Djakarta 1966: Hiruk Pikuk Supersemar yang Samar-samar

djakarta-1966_00

Pada awal dekade 80an, Arifin C Noer membuat tiga film tentang Suharto: dimulai dari Serangan Fajar (1981), disusul Pengkhianatan G30S/PKI (1982), lalu digenapi dengan Djakarta 1966 (1988).

Djakarta 1966 dibuka dengan narasi yang bisa meringkas apa yang akan kita tonton dalam kurang lebih dua jam ke depan. Film ini mengetengahkan kejadian-kejadian di ibukota usai peristiwa 30 September 1965, dari Januari di tahun baru hingga turunnya Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar.

Karena Djakarta 1966 adalah film yang dibiayai oleh negara (dan diproduksi pada zaman pemerintahan Suharto), yang kita saksikan adalah kebenaran milik Orde Baru. Narasi pembuka menyebutkan bahwa penculikan dan pembunuhan sejumlah pimpinan Angkatan Darat, “telah membuat rakyat marah dan menuntut agar PKI [Partai Komunis Indonesia] dibubarkan.” Narasi ini tentu saja tidak menyebutkan data lain yang adalah murni karangan pihak tentara dan disebarluaskan oleh media saat itu, tentang pimpinan Angkatan Darat yang mati mengalami penyiksaan seperti dicongkel matanya dan dipotong kemaluannya. Berita tentang penyiksaan ini berhasil membangkitkan histeria kebencian dan kegelisahan terhadap kehadiran PKI.

Karya Arifin C Noer sebelumnya, Pengkhianatan G30S/PKI, menghidupkan kembali bangkitnya kebencian yang meletup-letup ini. Pemerintah Suharto kemudian memastikan letupan ini terbaharui setiap tahun lewat televisi nasional. Menonton sesuatu yang mengerikan secara berulang membuatnya menjadi rangkaian kepingan adegan atau foto yang dibekukan dalam kepala. Susan Sontag, kritikus, menyebut bagaimana hal ini kemudian menjadi suatu bentuk retorika tersendiri. Retorika ini terulang terus, tersederhanakan dalam pikiran, menghasut pikiran, dan menciptakan ilusi konsensus. Kita tidak menyadari bahwa ini program cuci otak Orde Baru. Kita tidak tahu dan tidak peduli kematian siapa yang tak ditunjukkan. Siapa yang bisa lupa dengan kalimat “Darah itu merah, Jenderal!” atau wajah wanita bengis yang memegang silet? Jika membaca adegan barusan Anda masih bergidik membayangkannya, ini bukti betapa “jeniusnya” Orde Baru beroperasi.

Dalam Djakarta 1966, sosok Suharto masih ditempatkan sama dengan yang ada di Pengkhianatan G30S/PKI. Ia masihlah anak buah Sukarno yang baik hati, penuh pengabdian dan pengorbanan, cinta pada pemimpin maupun pada rakyat dan negerinya. Dilihat dari kacamata model apa saja, figur Suharto saat itu jelas bikin termehek-mehek kalangan pemuda-pemudi Indonesia.

djakarta-1966_01

Para Mahasiswa

Para pemuda-pemudi inilah yang mendapat porsi besar tampil di Djakarta, selain sosok Sukarno dan Suharto yang merupakan tokoh utama Supersemar. Sejak narasi pembuka, mahasiswa-mahasiswi ini diperlihatkan sebagai mereka yang galau berat melihat nasib bangsa dan rakyat Indonesia. Para pemuda-pemudi yang disorot adalah mereka yang berada di bawah KAMI atau Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, sebuah kumpulan organisasi mahasiswa non-komunis yang diantaranya berisi HMI, GMKI, PMKRI, PMII, dan Mapancas. Pada 10 Januari 1966, KAMI menyuarakan Tritura atau tiga tuntutan rakyat: bubarkan PKI, turunkan harga, dan retool kabinet Dwikora.

Dari tiga tuntutan itu, yang menjadi fokus adalah tuntutan pembubaran PKI. Adegan-adegan demonstrasi dan headline koran-koran pada masa itu tumpang tindih dengan suara-suara para demonstran yang terus-menerus menuntut pembubaran PKI.

