Hari Film yang Lain

Presiden Soekarno di Festival Film Asia-Afrika, 1964.

Lebih dari sekadar selebrasi orang film, hari film nasional adalah pernyataan akan identitas dan cita-cita kebangsaan. Proses penetapannya, juga perdebatan yang mengiringinya, berlandas pada penyikapan tentang arti sesungguhnya menjadi bangsa Indonesia.

Hari ini kita mengenal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional. Tanggal tersebut, merujuk pada hari pertama pengambilan gambar Darah dan Doa, pertama kali diusulkan dalam rapat Dewan Film Nasional pada 1962. Perwakilan berbagai organisasi perfilman yang hadir dalam rapat menganggap film arahan Usmar Ismail itu sebagai film pertama yang sepenuhnya diproduksi oleh orang dan perusahaan Indonesia. Atas ‘kemurnian’ identitasnya, hari lahir Darah dan Doa pantas dipertimbangkan sebagai titik mula sejarah perfilman nasional.

Sentimen serupa turut mewarnai pidato Presiden BJ Habibie di Istana Negara pada 30 Maret 1999. Beliau menyebut produksi Darah dan Doa sebagai momen historis karena “pertama kali seorang anak bangsa memproduksi film secara mandiri”. Habibie turut menyanjung karya-karya Usmar Ismail yang “mencerminkan kepribadian bangsa dan tidak digantungkan pada komersialitas”, berbeda dengan film-film masa kolonial Belanda yang tak lebih dari “alat hiburan” atau film-film masa penjajahan Jepang yang dimanfaatkan sebagai “alat propaganda”. Sehari sebelumnya, melalui Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1999, Habibie menetapkan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.

Pengesahan Habibie menutup perdebatan sekian dekade. Tidak semua kalangan satu pandangan perihal identitas bangsa Indonesia. Bisa diduga, selain 30 Maret yang akhirnya disahkan, ada sejumlah usulan tanggal lain untuk hari film nasional.

Salah satunya dari Perusahaan Film Negara (PFN). Tanggal yang diusulkan, 19 September 1945, bertepatan pada pengambilan gambar pidato Presiden Soekarno di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas). Selang sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, negara masih dalam suasana genting. Penyelenggaraan pidato berlangsung dengan penjagaan ketat oleh tentara Jepang. Butuh keberanian besar dari pihak juru kamera Berita Film Indonesia (cikal bakal PFN) untuk merekam peristiwa bersejarah itu, dan oleh karenanya patut dipertimbangkan sebagai tonggak penting dalam sejarah bangsa. Sayangnya, usulan PFN kurang diminati publik perfilman, karena pidato Soekarno dianggap sebagai peristiwa jurnalistik.

PFN sempat mengajukan tanggal lain: 6 Oktober 1945, bertepatan dengan penyerahan perusahaan Nippon Eiga Sha oleh pemerintah Jepang kepada Indonesia. Setelah nasionalisasi, Nippon Eiga Sha berubah nama menjadi Berita Film Indonesia. Lagi-lagi, usulan PFN minim dukungan. Penyerahan tersebut dianggap tidak memuat idealisme atau nilai perjuangan.

Satu usulan datang dari lingkar kiri. Pada 30 April 1964, hari terakhir penyelenggaraan Festival Film Asia Afrika III di Jakarta, sekelompok seniman dan cendekiawan menyepakati sebuah ikrar solidaritas yang berujung pada pendirian Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Sejarah Orde Baru menyederhanakan momen ini sebagai pelarangan impor film Barat dan penayangan film negeri sosialis macam Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Setelah 1965, setelah sekian pembantaian massal dan penghilangan sistematis atas unsur-unsur progresif di Indonesia, usulan hari film orang kiri lantas menguap dari percakapan publik.

Selebrasi Darah dan Doa dan sosok Usmar Ismail berimplikasi politis. Ia menyamarkan keragaman gagasan tentang identitas kebangsaan, bahkan mematikan sejumlah warisan sinema Indonesia. Premis penetapan 30 Maret sebagai hari film, sebagaimana yang dipaparkan Krishna Sen, berlandas pada kemunculan “sebuah generasi pembuat film pribumi yang sadar diri, nasionalis” dengan Usmar sebagai pionir di garis depan. Melalui Darah dan Doa, Usmar dianggap tak hanya memotret apa yang dibayangkan sebagai “kepribadian nasional”, tapi juga mengedepankan pembuatan film yang tidak bergantung pada “perhitungan komersial apa pun, dan semata-mata hanya didorong idealisme”. Terungkaplah cetak biru film Indonesia: nasionalis, idealis, dan dibuat oleh ‘pribumi’ atau ‘orang asli Indonesia’. Konsepsi inilah yang mendominasi kerangka sejarah sinema Indonesia hingga saat ini.

Konsepsi yang sama kini perlu kita pertanyakan kembali. Di tengah dinamika sosial-politik dan pasar global yang terus berkembang, identitas film nasional tak sesederhana gagasan rasis seputar status ‘pribumi’ atau ‘orang asli’, begitu pula proses kelahiran dan pertumbuhan sinema di Indonesia. Kita perlu memeriksa kembali bab-bab yang selama ini belum atau kurang terbahasakan dalam sejarah sinema Indonesia.

Iklan film “Darah dan Doa” di surat kabar.

