Pada edisi pertama Wacana, telah tersinggung pasal integrator vertikal antara film sebagai teks dan momen-momen spesifik dalam sejarah yang terindeks olehnya. Pada edisi kedua, spesifikasi penonton menjadi titik berat pembahasan di mana kekhasan ruang budaya dipandang saling berkelindan dengan sinema yang berkembang. Dua kata kunci (“film sebagai teks dan momen spesifik dalam sejarah,” “kekhasan ruang budaya”) pada edisi sebelumnya ini kemudian akan kita kembangkan lebih jauh dalam rangka merespon film-film Indonesia mutakhir yang akan kita kerangkai isu seputar politik dan ruang. Film Indonesia mutakhir yang kami maksud adalah film-film Indonesia yang memotret Eropa sebagai titik fokus ceritanya, sebutlah film macam Laura Marsha (2013) dan 99 Cahaya di Langit Eropa (2014), tanpa mengurangi respek pada karya semacam Edensor (2013).
Dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa, misalnya, klaim-klaim sejarah ruang didasarkan pada paradigma agama. Signifikansi Eropa diukur dari posisinya dalam sejarah “perkembangan” Islam. Karakter utama Hanum (Acha Septriasa) dan Rangga (Abimana Aryasatya) berwisata ke tempat-tempat di mana kebudayaan islam masih meruang secara fisik. Kata “perkembangan” tentu saja bermasalah, sebab yang dipermainkan dan dibungkus oleh 99 Cahaya adalah logika kolonialisme yang dibalik saja. Penaklukan Cordoba dan Granada dipandang sebagai tonggak kemajuan Islam di Eropa alih-alih sebagai sebuah penjajahan sebagaimana paradigma yang sering dipakai negara-negara timur (tak terkecuali Indonesia) dalam membahas tema serupa. Renik sinematiknya bisa kita lihat pada dua respon berbeda tokoh Hanum ketika ia mengunjungi sebuah katedral di Cordoba dan ketika ia mengunjungi Aya Sofia d Istanbul. Meski dua hal yang sama, Hanum merespon Cordoba sebagai sebuah tindakan bodoh sementara Aya Sofia dipandang sebagai sebuah kebijaksanaan yang agung.
Problemnya tentu ada pada cara melihat yang akhirnya berkaitan dengan posisi politik dan geografis. Dalam pada inilah topik kali ini kami rangkum. Beberapa artikel yang kami sajikan menproblematisasi cara pandang yang menjadikan oksidentalisme sebagai jawaban atas orientalisme (sebagaimana yang diperagakan oleh tokoh Hanum dalam 99 Cahaya). Bagi Fernando Coronil yang tulisannya disertakan di bawah, oksidentalisme tidaklah monolitik dan bukanlah oposisi biner dari orientalisme. Coronil menjabarkan bahwa konsep oksidentalisme dan orientalisme sebenarnya ialah problema kedirian (selfhood) di mana konsep-konsep dibangun atas dasar batas yang jelas antara diri (the self) dan yang liyan (the other), tinggal Anda saja mau pilih berada di mana. Timur atau Barat. Lewat cara ini, Coronil menegaskan bahwa oksidentalisme sama saja berbahayanya dengan orientalisme. Di sini ia menjabarkan beberapa moda yang membuktikan bahwa oksidentalisme mengandung tuduhan tersendiri terhadap orientalisme dan hal itu mengakar hingga melahirkan beberapa moda pemikiran. Moda-moda tersebut adalah oksidentalisme sebagai aksi mengkritik orientalisme dengan dalih bahwa orientalisme adalah upaya (1) diri sendiri dalam rangka mengaburkan (dissolution) yang liyan, (2) menjadikan yang liyan sebagai bagian dari diri sendiri, (3) penggoyahan (destabilization) diri oleh yang liyan.
Setelah membaca Coronil, kita akan berpikir bahwa Coronil alih-alih menentang oksidentalisme, ia justru tengah berusaha membersihkan nama oksidentalisme dari klaim-klaim bahwa paham ini hanyalah lawan geopolitis dari orientalisme. Bagi Coronil, oksidentalisme adalah moda berfikir yang bisa jadi efektif dan non-imperialis. Ia akan membawa kita melihat bahwa perspektif yang digunakan film macam 99 Cahaya adalah perspektif kotor nan berbahaya di mana perkembangan islam yang dimaksud sebenarnya setali tiga uang dengan penjajahan. Hal-hal yang dikritik para oksidentalis terhadap kaum orientalis ternyata dilakukan sendiri oleh mereka. Topik-topik macam ini yang diparodikan oleh Wang Ning dalam tulisannya Orientalism versus Occidentalism?. Mengajar di Peking, Wang Ning menengarai bahwa para akademisi timur yang paham benar bahaya orientalisme ternyata berlomba-lomba belajar ke Barat dan berjuang mati-matian mendapatkan green card untuk tinggal di sana. Wang Ning merekam debat para kritikus mengenai sutradara macam Zhang Yimou dan Chen Kaige yang karya-karyanya terjebak di antara tudahan bahwa mereka orientalis (dibuat untuk selera pasar festival luar negeri, banyak dituduhkan oleh kritikus dalam negeri RRC) dan serangan atas klaim macam ini oleh kritikus Cina yang ada di luar Cina sebagai klaim yang oksidentalis.