Di kampus Universitas Indonesia, yang menjadi basis kegiatan aksi-aksi mahasiswa, kamera menangkap kegelisahan dan ketidakpastian yang mewarnai hari-hari itu. Harus diakui, Arifin C Noer mengetahui betul bagaimana memotret kegiatan para mahasiswa yang peduli politik tanpa kehilangan watak keanakmudaannya. Mereka selalu tampak terburu-buru dan dalam keadaan terdesak. Adegan-adegan intens masuk dengan penempatan kamera dan blocking, menyoroti aneka kegiatan yang ditingkahi guyonan gila dan celetukan sinting khas mahasiswa dengan sangat baik.

Mahasiswa-mahasiswi terekam dalam medium shot. Kamera aktif bergerak mengikuti gerak mahasiswa, yang selalu tergesa berjalan dengan muka penuh pikiran dan mulut yang lancar mengeluarkan komentar-komentar politis. Di mana pun di koridor kampus, ditemukan orang yang sedang berbincang, atau frustrasi karena tak juga menemukan kondisi Indonesia yang membaik. Barangkali beginilah Arifin C Noer hendak memotret pemuda-pemudi harapan bangsa: berhubungan erat dengan rakyat dan memikirkan kemaslahatan orang banyak.

Beberapa celetukan atau percakapan yang terjadi—di dalam maupun di luar kampus—meski ingin menunjukkan situasi pada 1966, juga bisa menunjukkan apa yang terjadi pada masyarakat pada zaman Orde Baru. Misalnya, “Pokoknya saya tidak percaya pada partai!” yang terdengar secara sambil lalu dan tetap terburu-buru di dalam kampus UI. Ini senada (dan sudah terjadi) dengan yang diinginkan Orde Baru dan pemerintahan militeristiknya, yang ingin memangkas saluran politik rakyat sehingga massa mengambang yang tak punya kaki dan tangan adalah massa ideal yang dibina Suharto.

Pada masa sekarang, mahasiswa-mahasiswi sudah banyak yang melek politik dan berusaha untuk punya kaki dan tangan dalam bersaluran politik. Tapi kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, kalimat seperti, “Kamu ngapain sih ngomong politik? Aku dong anti,” bisa dan sering diucapkan dengan penuh rasa kebanggaan.

Contoh lain adalah percakapan di kereta tentang seorang ibu yang pergi ke Jakarta karena ingin mencari anaknya yang menghilang sejak “ribut-ribut 30 September.”

“Anak ibu ikut palu arit, barangkali?” tanya ibu lain yang kepanasan di kereta, seperti mau mengatakan kalau sudah terlibat gerakan komunis ya wajar saja hilang. Mungkin diciduk tentara atau dibantai beramai-ramai seperti yang terjadi dengan kurang lebih 600 ribu hingga satu juta penduduk Indonesia lainnya yang dimulai dari Oktober 1965. Ini fakta yang absen dalam film-film sejarah yang diproduksi pada zaman Orde Baru.

“Oh, bukan. Anak saya mahasiswa, bukan kerja,” jawab ibu si pencari anak dengan wajah penuh welas asihnya. Tentu saja para pemain dan pembuat film tidak ada yang tahu bahwa sepuluh tahun setelah film ini dirilis, anak-anak mahasiswa-lah yang jadi korban penculikan, pembunuhan, dan penghilangan paksa oleh pemerintah Orde Baru karena aktivitas mereka berdemonstrasi dan membela nasib rakyat Indonesia.

Melihat poster dan spanduk-spanduk besar dari aksi-aksi mahasiswa di Djakarta 1966, mau tak mau saya terbawa ke dalam suasananya. Yel-yel nyanyian semacam, “Di sinilah di sini kita bertemu lagi. Di sinilah di sini kita bertemu lagi. Ganyang! Ganyang! Ganyang wakil rakyat!” terasa sungguh relevan jika dinyanyikan dan diteriakkan saat ini.