Bermula dari Usmar

Di Indonesia, film nasional dibayangkan sebagai produk adiluhung yang steril dari niatan komersial serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Musuhnya, atau yang dibayangkan sebagai oposisi, adalah film-film hiburan yang tidak menawarkan nilai apapun, yang hanya ingin menguras habis kantong para penonton.

Titik mula yang tepat untuk menyelami dikotomi ini adalah Usmar Ismail sendiri. Dalam buku Usmar Ismail Mengupas Film yang terbit pada 1983, sutradara kelahiran Bukittinggi itu menuliskan, “Meskipun saya telah membuat dua film sebelum Darah dan Doa, film itu saya rasakan sebagai film saya yang pertama. Karena buat pertama kalinya, sebuah film diselesaikan seluruhnya, baik secara teknis-kreatif maupun secara ekonomis, oleh anak-anak Indonesia. Buat pertama kalinya pula, film Indonesia mempersoalkan kejadian-kejadian yang nasional sifatnya.”

Darah dan Doa menempatkan Usmar Ismail sebagai pelopor film Indonesia. Usmar sendiri berasal dari keluarga aristokrat di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia bersekolah dan belajar menulis lakon teater di Jawa. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Usmar bekerja untuk unit propaganda sebagai penulis naskah dan terbitan lainnya. Pada 1948, ia pindah ke Jakarta, setelah menghabiskan empat tahun di Yogyakarta untuk berjuang melawan kembalinya Belanda. Ia sempat menyutradarai Harta Karun dan Tjitra untuk SPCC, perusahaan film asal Belanda.

Darah dan Doa diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), yang Usmar dirikan bersama Rosihan Anwar. Selain Darah dan Doa, film Usmar yang juga banyak diapresiasi adalah Enam Djam di Jogja (1951) dan Lewat Djam Malam (1954). Ketiga film itu terpusat pada tokoh-tokoh dari militer dan perjuangan bersenjata untuk menyatukan bangsa Indonesia. Salim Said, pengamat film, menyebut karya Usmar sebagai “film Indonesia karena ceritanya tentang manusia di bumi Indonesia”.

Sosok Usmar sendiri krusial. Ia adalah ‘pribumi’ pertama yang secara independen membuat film setelah kemerdekaan Indonesia. Secara tegas, ia menyatakan Darah dan Doa “dibikin tanpa perhitungan komersial apa pun, dan semata-mata hanya didorong oleh idealisme”. Pernyataan heroik Usmar lantas semakin mengukuhkan reputasi Darah dan Doa dan membedakannya dari produksi-produksi lain pada zamannya.

Perspektif Usmar tidaklah unik. Sentimen beliau selaras dengan semangat nasionalis yang menggelora setelah pembentukan kemerdekaan negara Indonesia pada 1950. Kala itu banyak seniman dan penulis datang dan mengambil tempat sebagai juru bicara dan perwakilan dari sebuah bangsa yang hendak memproduksi suatu budaya baru. Kontribusi paling signifikan datang dari lingkar sastra, tepatnya sastrawan Angkatan ’45 yang mengusung Chairil Anwar di garda depan. Lingkar yang sama juga menghadirkan Asrul Sani, yang kemudian dikenal sebagai salah satu ikon perfilman nasional.

Dari seluruh cabang kesenian, menurut Thomas Barker, film bisa jadi adalah medium paling mutakhir yang dimanfaatkan para seniman nasionalis. Bagi mereka, film merupakan medium paling efektif untuk mewujudkan dan menyebarluaskan gagasan budaya nasional kepada masyarakat Indonesia yang merdeka. Bagi mereka, di bawah kolonialisme, film tak lebih hanya fantasi pelarian diri dengan sedikit usaha untuk mendidik atau memberi pencerahan pada penonton, apalagi untuk mempromosikan nasionalisme.

Pada titik ini, kita perlu kembali mencermati sejarah. Faktanya, pemanfaatan film yang dibayangkan oleh para seniman nasionalis terinspirasi dari proses belajar yang mereka dapatkan semasa bekerja sebagai unit propaganda Jepang. Misbah Yusa Biran, sejarawan film, mencatat bahwa “kedatangan Jepang di negara ini berikut film-film propagandanya telah membuat goncangan besar sekali pada pikiran bangsa Indonesia mengenai fungsi film dan membawanya kepada pemikiran baru”. Masa kolonial Jepang memperkenalkan dimensi lain dalam keberkaryaan film, yakni film sebagai penyambung lidah rakyat.

Pembelajaran masa kolonial itu diamini oleh Usmar Ismail. “Barulah pada masa Jepang, orang-orang sadar akan fungsi film sebagai alat komunikasi sosial. Dalam hal ini tampak bahwa film mulai tumbuh dan mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan,” tulis Usmar dalam buku Usmar Ismail Mengupas Film.

Kesadaran akan perasaan kebangsaan ini menjadi komponen vital dalam perumusan film nasional. Misbach Yusa Biran, sineas dan sejarawan film, yang paling tegas bersuara. Baginya, syarat utama untuk benar-benar menerapkan film nasional adalah kemerdekaan politik. Pada pengantar bukunya yang berjudul Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa, beliau menuliskan, “Film buatan dalam negeri mulai dibuat pada 1926. Namun, film-film yang dibuat sampai 1949 belum bisa disebut sebagai film Indonesia. Hal ini disebabkan film yang dibuat pada masa itu tidak didasari kesadaran nasional.”

