, ia bercerita tentang adik laki-lakinya yang suka merantau seperti dirinya—sekarang bekerja sebagai supir di pertambangan batu bara daerah Kalimantan. Ada juga cerita tentang adik tiri perempuan Ateng, yang penuh cerita mistis saat pertama kali ditemukan. Sewaktu masih bayi, adiknya ditemukan dalam sebuah kardus dekat pohon bambu. Ayah Ateng yang pertama kali tahu—ia sampai membawa Al-Qur’an untuk memastikan bayi itu anak setan atau anak manusia.
Masuklah Harimau Minahasa ke hal-hal mistis. Ateng bercerita tentang pertemuannya dengan kuntilanak, yang pernah mengganggunya seusai ia bekerja di kebun pala. Di satu sisi, cerita Ateng yang ini dapat menjadi pengantar akan kehidupannya dengan dunia mistis—bagaimana Ateng yang sadar menanggapi keberadaan hal-hal ghaib di sekitarnya, sebelum dirinya yang tidak sadar menyatu dengan ghaib (baca: kerasukan). Saat ia mulai merasa merinding dengan kehadiran kuntilanak di jalan, Ateng memutuskan untuk menanggalkan pakaiannya.
“Kata orang, kuntilanak takut kalau lihat penis.” Jawaban Ateng yang terkesan konyol ini menunjukkan dirinya yang masih percaya betul pada mitos—yang dibentuk melalui budaya tempat tinggalnya.
Setelah itu, tak jelas. Topik dan narasumber film mendadak meluas, tak lagi terbatas pada Ateng dan lika-liku dirinya. Hadir adegan pemilik perkebunan pala bercerita mengenai suka-duka bisnisnya—dari mulai ulat perusak hasil panen, strategi bisnis pala, keuntungan per tahun, hingga kasus pencurian buah pala di daerah Minahasa. Tak jelas kenapa Harimau Minahasa harus masuk ke topik bisnis pala ini. Pasalnya, topik yang sama tak lagi disinggung sampai film habis.
Masing-masing topik dalam Harimau Minahasa kurang lebih menghabiskan lima belas menit—setara durasinya dengan adegan Ateng kerasukan di akhir film. Tapi hanya pada durasi saja, adegan-adegan ini terhubung. Secara tematik, tidak. Tidak adanya usaha yang kuat untuk menjadikan kerasukan tersebut terkesan ‘spesial’, seperti hanya ingin menekankan posisinya yang juga bagian dari keseharian dalam hidup Ateng. Kerasukan arwah leluhur yang dialami Ateng seperti sudah biasa ia alami setiap malam, sama seperti setiap pagi ia memanjat pohon pala, siang hari membersihkan kebun, sore hari ia mandi—suatu hal yang memang lazim layaknya aktifitas lain.
Dengan menuturkan segala hal dalam hidup Ateng sebagai keseharian, dari yang banal sampai yang sakral, Harimau Minahasa memang jadi nampak serba tanggung. Banyak hal yang dibicarakan, tapi tak ada yang benar-benar didalami. Semuanya serba permukaan. Tapi, menariknya, cara bertutur berbasis keseharian ini malah menjadikan adegan kerasukan dalam Harimau Minahasa terasa segar dan menyenangkan.
Dalam media, khususnya media televisi, kerasukan kerap ditampilkan sebagai peristiwa mistis yang mengerikan. Sebut saja program acara televisi seperti Dunia Lain atau Gentayangan—keduanya memiliki cara serupa dalam menggambarkan fenomena kerasukan: ada roh jahat merasuki korban, ada ‘orang pintar’ untuk mengeluarkan roh itu. Tidak heran kalau kemudian fenomena kerasukan dipahami dalam konotasi negatif—yang notabene merupakan pemahaman dominan masyarakat kita.
Harimau Minahasa, entah disengaja atau tidak oleh pembuat film, menawarkan cara pandang lain seputar relasi kita dengan dunia mistis. Kerasukan dalam Harimau Minahasa tidaklah sama seperti kerasukan yang dikontruksi oleh ideologi dominan—ia diperlihatkan sebagai hal yang tidak asing lagi dan sudah menjadi bagian dari kebudayaan. Bukan roh jahat, melainkan roh leluhur—sosok yang tidak datang dari luar, melainkan dalam tubuh orang itu sendiri.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita melihat Harimau Minahasa sebagai sebuah karya? Memang sulit melihat Harimau Minahasa sebagai sebuah karya utuh—narasinya terlalu berai untuk diikuti. Pembuat film seperti ragu, atau mungkin juga tidak tahu, mau dibawa ke mana filmnya. Harimau Minahasa lari ke mana-mana, dan penonton dibuat lelah mengejar arah lari yang tak menentu. Namun, apabila film ini dipecah berdasarkan topiknya, baru terasa kekhasan cara tutur Harimau Minahasa dalam masing-masing bahasannya. Setiap topik dituturkan dengan caranya masing-masing, khususnya adegan kerasukan yang memang spesial itu. Apalah arti Harimau Minahasa tanpa adanya kerasukan?
Harimau Minahasa | 2015 | Durasi: 63 menit | Sutradara: Andang Kelana, Syaiful Anwar | Produksi: Interseksi Foundation | Negara: Indonesia