Organisasi-organisasi mahasiswa saat itu terbagi dalam aliran kanan dan kiri. Yang kanan mendapatkan dukungan militer, sementara yang kiri secara independen bergerak dan juga harus berhati-hati, karena histeria dalam masyarakat yang membuat mereka dengan gampang jadi kambing hitam untuk segala kekacauan saat itu. Bahkan tajuk sebuah koran menyebutkan besar-besar bahwa dalang kenaikan harga adalah PKI.

Dalam Djakarta 1966, aliran organisasi mahasiswa yang terbagi-bagi ini digambarkan tanpa bersifat hitam-putih. Biarpun berseberangan, masih ada sisa-sisa kekompakan. Biarpun berada dalam kubu yang sama, toh tetap saja ada konflik dan kekecewaan. Tapi saking tak hitam-putihnya, beberapa hal jadi tampak tak jelas mau bicara apa. Seperti persahabatan antara Hanif (A Nugraha) dan Tohid (Ikranegara) yang belum-belum sudah diwarnai dengan kecurigaan anak-anak kos anggota KAMI, dan konflik antara Barkah (Cok Simbara) teman kos dan kampus Hanif yang anak KAMI dengan Tohid yang masuk kelompok Sukarnois. Terlalu banyak konflik yang mau dijabarkan, tapi masing-masing jalan cerita tak diuraikan dengan jelas. Penonton yang lahir usai jatuhnya Orde Baru bisa jadi akan bingung mengikuti apa yang mau disampaikan pembuat film dengan masing-masing cerita dan potongan-potongan fragmen yang begitu banyak tentang perjuangan mahasiswa ini. Bisa jadi ini cara Arifin C Noer untuk menggambarkan krisis di dalam tiga bulan pada 1966 itu, dengan cara yang terpecah-pecah dan tak membentuk satu kesatuan.

Barangkali karena ini film Orde Baru, mereka yang beraliran kiri tetap wajib tampak sebagai si kalah. Meski bicara dalam rapat penting sebagai sosok idealis bertujuan idealis dengan pemikiran yang idealis dan berguna untuk rakyat pada umumnya, mereka yang kiri pada akhirnya diharuskan bernasib sial: kena tembak secara tak sengaja misalnya. Atau dalam sosok sebesar Bung Karno, harus disingkirkan dalam kudeta sunyi seperti yang disebutkan Kolonel Abdul Latif, komandan pasukan Cakrabirawa dan saksi penting peristiwa 65 dalam pledoi pembelaannya (Anderson, 2000). Begitu sunyinya sehingga tak ada sedikit pun jejak kudeta.

djakarta-1966_02

Para Elit

Bung Karno dalam Djakarta 1966 digambarkan sebagai sosok si Maha Gusar akibat demonstrasi mahasiswa yang tak kunjung reda. Selain itu, demonstrasi ini juga menuntutnya dengan Tritura. Ia bak orang tua yang tak mau dengar omongan semua orang atau permohonan ‘anak kesayangannya’, Suharto. Ia percaya PKI tak perlu dibubarkan. Dalam pembicaraannya dengan si anak kesayangan, ia bilang bahwa membubarkan PKI itu adalah perkara gampang, “tapi “PKI akan jauh lebih berbahaya jika dilarang.”

Bung Karno juga menantang siapapun yang bisa menurunkan harga untuk segera memberinya ide—dan, jika berhasil, akan diangkat jadi menteri. Rasa jengkel dan marah Bung Karno kepada aksi-aksi mahasiswa bercampur dengan ketidakpercayaannya pada orang-orang terdekatnya, terutama tentara. Dalam setiap momen yang dipenuhi rasa tidak percaya itu, pihak yang kelihatannya ia percayai dan sekaligus lindungi adalah orang-orang PKI, misalnya Subandrio. Ini bukan sesuatu mengherankan karena Bung Karno sendiri berideologi kiri meskipun ia percaya ia bisa menggabungkan tiga kekuatan besar saat itu: nasionalis, agama dan komunis (nasakom).