Bagi Misbach, semua film pada Indonesia masa kolonial dibuat hanya untuk mencari uang dengan misi sekadar memberikan hiburan yang melenakan. Materi cerita diambil dari film Barat maupun Tiongkok, sehingga tontonan apapun yang dihasilkan darinya tidak mencerminkan pribadi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Misbach secara tegas menempatkan film-film Indonesia sebelum kemerdekaan ke dalam “sejarah pembuatan film di Indonesia” dan bukan dalam “sejarah film Indonesia”.

Usmar Ismail (kanan) saat menyutradarai film “Tjitra” pada 1949.

Elitisme Film Nasional

Menariknya, ketika produksi film mulai ramai, para sineas nasionalis mendapati diri mereka berhadapan dengan industri film komersial. Kembali film sebagai hiburan menjadi modus produksi yang populer—sesuatu yang mereka lawan dulu. Pewacanaan film nasional sebagai identitas kebangsaan kian tegas, terutama ketika pengusaha dan produser film keturunan India kembali masuk dalam industri film pada masa Orde Baru. Dikotomi antara film nasional/idealis dan komersial, juga antara pribumi dan non-pribumi, ramai didengungkan.

Salim Said, pada 1976, menyatakan, “Terlihat ada dua pola menonjol dalam pembuatan film. Yang pertama adalah pola yang dipelopori orang Tionghoa sebelum perang, dilanjutkan lagi setelah perang, dan diikuti oleh banyak pembuat film bukan Tionghoa. Pola kedua, yakni pola yang dicobakembangkan oleh Usmar Ismail dan kawan-kawannya. Pola utama berciri utama dagang, sedangkan yang kedua, dagang bukan merupakan satu-satunya tujuan. Di sini, ekspresi memegang peranan yang penting. Jika pada pola pertama film dibuat seluruhnya berdasarkan pertimbangan apa yang dikehendaki penonton, maka pola Usmar tidak menjadikan penonton seratus persen raja, sebab lewat karyanya itu si pembuat film ingin menyampaikan sesuatu. Dengan singkat bisa dikatakan bahwa pola pertama itu tanpa idealisme sedang pola yang dimulai oleh Usmar Ismail justru menonjolkan idealisme”.

Pada 1979, sentimen serupa turut disuarakan oleh Soemardjono, eks tentara dan sineas yang beberapa kali ikut produksi Usmar. Melalui ceramah berjudul “Perfilman Indonesia Masa Kini dan Nanti”, ia menggariskan tiga hal yang sepatutnya menjadi dasar dari film nasional. Pertama, “Film Nasional harus merupakan produk kebudayaan Bangsa Indonesia”. Kedua, “Film Nasional harus dapat menggantikan dominasi film asing, seperti halnya Bangsa Indonesia berhasil merobohkan dominasi kolonialisme. Ketiga, “Film Nasional harus mampu mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia dalam pembangunan watak dan kebangsaan Indonesia”. Pada akhir 1980-an, Teguh Karya berkomentar, “dalam pandangan dan pengalaman saya, dua pola ini [film idealis dan komersial] telah menjadi sesuatu yang mapan”.

Serangkaian pendapat ini menegaskan bagaimana konsep film nasional begitu elitis. Ia hanya mengakui sekelompok kecil pembuat film, macam Nya Abbas Akub, Teguh Karya, dan Usmar Ismail. Ia menempatkan segelintir sineas sebagai perwakilan capaian sinema suatu bangsa, dengan mengabaikan praktik-praktik film populer yang hampir sepenuhnya komersial. Film-film Usmar pada penghujung kariernya, ketika ia berusaha mencari untung, jarang dirujuk dalam perdebatan terkait konsep film nasional. Para pendukung film nasional menyatakan bahwa topik film seharusnya seperti film-film Usmar Ismail, yang banyak disebut sebagai realis dengan mengikuti gaya neorealisme Italia. Nyatanya, Usmar justru punya ketertarikan pada Hollywood, dan pernah mendapat beasiswa untuk belajar di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, pada 1953.

Konsekuensi lainnya dari elitisme gagasan film nasional adalah penghapusan dan pemakluman sejarah terhadap sejumlah tokoh. Dalam tulisan-tulisan Usmar, dapat kita temukan kekaguman beliau terhadap Dr. Huyung, mantan perwira propaganda Jepang yang tinggal di Indonesia dan memproduksi sejumlah film. Nampak juga kekaguman beliau terhadap Basuki Effendi, sineas Lekra. Keduanya tidak cocok dengan kerangka nasionalistik sejarah film Indonesia, dan oleh karenanya mereka paling banter dicatat sebagai catatan kaki dalam perjalanan film nasional.

Nasib sebaliknya justru dialami Djamaluddin Malik, produser dan pemilik studio Persari yang berkolaborasi dengan Usmar dalam Lewat Djam Malam. Selain Usmar, nama Djamaluddin sering disebut sebagai pendiri film Indonesia, merujuk pada kiprahnya dalam meletakkan pondasi bisnis film di Indonesia setelah kemerdekaan dan mempelopori penyelenggaraan Festival Film Indonesia. Apabila gagasan film nasional diterapkan secara saklek, maka posisi Djamaluddin jadi terasa salah tempat. Persari merupakan perusahaan komersial yang dibangun dengan mengikuti contoh studio-studio besar Amerika. Ketika produser-produser keturunan Tiongkok dikritik karena dianggap tidak lebih dari sekadar pedagang dan pebisnis, kiprah pasar Djamaluddin justru dimaklumi atau tidak terlalu dipermasalahkan oleh banyak pihak, termasuk Usmar.