Setelah Wang Ning, marilah kita lihat mirisnya duo sahabat Laura (Prisia Nasution) dan Marsha (Adinia Wirasti) yang larut dalam imajinasi Eropa pada tingkatnya yang paling banal: eksotisme. Laura Marsha adalah perwujudan oksidentalisme dalam bahayanya yang paling menggiriskan. Film ini sama sekali tidak sadar bahwa setiap ruang selalu mengandung beban sejarah dan geopolitiknya, sehingga yang kita lihat adalah Eropa dari sudut pandang penaklukan atas hal-hal yang misterius, menantang, dan eksotis, sama seperti cerita travelling dan backpacking yang berserakan di toko buku dekat rumah kita, sama persis dengan buku yang ditulis oleh tokoh Marsha dalam film tersebut. Dalam film ini, oksidentalisme terjerumus menjadi orientalisme yang dilakukan oleh orang non-Eropa, tak ada bedanya: persis seperti bahaya yang telah dibicarakan oleh Fernando Coronil.
Setelah berangkat dari dua film mutakhir dan dua teks yang mengitari temanya, kita akan beranjak ke teks babon tentang orientalisme, sebuah buku berjudul sama karya Edward Said. Buku inilah yang mencuatkan orientalisme ke dalam diskursus akademik sehingga rasanya tidak sah bila kita tak menyertakannya. Buku ini ditulis pada tahun 1977 dan sempat lama menjadi satu-satunya buku acuan mengenai orientalisme khususnya dalam perspektif poskolonial sebelum mazhab-mazhab feminisme dunia ketiga (Gayatri Spivak) dan dunia ketiga dalam kerangka kritik budaya yang parodik nan ambigu (Homi Bhabha) juga turut mengambil panggung.
Dua teks lainnya adalam semacam contoh latihan. Yang satu menelaah signifikansi geopolitik dalam film dengan menyoroti film-film Amerika Serikat yang bertemakan intervensi negara itu dalam turbulensi politik luar negeri. Menariknya, sang penulis Klaus Dodds tidak berhenti pada sekedar teks film melainkan juga masuk ke dalam ruang diskusi penonton. Hanya memang, diskusi penonton yang diperagakan oleh Dodds baru sebatas pada komentar-komentar para penonton di IMDB sehingga legitimasinya juga masih sangat terbatas. Tapi setidaknya lewat peragaan tersebut, Dodds membuktikan bahwa singgungan geopolitik dan sinema bukanlah sebatas ratapan menara gading oleh kawula akademik saja, melainkan juga menjadi fokus perhatian khalayak penonton secara luas.
Artikel kedua adalah resensi singkat tentang salah satu bab dalam buku fenomenal Christina Klein Cold War Orientalism: Asia in the Middlebrow Imagination, 1945-1961. Bab yang dibahas adalah pasal musikal dan modernisasi di mana film The King and I (1956) menjadi fokusnya. Christina Klein berfokus pada orientalisme sebagai narasi yang sering berlindungan sebagai wacana modernisasi sebagaimana yang ditampilkan oleh film tersebut: seorang wanita terdidik dari Inggris datang ke Siam dan mengajari anak-anak raja bagaimana menjadi modern dan pada saat yang bersamaan, barat. Di sini wacana orientalisme tidak dibatasi oleh isu eksotisme, misteri, dan penaklukan saja, melainkan sudah sampai pada upaya-upaya moralis atas nama modernisme. Tulisan ini sengaja kami muat sebagai contoh draf latihan yang paling kasar mengenai diskusi yang telah dibawa oleh tiga artikel utama, bolehlah dibaca sebagai versi ringan dan sepelenya, boleh dicontoh bilamana memang suka, dan boleh dihindari bilamana memang tak suka.
Akhir kata, selamat membaca!
DAFTAR BACAAN
- Beyond Occidentalism, Toward Nonimperial Geohistorical Categories (Fernando Coronil, 1996) | unduh
- Orientalism versus Occidentalism? (Wang Ning, 1997) | unduh
- Orientalism (Edward Said, 1977) | unduh
- “Have You Seen Any Good Films Lately?” Geopolitics, International Relations, and Film (Klaus Dodds, 2008) | unduh
- Musicals and Modernization, A Review (Makbul Mubarak, 2013) | unduh