Beberapa tahun belakangan ini, keberadaan ormas Islam tak pernah lepas dari pembicaraan publik. Salah satu penyebabnya adalah aksi-aksi pembubaran yang melibatkan sejumlah ormas terkait kegiatan diskusi dan pemutaran film yang dianggap menyesatkan. Salah satunya yang masih hangat di ingatan adalah dibubarkannya pemutaran film Senyap (The Look of Silence) karya Joshua Oppenheimer di kampus-kampus di Yogyakarta. Meski FPI menjadi ormas yang paling rajin disebut di media, sebenarnya ada banyak lagi ormas lainnya. Sebut saja FUI (Forum Umat Islam), Laskar Jihad, dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Sebagian publik menganggap aksi mereka mewakili Islam, sementara yang lain menilai mereka sama sekali tidak mengamalkan ajaran Islam. Terbelahnya sikap publik inilah yang menimbulkan rasa penasaran di benak kami, dua mahasiswa tingkat akhir yang tak kunjung rampung skripsian: Ayu Diah Cempaka dan Muhammad Rohmani.
Kami sempat bertanya-tanya, di tengah-tengah kesibukan melakukan pembubaran, apakah mereka punya waktu untuk menonton film sehari-harinya? Apakah mereka sama seperti kita yang suka mengulang-ulang nonton film sedih saat patah hati? Apakah mereka punya film favorit dan suka mengutip dialognya untuk dijadikan status facebook, twitter, atau caption instagram? Sebab, seringkali kita terlanjur sibuk menilai orang dari luarnya saja, tanpa sadar bahwa kadang mereka memiliki kehidupan privat yang jauh berbeda. Adolf Hitler misalnya, meski dikenal tak berprikemanusiaan karena menghabisi nyawa jutaan orang Yahudi, ternyata memiliki tontonan favorit, yakni King Kong (1933) and Snow White and the Seven Dwarfs (1937), dan Metropolis (1927).
Pertanyaan-pertanyaan mahapenting itulah yang membawa kami untuk bertemu dengan Muhammad Fuad—yang kemudian kami panggil Mas Fuad—kordinator FUI Yogyakarta yang sehari-harinya nongkrong di Terminal Ngabean—untuk menanyakan film-film favorit di FUI. Mas Fuad ini cukup sering ditemui oleh para jurnalis yang ingin mengonfirmasi soal aksi-aksi pembubaran yang dilakukan oleh FUI Yogyakarta. Beliau juga sempat tampil beberapa menit memberikan testimoninya tentang keberadaan waria yang dianggap melanggar kodrat dalam film dokumenter berjudul High Heels and Hijabs, produksi Journeyman Pictures.
“Judulnya tidak ada. Karena kami lebih sering menonton film-film dokumenter dengan jamaah di Masjid. Dan itu tidak ada judulnya,” jawab Mas Fuad.
Ternyata Mas Fuad dan kawan-kawan adalah penonton dokumenter. Mas Fuad kemudian bercerita bahwa film sangat membantu aktivitas dakwah mereka. Meski tak bisa menyebutkan judulnya, Mas Fuad memberi gambaran kalau film-film yang mereka putar dan tonton bersama adalah film sejarah para Nabi, film-film yang menurutnya menunjukkan ‘kesesatan’ Syiah dan Ahmadiyah. Beliau percaya bahwa masyarakat akan lebih paham ‘betapa sesatnya Syiah’ juga ajaran-ajaran lain, jika dibarengi dengan bukti-bukti audiovisual. Film-film tersebut mereka dapatkan dari kawan-kawan yang kuliah di Madinah, Yaman, dan Saudi. Salah satunya juga dari Ustadz Firanda yang mengajar di Masjid Nabawi. Kadang mereka mendapatkannya langsung dari pemerintah Saudi. “Kadang kami dapat dari Youtube juga,” tambahnya.
Kesadaran Mas Fuad dan kawan-kawan akan pentingnya sinema tak hanya sampai di situ. Selain memutar dan menonton film, mereka juga memproduksi film-film dokumenter untuk ditayangkan di hadapan jamaah ketika dakwah berlangsung. Salah satu film yang mereka garap adalah dokumenter tentang fenomena menyusutnya jumlah pemeluk Islam di Kulon Progo. Mereka juga memiliki dokumentasi aksi-aksi pembubaran di suatu diskusi atau pemutaran film. Menurut Mas Fuad, kegiatan pendokumentasian ini berangkat dari “maraknya fitnah yang diterima kawan-kawan FUI ketika melakukan pembubaran kegiatan tertentu”. Kami pun tertarik untuk menyaksikan dokumentasi pembubaran tersebut. Pasalnya, kami tidak sempat menghadiri pemutaran Senyap di UGM. Walhasil kami tidak punya gambaran bagaimana pembubaran yang dikisahkan Mas Fuad secara heroik itu berlangsung. Sayangnya Mas Fuad belum mengijinkan. Katanya, hanya untuk arsip pribadi organisasi. “Untuk saat ini belum boleh, mudah-mudahan nanti kalau kita sudah saling percaya.”