“Djamaluddin Malik yang dalam tujuannya juga ingin mendukung cita-cita kebudayaan, tetapi yang dalam praktiknya lebih banyak terbawa arus komersial golongan Tionghoa. Hal ini tidaklah mengherankan benar karena Djamaluddin Malik pada asalnya adalah seorang pedagang yang tentunya memperhitungkan segala sesuatu juga dari sudut itu,” tulis Usmar. Posisi Djamaluddin dalam perfilman Indonesia jadi makin unik ketika dihadapkan dengan pendapat-pendapat rekan sezamannya. Konsensus kala itu: film-film komersial Indonesia di bioskop-bioskop tidak lebih baik dari kopi murahan film asing, sekadar dunia fantasi yang berjarak dari keseharian warga Indonesia.

Terkait hal ini, Asrul Sani berkomentar, “Soalnya adalah untuk menjadikan film kita menjadi alat yang bicara pada penontonnya tentang kenyataan sebenarnya yang terdapat di lingkungannya. Supaya film kita dapat dibina menjadi alat yang bisa mendorong penonton mengadakan dialog dengan dirinya sendiri: supaya film dapat membantunya untuk memahami kenyataan dengan cara yang lebih baik. Karena hanya dengan cara begitu kita dapat memberikan sumbangan pada pembangunan bangsa.” Baginya, film nasional “harus komit dengan realitas yang ada di sekitar kita” dan “ceritanya harus bercerita tentang: suka-duka kita manusia Indonesia”.

Pemutaran film bersuara pertama di Indonesia, di bioskop Oost Java, Surabaya, 1929.

Imajinasi Kebangsaan

Nyatanya, sebelum generasi sineas nasionalis, identitas bangsa Indonesia perlahan sudah disemai melalui produksi film di Hindia Belanda. Narasi-narasi sejarah pada umumnya menyederhanakan periode ini sebagai masa komersialisasi dan eksploitasi pengusaha film keturunan Tionghoa. Dalam banyak risalah, produser Tionghoa dianggap sebagai pihak yang telah memperkenalkan dan mempopulerkan modus produksi film-film hiburan nan eskapis.

Salim Said menyebutnya sebagai “dosa asal” industri film Indonesia. Sentimen serupa lebih dahulu dituturkan Asrul Sani pada 1951, “Tidak usah disangka lagi bahwa produser-produser film di Indonesia semata-mata hanya memikirkan kantong dan tidak menimbang atau bermaksud untuk mendirikan sesuatu yang patut diberi harga tinggi. Boleh dikatakan: mereka semua adalah orang Tionghoa.”

Konsekuensi dari logika rasis ini adalah lekatnya tudingan komersialisme pada pelaku perfilman keturunan Tionghoa di Indonesia, ketika faktanya mereka turut membiayai dan berpartisipasi dalam produksi ‘film idealis’. Hal serupa nantinya turut dialami produser-produser keturunan India ketika masuk dalam industri film Indonesia pada rezim Soeharto. Peliknya lagi, ketika ada produser Tionghoa yang mencoba mengangkat cerita dan kebudayaan nusantara, film-film mereka dianggap sebagai oportunis, “tidak memiliki idealisme”, dan sekadar “comot sana-sini”.

Fakta bahwa banyak produser keturunan Tionghoa yang berorientasi komersial itu tidak bisa dibantah. Namun, salah kaprah juga kalau kita hanya memaknai keberadaan mereka dalam perfilman Indonesia melalui perspektif dikotomois pribumi dan non-pribumi. Faktanya, kiprah sineas-sineas peranakan ini tidak sebatas capaian ekonomi semata. Boleh dibilang, melalui medium film, mereka berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan kesadaran nasional pra-kemerdekaan.

Dekade 1930-an dan 1940-an adalah periode perumusan citra visual Indonesia atau gagasan awal-awal tentang identitas bangsa Indonesia. Sineas Belanda lebih terfokus kepada representasi etnografis Hindia Belanda sebagai koloni jajahan mereka, sementara sineas keturunan Tionghoa cenderung membangun representasi fiksi Hindia Belanda. Inspirasi sineas-sineas peranakan ini berasal dari film-film Hollywood dan Shanghai yang mereka impor pada 1924. Menariknya, sineas keturunan Tionghoa ini tidak saja sekadar mengadaptasi, tapi juga membuatnya bisa dinikmati oleh semua kelompok kelas dan ras.

Pada masa itu, film-film impor dari Tiongkok aslinya ditujukan untuk penonton keturunan Tionghoa setempat. Penayangannya sendiri terbuka untuk semua kelompok ras, bahkan menarik penonton pribumi dalam jumlah cukup banyak. Patut dicatat, pemutaran film di bioskop masa kolonial terbagi dalam tiga kelas berdasarkan ras: Eropa, Tionghoa, dan pribumi. Masing-masing kelas punya standar tiketnya sendiri. Meski mahal, para pengusaha bioskop keturunan Tionghoa tidak menutup pintu bagi penonton pribumi. Faktanya, delapan puluh persen penonton film pada masa kolonial adalah penonton pribumi dan peranakan Tionghoa. Dari sinilah timbul inspirasi di kalangan sineas peranakan, bahwasanya penonton berbahasa Melayu merupakan penonton potensial untuk film.