Di sisi lain, si anak yang ‘berbakti’, yaitu Suharto, diperlihatkan sebagai sosok si Maha Baik yang sabar bukan main dan ngemong pada yang tua (Bung Karno) maupun yang muda (mahasiswa). Biarpun si Bung sedang marah-marah, ia bisa menghadapinya dengan tenang dan halus. Suharto juga tampak sebagai fasilitator baik hati, yang menampung segala keinginan yang ‘aman bagi bangsa dan negara’. Kepada Sukarno, ia memastikan bahwa si Bapak tak akan kehilangan mukanya sebagai pencetus NEFOS[i], “Saya sudah pernah menyampaikan pada Bapak: biarlah saya yang dijadikan bumper. Saya yang akan membubarkan PKI. Kelak pada saat yang tepat, Bapak tinggal ngegongi saja.” Ini jadi petunjuk satu-satunya atas alasan diberikannya mandat Supersemar ke Suharto.

Kepada mahasiswa, Suharto berjanji mempertemukan anak-anak muda ini dengan Pemimpin Besar Revolusi. Pertemuan antara wakil mahasiswa dan Bung Karno di istana negara ini dibikin singkat oleh sutradara namun terasa segar dan dalam. Saat Bung Karno protes dengan cara mahasiswa mengadakan aksi, salah satu mahasiswa menyitir pidato-pidato Bung Karno dan poin penting yang ditulis sang presiden dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, untuk menjawab si Bung.

“Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi dikatakan, revolusi yang hanya di atas kertas tidak ada artinya. Revolusi haruslah dibarengi dengan pengerahan massa,” jelas si mahasiswa.

“Itu betul! Tapi itu aku tulis terhadap pemerintah penjajah, bukan terhadap pemerintah bangsa sendiri!” sahut si Bung dengan keras.

“Kalau begitu bukan salah kami, Pak. Karena dalam buku itu tidak ada disebut demikian.”

Bung Karno pun cair dalam tawa disusul tawa mahasiswa dan menteri-menterinya dalam ruangan. Kejadian-kejadian kecil seperti ini beberapa kali muncul dan digarap tuntas dan baik. Contoh lainnya adalah Sukarno yang memprotes baju Suharto yang tak rapi, sampai ia memberikan kaus pada anak buahnya itu dan memberi tips kerapian baju. Adegan ini sanggup menimbulkan haru sesaat.

Kejadian lahirnya Supersemar dimulai dengan Bung Karno memberikan amanat dalam sidang kabinet Dwikora. Di tengah-tengah acara, ia mendapat laporan tertulis dari Sabur bahwa ada pasukan tak dikenal mendekati istana. Demi keselamatannya, ia segera meninggalkan sidang. Bung Karno pun keluar dari istana dengan mengajak Subandrio. Sidang terpaksa dibatalkan.

Suharto yang sedang sakit tak bisa datang bersidang. Ia mendapat kabar batalnya sidang itu dari tiga jenderal, Amirmachmud, Basuki Rachmat dan M. Yusuf dan kemudian mengutus mereka untuk mendatangi Bung Karno di istana Bogor. Bung Karno yang masih diliputi kemarahan dan rasa tak percaya pada Angkatan Darat ini menemui mereka dan menyuruh mereka mengaku saja bahwa mereka menginginkan Sukarno jatuh. Tiga jenderal ini meyakinkan sang presiden bahwa tuduhan itu tidak benar. Kemudian terjadi dialog singkat yang mengarah ke permintaan keluarnya surat perintah.

“Tadi Pak Harto berpesan kalau beliau sanggup mengatasi keadaan kalau Bapak memberi kepercayaan kepadanya,” kata Amir.

“Kepercayaan? Kepercayaan apalagi yang mesti aku berikan padanya? Jenderal Suharto sudah kuberikan jabatan sebagai Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban. Tapi coba lihat sekarang, keadaan makin tidak aman dan makin tidak tertib.”

“Mungkin bisa diberikan kepercayaan lebih lagi, Pak?” tawar Amir.

“Kepercayaan lebih bagaimana? Apa maksudmu?”

“Semacam…” Amir melirik ke kedua rekannya sebelum meneruskan, “surat perintah misalnya, Pak”?”