Ramainya tanggapan publik terkait aksi-aksi pembubaran tersebut direspon oleh FUI dengan Pembekalan Mujahidin, pada 9-10 Mei 2015 di Bumi Perkemahan Kaliurang, Yogyakarta. Kurang lebih 97 laskar Islam dari DIY, Solo, dan Tegal terlibat dalam pembekalan itu. Melalui pembekalan ini, FUI bermaksud meluruskan makna Mujahidin yang tugasnya tidak melulu soal pergi berperang, karena menurut Mas Fuad, menjadi Mujahiddin juga berarti melakukan aksi pembubaran atau reaksi lain atas suatu kegiatan yang dianggap tidak pantas tanpa dibarengi tindakan rusuh. “Jangan sampai niat baik kita justru jadi jatuhnya salah, Karena kadang-kadang di lapangan teman-teman bisa saja lepas kontrol,” ujar Mas Fuad. Pembekalan ini akan diadakan rutin setiap 4 bulan sekali. Meski di acara pertama kemarin tak ada agenda menonton film, Mas Fuad mempertimbangkan untuk Pembekalan Mujahiddin selanjutnya akan ada sesi menonton bersama.
Pemahaman yang esensial tentang film beserta kegunaannya menyadarkan FUI bahwa film pun memiliki ‘bahaya laten.’ Salah satunya adalah, menurut Mas Fuad, penyebaran paham komunis. Inilah yang kemudian menggerakkan FUI untuk membubarkan pemutaran film Senyap di kampus-kampus di Yogyakarta akhir tahun 2014 kemarin. Mas Fuad mengakui bahwa dibandingkan pembubaran-pembubaran lain, mereka paling gencar membubarkan film Senyap. Bahkan jika mungkin, mereka bisa membubarkan pemutaran di 10 tempat sekaligus, sebab massa mereka jumlahnya ribuan.
Mas Fuad mungkin menyadari kalau kami berdua hanyalah generasi 90an yang awam soal komunisme, liberalisme, dan isme-isme lain di seluruh di dunia, apalagi soal paham kiri, paham kanan, paham pura-pura kiri, dan paham-paham lainnya. Maka beliau pun telaten menjelaskan pada kami di mana letak bahaya dari film Senyap.
“Kalau kita biarkan, ini (komunisme) bisa menjadi sesuatu yang nantinya mulai diterima di kalangan mahasiswa dan masyarakat, karena merasa tidak ada yang salah. Saya tidak ada masalah ketika mahasiswa bisa menganggap (film) ini sebagai suatu pelajaran. Tapi kita kan tidak bisa menjamin juga kalau yang datang di situ nantinya akan membenarkan ternyata komunis ini tidak salah, ternyata pemerintah atau Orde Baru saat itu yang kejam yang salah menerapkan hukuman. Jadi ketika kita harus, umpamanya, sampai harus mencabut Tap MPRS yang melarang bahwa mereka (komunis) ini sesuatu yang ilegal, ini kan juga parah. Artinya kalau komunis ini sudah bisa diterima apa yang bisa kita lakukan kalau mereka sudah bisa berkembang biak. Pertemuan eks-PKI, pertemuan organisasi-organisasi PKI,” tuturnya mantap.
Kami penasaran, seperti apakah komunis yang dimaksud Mas Fuad, apalagi yang menurutnya sudah menyusup ke kampus-kampus. Menurutnya, sekarang banyak sekali mahasiswa yang berhaluan kiri.
“Ini terbukti bahkan di kampus-kampus Islam, seperti di IAIN (UIN Sunan Kalijaga). Bahkan ketika jadwal sholat berani gitaran, main musik, lalu debat masalah agama. Masalah ketuhanan pun buat mereka itu bukan hal yang tabu. Saya khawatir komunis ini memanfaatkan keingintahuan mahasiswa, kemudian mereka yang merasa cerdas ini berdebat di hal-hal yang membuat mereka merasa mendapat angin lagi,” tambahnya lagi.
Ternyata FUI tak asal grebek seperti yang sebagian dari kita sangka selama ini. Mereka memiliki pemahaman sejarah yang luar biasa unik, sehingga didapatlah kesimpulan bahwa tunas bangsa mulai disusupi komunisme. Contohnya, menurut Mas Fuad, main gitar di jam-jam shalat adalah bukti generasi muda sudah disusupi paham komunisme.
Sebelum melakukan pembubaran, Mas Fuad mengakui bahwa film-film yang mereka dapatkan dikaji—atau melalui semacam tahap sensor tanpa potong-potong pita film—terlebih dahulu oleh kawan-kawan FUI yang punya latar belakang film. Apakah film tersebut mengarah ke hal-hal yang harus kita waspadai, adakah adegan sadis atau hal-hal yang tidak layak ditonton, dan segala cek-ricek lainnya. Setelah itu baru disimpulkan apakah film tersebut layak ditonton atau tidak.