Purwarupa pasar film di Indonesia pun terbentuk. Sineas-sineas keturunan Tionghoa memadukan pakem visual film Hollywood dan Shanghai untuk mengangkat cerita-cerita lokal. Film-film mereka jadi nampak khas karena selalu menampilkan potret warga nusantara yang begitu kosmpolitan dan hibrida. Contohnya bisa kita lihat dalam Si Tjonat (1929), Terang Boelan (1937), Impian di Bali (1939), dan Rentjong Atjeh (1940). Film-film tersebut mempertemukan narasi-narasi dari berbagai belahan di Indonesia dan gaya teater rakyat dengan spektakel khas film Mandarin seperti bela diri.

Film-film produksi sineas peranakan selalu mengambil latar pemandangan alam lokal, dan menggunakan kombinasi pemeran ‘pribumi’ dan Tionghoa. Dialog dalam film, atau terkadang subtitle, disusun menggunakan bahasa Melayu lokal. Hal serupa turut diterapkan bahkan ketika mereka memproduksi film silat ala Mandarin atau film yang berdasar dari cerita-cerita Tionghoa. Niatan awalnya memang untuk eksploitasi pasar. Tapi, dalam prosesnya, sineas-sineas peranakan inilah yang mempopulerkan cikal-bakal bahasa Indonesia melalui karya mereka.

Kebudayaan-kebudayaan setempat, seperti baju adat dan ritual tradisi, selalu diberi ruang dalam film-film produksi sineas peranakan. Dalam Terang Boelan, misalnya, penduduk asli ditampilkan menggunakan pakaian batik, dengan untaian bunga di rambut sebagai pemanis. Demikian pula halnya dengan Impian di Bali. Tokoh-tokoh lokal hampir selalu menggunakan pakaian tradisional seperti kebaya atau penutup kepala khas Bali. Sebagai pengiring, ada musik tradisional yang dimainkan menggunakan gamelan dan kecapi.

Pada saat yang bersamaan sineas-sineas keturunan Tionghoa ini turut mengkonstruksi ‘wajah’ orang Indonesia di layar. Menariknya, banyak aktor dan aktris tersohor pada dekade 1930-an dan 1940-an justru beretnis Tionghoa. Sebut saja Fifi Young, Ferry Kock, dan Tan Tjeng Bok. Nama pertama menarik untuk ditilik lebih lanjut. Fifi, bernama asli Tan Kim Nio, adalah perempuan peranakan yang lahir di Aceh. Asal muasalnya yang multikultur ini berlanjut hingga kiprahnya di layar perak. Di Kris Mataram (1940) ia dikenal sebagai perempuan Jawa berbaju kebaya (yang nantinya menjadi pakaian nasional untuk perempuan Indonesia), sementara di Zoebaida (1940) ia dikenang akan baju tradisional Timor yang membalut tubuhnya sepanjang film.

Di satu sisi, kritikan “comot sana sini” yang dialamatkan pada sineas-sineas keturunan Tionghoa ada benarnya. Berbagai elemen budaya di nusantara seringkali tampil dalam karya-karya mereka tanpa alasan yang jelas dalam konteks naratif film. Populernya film produksi mereka di kalangan penonton pribumi, juga tuntutan untuk menampilkan budaya lokal oleh kalangan penonton yang sama, membuat mereka harus bereksperimen dengan berbagai budaya supaya karya mereka tetap relevan. Patut diingat, bahwa penonton pribumi yang dimaksud di sini juga terdiri dari berbagai suku dan ras.

Di sisi lain, tak ada acuan bagi sineas-sineas keturunan Tionghoa ini perihal bagaimana seharusnya kebudayaan Indonesia atau Hindia Belanda ditampilkan dalam film. Film-film mereka adalah film lokal pertama yang dibuat untuk menggambarkan kebudayaan nusantara. Justru hasil coba-coba para sineas keturunan Tionghoa inilah yang menjadi acuan bagi sineas-sineas ‘pribumi’ untuk merumuskan dan mewujudkan prinsip-prinsip film nasional setelah Indonesia merdeka.

Bachtiar Siagian dan Basuki Resobowo saat rapat Dewan Juri Festival Film Asia-Afrika 1964.

Gejolak Politik

Setelah kemerdekaan, wacana tentang film nasional dihadapkan dengan perdebatan ideologis antara kelompok “kiri” dan “kanan”. Dikotomi ini sesungguhnya menyesatkan, karena terlalu menyederhanakan silang sengkarut kepentingan di antara tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga yang melakoni perdebatan ideologis tersebut.

Tudingan yang paling sering dilontarkan: golongan “kiri” tidak ingin memajukan film dan bioskop, cuma ingin mempolitisirnya untuk melanggengkan kepentingannya dalam bidang kebudayaan. Budiarto Danujaya, dalam tulisan di buku Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia pada 1992, menyebut periode 1962-1965 sebagai masa gelap film Indonesia. Pekerja-pekerja film Lekra, yang tergabung dalam Lembaga Film Indonesia, dianggap cuma sibuk rapat pleno dan teriak-teriak di jalanan. Boikot mereka terhadap “film imperialis Amerika” dipandang tidak selaras dengan keinginan masyarakat. Mereka dianggap tak becus mengurus perfilman, bahkan tak tahu apa itu film bagus.