Surat perintah ini, setelah bolak-balik diperiksa dan diperbaiki konsepnya antara tiga jenderal dengan Sukarno dan para wakil perdana menterinya, diberikan ke Suharto. Ia lantas datang ke markas Kostrad dan menyampaikan bahwa ia sudah mendapatkan mandat dari Bung Karno untuk mengamankan keadaan.

Keesokan harinya, bendera merah putih berkibar dengan wajah-wajah mahasiswa yang bergembira ria karena PKI sudah dibubarkan dan beberapa menteri kabinet Dwikora yang terkait PKI diamankan. Pada 1967, Bung Karno meninggalkan istana negara dan pergi ke istana Bogor untuk menyepi atau untuk ngamandito. Perginya Bung Karno dari istana ini terasa sebagai anti klimaks yang hampa.

djakarta-1966_03

Narasi Sejarah

Demikianlah Djakarta 1966 mengeluarkan kisah Supersemar. Dalam menyajikan cerita, Arifin C Noer dibantu tim penasehat cerita film seperti Bur Rasuanto (yang juga bertindak sebagai penyusun cerita), Goenawan Mohamad, Ismid Hadad, Taufiq Abdullah, dan Taufik Ismail.

Sang sutradara tampaknya tak membuat tafsir sejarah. Ia lebih banyak berusaha menyajikan apa yang memang tercantum sebagai teks sejarah saat itu dan mengambil begitu banyak cerita—yang sifatnya anekdot maupun historis—untuk dimasukkan ke dalam film. Dari demonstrasi mahasiswa sampai cara-cara mereka menggagalkan sidang, kemahagusaran Sukarno dan kemahabaikan Suharto, kericuhan di jalan, kekacauan ekonomi dan politik, sampai ibu yang mencari anaknya yang hilang. Sebanyak itu yang dimasukkan dan tak ada setitik pun cerita tentang Perang Dingin, yang hawanya berpengaruh banyak pada percaturan politik dan ekonomi di Indonesia saat itu.

Kejadian menentukan seperti keluarnya Supersemar juga terasa seperti adegan sambil lalu. Bisa jadi karena adegan ini menyusul di belakang (yang mungkin dimaksudkan sebagai klimaks) namun lalu tenggelam di antara kisah-kisah dan adegan-adegan gelombang demonstrasi dan konflik-konfliknya yang riuh.

Petunjuk awal atas alasan dikeluarkannya Supersemar ini hanya keluar satu kali saja. Itu pun dijubeli fakta sejarah lain tentang ke-koppig-an Suharto, yang sepertinya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah pertama kalinya Suharto gigih berpendirian yang tak sesuai dengan keinginan Bung Karno. Meski gigih, Suharto tetap setia dengan kehalusan dan kesantunannya sebagai seorang putra Jawa.

Kejawaan Suharto ini disiratkan dalam setiap tindak-tanduknya yang diperankan dengan sangat baik oleh Amoroso Katamsi. Ada juga simbol-simbol wayang yang muncul beberapa kali. Embie C Noer memasukkan alunan gending Jawa ke dalam musik latar garapannya yang minim nada. Kekuasaan dalam budaya Jawa disimbolkan lewat sesedikit mungkin aksi yang tampak. Ibaratnya, hanya mengangkat jari sedikit saja, itu sudah cukup untuk menggerakkan rangkaian aksi-aksi yang besar (Anderson, 1990). Kehalusan perintah putra Jawa adalah ekspresi eksternal otoritasnya. Dan prinsip putra Jawa yang ‘halus budi’ dan ‘penuh kekuatan’ inilah yang ditonjolkan di sepanjang film. Meski tidak semeneror dan semenghantui musik latar film Pengkhianatan G30S/PKI, gending Jawa yang terdengar cukup menyimbolkan ‘kehalusan’ si putra Jawa dalam mengakumulasi kekuatannya.