“Kalau di Islam ada istilah tabayyun, yaitu membuktikan tuduhan. Kalau sesuatu dituduh salah atau sesat, kan harus kita buktikan dulu benar atau nggak. Kalau sudah benar baru kita bereaksi, kalau tidak benar kan justru kita akan bikin kesalahan,” jelas Mas Fuad.
Ketika kami tanyakan apakah semua anggota FUI yang ikut membubarkan pemutaran film Senyap juga sudah menonton filmnya, Mas Fuad mengatakan bahwa tidak semua dari mereka, hanya yang paham film saja. “Kita yang tidak mengerti film ya ikut saja”, tambahnya. Kami menyayangkan hal ini. Pikir kami, mungkin akan lebih baik jika para anggota FUI nonton bareng dulu dengan mahasiswa di kampus, sambil menikmati kopi dan jajanan pasar yang disediakan panitia secara cuma-cuma.
Selain Senyap, FUI juga mendapat film-film lain yang memuat isu yang begitu sensitif sehingga layak untuk dibubarkan, sebut saja Jagal (The Act of Killing) yang juga disutradarai oleh Joshua Oppenheimer. Hanya saja, FUI melihat bahwa upaya penyebaran komunisme melalui film Senyap lebih sistematis. Menurut Mas Fuad, besar kemungkinan ada penyandang dana yang besar di belakangnya, sehingga bisa diputar serentak di banyak kota di Indonesia. Karena itulah aksi pembubarannya pun dipersiapkan dengan lebih matang. Dari obrolan dengan Mas Fuad kami menangkap nampaknya beliau tahu betul soal gerak-gerik komunis-komunis di Indonesia, bahkan bisa menonton Senyap yang setahu kami didistribusikan secara terbatas. “Pertama kali kami mendapat filmnya dari teman-teman aparat tentara.”
Ternyata FUI dan TNI terbilang cukup sering bertukar informasi mengenai kegiatan berbau komunisme di negeri ini, termasuk pertemuan-pertemuan eks-tapol 1965. Menurut Mas Fuad “Bisa kita katakan kalau komunisme itu proyeknya tentara, sedangkan terorisme itu proyeknya polisi. Kadang mereka juga terlalu berlebihan. Ya karena proyek, memang ada dananya buat mereka.”
Sebelum mengakhiri obrolan, Mas Fuad menyampaikan kesimpulan bahwa “Selama sebuah film tidak bertentangan atau memberikan informasi-informasi yang menyesatkan tentang agama Islam tentunya kita akan welcome. Tapi kalau film itu ditujukan untuk propaganda Muslim ya akan kita tentang. Seperti juga film Senyap yang benar-benar kita perangi karena mereka akan membangkitkan kembali komunisme melalui mahasiswa. Kalau mahasiswa ini sudah terpengaruh, bahkan aparat tentara pun tidak bisa berbuat apa-apa ketika masyarakat sudah bergolak.”
Lalu bagaimana soal film-film fiksi-islami yang diputar di bioskop seperti Ayat-ayat Cinta, Cinta tapi Beda, atau Tanda Tanya karya Hanung Brahmantyo yang sempat kena sweeping FPI saat hendak ditayangkan di televisi. Sayangnya Mas Fuad ternyata tak mengikuti film-film itu, karena teman-teman FUI lebih memilih nonton dokumenter. “Bahkan film-film seperti Umar Bin Khattab juga jarang kita tonton, kita lebih ke film-film dokumenter yang ada realitanya.”
Sambil berbasa-basi menunggu pamit, kami baru tahu ternyata Mas Fuad adalah penggemar berat film. Hampir seminggu sekali, pada hari Minggu, ia pasti nonton di Empire XXI atau di Studio 21 Ambarukmo Plaza. Bahkan Mas Fuad tak mau ketinggalan menonton Avengers: Age of Ultron, produksi Hollywood yang tiketnya sudah sold out bahkan sebelum loket bioskop dibuka. Kami yang ngaku-ngaku cinephile ini saja belum menonton karena malas mengantri dan merelakannya untuk dedek-dedek ABG.
Kami menerka-nerka adakah kemungkinan FUI akan membubarkan film-film Holywood. Meski film-filmnya tak menyebarkan isu komunisme, tapi dari beberapa kanal berita seperti Arrahmah dan Voa-Islam yang kami baca, disebutkan bahwa Hollywood kini dikuasai oleh Zionis dan Freemanson. Parahnya lagi, Hollywood sempat mengirim “paksa” film-filmnya ke Indonesia, jika tidak diterima, ancamannya adalah nasib ekspor kain Indonesia. Sehingga tak heran jika masyarakat kini lebih mengenal Titanic daripada Surat untuk Bidadari. Akan tetapi kemungkinan itu harus diteliti lebih dalam lagi, sebab bagaimanapun anti-komunis belum tentu anti-Hollywood juga.