Pandangan-pandangan ini, juga pandangan terkait ideologi kiri pada umumnya, awet bertahan hingga kini dan nyaris tidak digugat. Jangankan digugat, film-film buatan sineas Lekra saja hampir tak bersisa fisiknya. Sinematek Indonesia, lembaga arsip film nasional, hanya menyimpan 26 film dari periode 1957-1965 yang diproduksi Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, Kotot Sukardi, dan sineas-sineas kiri lainnya. Dari semua film itu, menurut Salim Said, tidak ada yang layak dipertahankan untuk “memperkaya khasanah keanekaragaman corak film Indonesia”.

Hilanglah satu konsep film nasional dalam garis sejarah film Indonesia. Sineas-sineas Lekra, juga seniman-seniman lainnya yang tergabung dalam lingkar itu, menjadikan rakyat sebagai akar penciptaan. Tan Sing Hwat, sutradara, dalam sebuah artikel di Harian Rakyat merumuskan apa yang disebut sebagai “film semata hiburan” dan “film sebagai alat kebudayaan, bahkan alat Revolusi”.

Menurut Tan, tidaklah benar bahwa film tak lebih dari alat hiburan yang diperdagangkan. Pendapat itu ia anggap bertentangan dengan sejarah perkembangan film itu sendiri. Pendapat itu hanya benar bagi para pedagang-pedagang film yang memproduksi film-film yang sama sekali tak cocok dengan aspirasi rakyat, hingga terkadang sampai menempatkan kepentingan nasional di bawah kepentingan dagangnya. Baginya, yang memisahkan film dengan politik hanyalah pikiran pedagang.

Dalam karya film, orientasi kerakyatan itu terwujud melalui resolusi cerita yang tidak individualistis. Resolusi cerita seringkali dikembalikan kepada massa atau rakyat, alih-alih jatuh pada seorang pribadi tertentu. Krishna Sen menyoroti hal tersebut dalam film Tjorak Dunia (1955) karya Bachtiar Siagian, yang ia bandingkan dengan Lewat Djam Malam (1954)karya Usmar Ismail.

Kedua film mengusung tema yang sama: rehabilitasi sosial bagi mantan pejuang setelah perang kemerdekaan. Keduanya juga sama-sama bertutur dalam kemasan roman populer. Perbedaan Tjorak Dunia dan Lewat Djam Malam baru kentara apabila kita mencermati visi kedua film tersebut tentang Indonesia pasca-kemerdekaan. Tjorak Dunia secara spesifik menampilkan Indonesia yang dihuni oleh kaum papa dan orang-orang pinggiran. Dalam Lewat Djam Malam, warga ekonomi kelas bawah dipotret secara generik sebagai kerumunan orang, dan kalaupun spesifik, mereka hadir sebagai tokoh-tokoh yang bernasib tragis atau berperilaku abnormal. Tjorak Dunia juga secara tegas mengaitkan permasalahan protagonisnya dengan masalah-masalah yang lebih luas di lingkup sosial sekitarnya, begitu juga solusinya. Beda halnya dengan Lewat Djam Malam yang mencirikan masalah protagonisnya sebagai perkara psikologis yang hanya ada dalam kepalanya sendiri.

Peristiwa 30 September 1965 memastikan warisan sineas kiri di bidang film nyaris tak berjejak. Sebagaimana di bidang sastra, Lekra di dunia film juga dimaki-maki sebagai gerombolan perusak. Lekra hanya diingat saat PAPFIAS pada 1964 melakukan serangkaian aksi boikot film impor di bioskop-bioskop di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Padahal Lekra juga lembaga yang peduli dengan kemajuan dunia film dan peran, dan tidak naif terhadap kepentingan-kepentingan komersial yang mengakar dalam perfilman. Bagi Lekra, film tak hanya soal bagaimana membuat, mendistribusikan, dan menonton di bioskop. Film adalah produk kebudayaan dan karena itu posisinya sangat politis.

Dengan semboyan politik adalah panglima, Lekra mendirikan Lembaga Film Indonesia pada Maret 1959 untuk mewadahi pekerja-pekerja filmnya. Pembentukan lembaga disepakati dalam Kongres I Lekra di Solo pada Maret 1959. Bachtiar Siagian dan Kotot Sukardi terpilih sebagai ketua dan wakil ketua.

Aras politik perfilman Lekra kentara dengan dukungan mereka terhadap film-film yang membangun kesadaran nasional. Dalam catatan yang dikeluarkan oleh Bachtiar Siagian, masuknya film-film Amerika sejak 1920 hingga 1942 tak lain membantu Belanda mengembangkan rasialisme di Indonesia. Pedagang Tionghoa diberi izin mengimpor “film-film takhayul” dari Shanghai, dan pada perkembangannya memproduksi film-film serupa untuk konsumsi masayarakat setempat.

Pertemuan kepentingan kolonial Belanda dengan modal pedagang Tionghoa menjadi film-film Indonesia pada masa Hindia Belanda steril dari muatan politik—hal serupa terjadi juga dalam dunia sastra. “Film-film bergenre perkelahian, fantasi, keajaiban, nyanyian, dan romantik bebas berkeliaran” hingga Jepang datang. Pada era Kenpetai itulah, tulis Armijn Pane di risalahnya yang berjudul Film-film Tjerita di Indonesia, film menjadi alat propaganda politik Jepang. Barulah setelah penandatangan Konferensi Meja Bundar, hadir perusahaan-perusahaan film buatan “pribumi” di Indonesia. Ada Persari milik Djamaluddin Malik, Perfini milik Usmar Ismail, juga Perusahaan Umum Produksi Film Negara.