Yang konsisten sejak dari Pengkhianatan G30S/PKI akhirnya adalah bagaimana peristiwa sepanjang 1965-66 tampak sebagai konflik antara rakyat dan PKI, alih-alih konflik yang lebih substansial dan mematikan, yaitu konflik antara TNI dan PKI. Pembubaran organisasi komunis terbesar nomor satu di luar negara komunis ini kemudian menjadi sesuatu yang dituntut sebagian rakyat dan mahasiswa, sementara TNI hadir ‘hanya’ sebagai pendukung aspirasi rakyat. Penampakan yang mulia ini tentu saja menguntungkan citra pemerintahan militeristik yang keluar sebagai ‘pengayom’ masyarakat.

Dari Djakarta 1966, kita tidak bisa mengetahui benar tidaknya kontroversi yang beredar di seputar Supersemar, yang dokumen aslinya tidak bisa ditemukan lagi—entah karena hilang betulan atau sengaja dihilangkan karena memakai kertas dengan kop Mabes Angkatan Darat dan bukan kop kepresidenan. Kita juga tidak bisa menyaksikan benar tidaknya Bung Karno menandatangani Supersemar di bawah todongan senjata seperti yang disaksikan oleh pengawal kepresidenan saat itu, Sukardjo Wilardjito, yang juga digarisbawahi oleh Kolonel Abdul Latief dalam pledoinya.

Yang terasa adalah betapa sumirnya konstelasi politik saat itu. Tidak serta-merta ada dikotomi antara kebencian (kepada PKI) dan pemujaan (kepada TNI), sebagaimana yang terbekukan dalam Pengkhianatan G30S/PKI. Dalam Djakarta 1966, sikap dikotomis ini tidak muncul, mungkin karena film ini beredar dalam waktu yang pendek atau hanya diputar di daerah-daerah tertentu. Juga, tidak seperti Pengkhianatan G30S/PKI, tidak ada penayangan berulang Djakarta 1966 setiap tahun yang membuatnya menempel abadi di benak. Tak ada yang horor dalam Djakarta 1966. Banyaknya cerita yang dimasukkan akan membuatnya sulit diingat seperti kita mengingat horor Pengkhianatan G30S/PKI.

Ada yang bisa direnungkan penonton tentang organisasi mahasiswa atau dinamika organisasi di tubuh mahasiswa. Begitu juga tentang kekuatan rakyat sebagai penekan—meskipun, dalam sejarah, kekuatan rakyat ini sering menguntungkan mereka yang punya agenda taktis, yang sama dengan tujuan jangka panjang yang berbeda sesuai kepentingan politiknya.

Lima puluh tahun sejak 11 Maret 1966, ada di fase manakah kita sekarang? Kita masih berada dalam fase di mana sejarah yang tak komplit dan tak teranglah yang berjaya. Dalam kesupersamaran yang sudah terlalu lama ini, menjadi terang mungkin tantangan berat biarpun itu yang bisa menyelamatkan. Dan untuk bisa menuju ke sana, yang bisa dilakukan pertama-tama adalah kemauan untuk ‘melek’. Dengan kesempatan yang banyak untuk menggali sejarah sendiri saat ini, yang menghindarkan seseorang untuk melihat kebenaran adalah ketidakmauan melihat (denial). Penonton kini punya kesempatan untuk berpikir dan mungkin juga bertanya tentang fakta Supersemar, meski Supersemar dalam Djakarta 1966 tetaplah sebuah hiruk pikuk yang samar-samar. Mau menuju fase yang mana dalam lima puluh tahun ke depan?

Djakarta 1966 | 1988 | Durasi: 127 menit | Sutradara: Arifin C Noer | Penulis: Arifin C Noer, Bur Rasuanto | Produksi: Perum Produksi Film Negara | Negara: Indonesia | Pemeran: Umar Kayam, Amoroso Katamsi, Ikranagara, Cok Simbara, Ratna Riantiarno, A Nugraha, Rachmat Kartolo, Jajang C Noer, Piet Pagau, Tizar Purbaya


CATATAN

[i] The New Emerging Forces yang berelemen progresif sebagai counter dari OLDEFOS atau Old Established Forces yang reaksioner

REFERENSI

Benedict Anderson. Petrus Dadi Ratu. New Left Review #3, May-June 2000.

Benedict Anderson. Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press, 1990.