Kelompok kiri pada awalnya menaruh harapan Usmar Ismail dan Perfini. Bachtiar menilai, Perfini memiliki integritas dan komitmen idealis yang tinggi dengan membuat film-film berkesadaran nasional, seperti Tjitra (1949), Embun (1951), serta Darah dan Doa. Film-film ini dipicu oleh “pengalaman-pengalaman revolusioner” dan oleh karenanya layak diperjuangkan. Sebaliknya, Persari dikecam karena orientasi komersialnya yang begitu kentara. Djamaluddin Malik begitu getol membuat film-film komersial seperti Rodrigo de Villa (1952), kisah roman bangsawan berlatar di Spanyol, yang bagi sineas-sineas Lekra tidak memberi sumbangsih apapun terhadap kebangunan nasional.

Pada perkembangannya, realitas ekonomi membenturkan industri film Indonesia dengan kebutuhan untuk bertahan hidup. Djamaluddin Malik melalui Persari menarik keuntungan dari keadaan itu. Usmar Ismail dengan Perfini harus memilih antara mempertahankan ideal lalu hancur, atau berkompromi dengan keadaan. Usmar memilih kompromi, sebagaimana yang terlihat dalam Krisis (1953) dan Heboh (1954). Menanggapi ini, Bachtiar Siagian menyesalkan lemahnya posisi “film-film ideal” di hadapan “film-film komersial”. Baginya, kebudayaan film pada masa itu “tidak ikut aktif dalam usaha pembangunan kebudayaan nasional. Film-film kita hanya menunjukkan ciri-ciri epigon, imitasi, dan akhirnya cuma mengambil posisi yang paling negatif, yaitu pembantu dari intervensi kebudayaan kaum imperialis lewat film-filmnya”.

Festival Film Asia-Afrika III pada 1964.

Solidaritas Negara Merdeka

Dominasi film-film Amerika praktis jadi kian mendesak untuk disikapi. Lekra pernah merilis catatan bahwa pada 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Seterusnya Jepang (59), India (30), Italia (25), RRT (25), Pakistan (24), Inggris (20), Hongkong (15), Uni Soviet (10), Singapura (5), Jerman Barat (2), Prancis (1), Lebanon (1), dan RDR Korea Utara (1). Dari kuota pemutaran, AMPAI (America Movie Picture Association of Indonesia) menguasai 70% seluruh gedung bioskop yang ada, tanpa harus punya gedung sendiri. Sisanya dibagi film impor negara Asia, Eropa, dan Afrika. Indonesia hanya kebagian 1%.

Bagi Lekra, situasi ini tidaklah ideal bagi pekerja film Indonesia untuk berkarya demi mewujudkan ideal-ideal kebangsaan. Kondisi ini menuntut penyikapan yang tegas, dan jalan yang dipakai Lekra dan organ-organ famili ideologisnya adalah perlawanan terbuka di ruang-ruang publik. Dalam berbagai orasi dan demonstrasi, mereka menuntut agar film Indonesia menjadi “tuan rumah di negeri sendiri”. Nantinya, dalam penulisan sejarah film Indonesia, aksi ini diolok-olok sebagai tindakan “sepihak” dan jadi terdakwa merosotnya jumlah bioskop.

Agenda Lekra bagi film Indonesia menemukan momentumnya di tengah kontestasi politik global 1960-an. Wacana tentang negara-negara Asia dan Afrika sebagai poros kekuatan dunia sedang gencar-gencarnya disuarakan, salah satunya oleh Presiden Soekarno. Bagi beliau, poros Asia-Afrika bisa menjelma menjadi kekuatan baru untuk menghalau dominasi Blok Kapitalisme Amerika dan Blok Komunisme Rusia, tidak saja untuk kelangsungan pembangunan ekonomi dan tawaran posisi politik, tapi juga maslahat kebudayaan untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hal ini terangkum dalam trisum manifesnya: “berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan”.

Peristiwa Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 18 April 1955 membuka jalan bagi sejumlah agenda kebudayaan antara negara-negara Asia Afrika, mulai dari Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, hingga Festival Film Asia Afrika (FFAA). Jakarta menjadi tuan rumah FFAA III pada 1964, setelah edisi pertama berlangsung di Tashkent, Uzbekistan, pada 1958 dan edisi kedua di Kairo, Mesir, pada 1960. Banyak pegiat film Lekra yang menjadi panitia. Pada FFAA III ini Maladi, saat itu menjabat Menteri Olahraga, didaulat sebagai Ketua Kehormatan Komite Nasional dan Utami Suryadarma sebagai Ketua Umum sekaligus Ketua I Komnas FFAA III.

Ajang FFAA tak semata ajang karpet merah sebagaimana festival film pada umumnya. Ia adalah “peristiwa politik yang hiruk-pikuk”. Kehadiran 27 negara di Asia dan Afrika dan dipadati sepuluh ribu orang di Istora Bung Karno Jakarta pada April 1964 menjadi perayaan solidaritas bagaimana negara-negara Asia Afrika ingin film nasional berdaulat di negerinya sendiri. Ada dua hadiah yang diperebutkan dalam FFAA III, yang ditentukan oleh lima belas juri. Pertama, Bandung Award untuk tujuh film cerita, film anak-anak, dan dokumenter. Kedua, Lumumba Award untuk pencapaian dalam bidang penulisan skenario, penyutradaraan, seni peran, sinematografi, musik, dan “art designing”. Perwakilan Indonesia, Tangan-tangan jang Kotor (1963) arahan Soendjoto Adibroto, menang Bandung Award untuk film terbaik dan Lumumba Award kategori skenario.

FFAA III berlangsung dari 19 hingga 30 April 1964. Penayangan film dilangsungkan setiap hari, siang dan malam, di Markas Besar Ganefo, Istora Senayan. Urutan penayangan film mengikuti abjad negara peserta, sesuai kategori film cerita dan dokumenter. Nantinya film-film yang menang dalam FFAA III akan diputar di bioskop-bioskop berbagai kota di Indonesia sebagai bagian dari “Pameran Film AA”.

Festival dibuka oleh pidato Presiden Soekarno. Seluruh pidatonya menekankan pentingnya “setiakawan AA (Asia-Afrika), setiakawan AAA (Asia-Afrika-Amerika Latin), dan setiakawan Nefo (negara-negara berkembang)” dalam perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme. Bung Karno mengharpakan “diletakkan titikberat pada solidaritet politik” sebab baginya tak ada revolusi di negara-negara Asia dan Afrika yang bisa sukses tanpa solidaritas.

Penutupan FFAA III merupakan momen kelahiran komunike bersama serta sikap “bulat berketetapan mengakhiri dominasi imperialis di bidang film di Afrika dan Asia untuk mengembangkan perfilman nasional masing-masing maupun perfilman Afrika-Asia umumnya”. Para perwakilan negara-negara peserta “sadar sedalam-dalamnya akan arti penting film sebagai alat propaganda dan pendidikan yang paling kuat”. Mereka tak mau lagi “menjadi penonton atau objek saja” dan menyatakan diri sebagai “subjek dan pentjipta film”.

Momen penutupan festival juga dipakai Lekra untuk menegaskan niatan merdeka di bidang film dengan mendirikan pembentukan PAPFIAS, dengan Utami Suryadarma sebagai ketua, pada penutupan festival. Keputusan melawan secara terbuka film-film Amerika Serikat via AMPAI di Indonesia adalah ikhtiar menegakkan amanat negara-negara Asia Afrika di FFAA III. Di hadapan Presiden Soekarno, Deklarasi FFAA pada 30 April 1964 ditetapkan sebagai Hari Film Nasional, bukan 30 Maret seperti yang diakui sekarang.

REFERENSI

________, “Badan Gerakan Pembina Perfilman Nasional Berdiri”, Duta Masyarakat, 2 November 1964.

________, Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional (Jakarta: Dewan Film Nasional, 1980)

________, “Sekilas Latar Belakang Film Nasional”, Bahan Siaran Berkala Sinematek Indonesia.

________, “Hario Kecik & Festival Film Asia Afrika“, jpnn.com, 11 April 2017.

Abubakar Abuy, “Perfilman Nasional Menuju Jalan Baru” (1964)

Armijn Pane, Produksi Film-film Tjerita di Indonesia: Perkembangannya sebagai Alat Masyarakat (1953)

Budi Irawanto, Film, Ideologi, dan Militer (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999)

Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis (Oxford: Oxford University Press, 1983)

Charlotte Setijadi dan Thomas Barker, “Membayangkan ‘Indonesia’: Produser Etnis Tionghoa dan Sinema Pra Kemerdekaan” dalam Ekky Imanjaya (ed), Mau Dibawa Ke Mana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia (Jakarta: Salemba Humanika, 2011)

Haris Jauhari (ed), Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992)

Hildred Geertz, Indonesian Cultures and Communities (Berkeley: University of California Press, 1963)

Jennifer Lindsay dan Maya HT Liem (ed.), Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (Leiden: KITLV Press, 2012)

JB Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004)

Karl G Heider, Indonesian Cinema: National Culture on Screen (Honolulu: University of Hawaii Press, 1991)

Katharine McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past (Singapura: NUS Press, 2007)

Katinka van Heeren, Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past (Leiden: KITLV Press, 2012)

Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order (London: Zed Books, 1994)

Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians, the Chinese Minority, and China (Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1992)

Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa (Depok: Komunitas Bambu, 2009)

Misbach Yusa Biran, Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia (Jakarta: Kementerian Pemuda dan Olaharga Republik Indonesia, 2009)

Muhidin M Dahlan & Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (Yogyakarta: Merakesumba, 2008)

Ran Ma, “A genealogy of film festivals in the People’s Republic of China: ‘film weeks’ during the ‘Seventeen Years’ (1949–1966)”, New Review of Film and Television Studies, 2016.

Rosihan Anwar, Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 (Sinar Harapan: Jakarta, 1981)

Salim Said, “Politik adalah Panglima Film”, Prisma no 10, November 1978.

Salim Said, Shadows on the Silver Screen: A Social History of Indonesian Film (Jakarta: The Lontar Foundation, 1991)

SM Ardan, Dari Gambar Idoep ke Sinepleks (Jakarta: Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, 1992)

Thomas Barker, “Questioning Film Nasional”, Asian Cinema Journal, 2012.

Totot Indrarto, “Lika-liku Lahirnya Hari Film Nasional”, Lokadata.id, 30 Maret 2017.

Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)