
Boemboe sudah menginjak usianya yang kedelapan. Semakin kemari, keberadaan Boemboe semakin krusial mengingat konsistensinya dalam menasbihkan diri sebagai ruang diskusi antara para pembuat dan penonton film-film pendek di Indonesia. Ia bukanlah festival di mana orang datang bertukar kartu nama, lima menit bicara film yang dilanjutkan dengan empat jam bergosip. Boemboe adalah ruang kecil yang intim dimana hadirin; para pembuat film, mesti bertanggung jawab mempresentasikan film mereka, serta para penonton film mesti aktif (kurang elok dengan hanya sekedar bilang suka atau tidak suka), sembari memberi umpan balik sebagai penonton yang juga bertanggung jawab. Boemboe Forum menjadi menarik karena tanggung jawab pembuat film dan penonton film dari seluruh Indonesia bertemu dan bercakap-cakap satu sama lain. Tahun ini judul besarnya ialah Boemboe Meeting Point Special Edition, di Jakarta, 9 Juli 2011, dalam rangka sewindu umur forum ini.
Ada enam film yang menjadi tamu, tiga dari Jawa, tiga pula dari Sulawesi. Tahun produksi beragam mulai dari tahun 2009 hingga 2011. Topik yang dijangkau juga beragam dan berpeluang tampil tidak sebagai kode budaya dalam arti yang terlampau luas, tapi cukup untuk menjelaskan fenomena terkini dari perkembangan film pendek di Indonesia yang memang menjadi konsenstrasi Boemboe Forum. Berikut adalah coret-coretan kecil dari film-film yang ditampilkan.
Berhasil tidaknya sebuah pesan.
“Kalau penonton merasa terlalu judgmental terhadap karakter utama film ini, berarti saya berhasil”, ujar Billy Christian, sutradara film Dunia Sempit yang mendapat giliran putar pertama. Dunia Sempit bercerita tentang seorang gadis gembur yang bercita-cita menjadi pewarta mode. Ambisinya itu tersendat secara rutin karena tatapan “tak nyaman” orang lain terhadap tubuhnya. Celakanya, si gadis pun menganggap tubuhnya tak lebih baik dari anggapan orang-orang tersebut . Belum lagi sudut pandang kamera (dan penonton) yang ditempatkan menjadi begitu menghakimi, yang konon menjadi ukuran keberhasilan pesan sang sutradara.
Dunia Sempit melempar ingatan pada karya-karya awal Jean-Pierre Jeunet seperti Delicatessen (1991). Aroma ekspresionisme yang buram dipadukan dengan karakter komikal yang tak kalah gamang. Saya pribadi pasrah bila sutradara mengakui bahwa penghakiman penonton terhadap Arie –karakter utama- adalah salah satu tujuannya, sebab harus diakui memang itulah satu-satunya impresi yang melekat pada paruh pertama film berdurasi 24 menit ini.
Hanya saja, usaha advokasi yang dilakukan Dunia Sempit terhadap gadis-gadis golongan gembur tidak berhasil sesuai dengan resep verbal yang diucapkan si karakter yakni “Cantik itu dari hati dan pola pikir”. Resep yang menipu sebab penebusan-penebusan yang dilakukan Arie ternyata lebih tercermin pada produk-produk hits-kapitalistik yang ia kenakan: baju, kosmetik, sepatu, dan lain sebagainya. Sedikit trenyuh mendapati fakta bahwa masalah eksistensial yang tak dapat dinegosiasikan (sebab bemuasal dari perihal tubuh yang terberi) terbayar lunas hanya dikarenakan produk-produk pasar tertentu. Bolehlah kita melirik tajam pada Biore sebagai pendana proyek ini.
Pernyataan lain dari Billy adalah bahwa sutradara, penulis, dan produser Dunia Sempit kesemuanya laki-laki yang berimplikasi pada lansiran bahwa sudut pandang dalam film ini tentu saja didominasi pula oleh sudut pandang laki-laki. Ini menarik, ada dua macam tatapan (gaze) yang bisa didalami. Pertama, tatapan internal yang terjadi di dalam film. Secara naratif, ada tiga tokoh laki-laki dalam film ini yakni Dito -teman kecil Arie, Lelaki penjual es krim, dan ayahanda Arie. Secara ironis, ketiga tokoh laki-laki ini tidak pernah punya pandangan intimidatif pada Arie karena tubuhnya yang tambun. Dito sejak awal film diperlihatkan berusaha berkomunikasi dengan Arie namun belum kesampaian. Mas-mas penjual es krim selalu melayani Arie dengan senyum ramah sembari mendesis gemulai “Silahkan”. Adapun ayahnya menjadi (tampak) skeptis bukan karena Arie bertubuh subur, melainkan karena ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Tak ada male gaze yang intimidatif dalam narasi film ini.
Ironisnya, tatapan internal yang intimidatif itu justru berasal dari karakter perempuan. Semua perempuan (kecuali kelompok Big-Size) tampak tak suka dengan Arie dikarenakan badannya yang besar. Apa ini sebenarnya? Apakah hal tersebut dibuat karena memang perempuan tambun lebih banyak dicemooh oleh teman-temannya sesama perempuan ketimbang oleh teman yang laki-laki? Atau cerita film ini menjadi demikian karena ketiga konseptornya adalah laki-laki yang ingin “mengamankan posisi”?
Satu-satunya kesempatan untuk mengintimidasi karakter utama adalah melalui tatapan eksternal oleh penonton. Tatapan ini sangat dipengaruhi oleh jalinan konflik yang rapat dan kesemuanya berkaitan dengan nasib Ari sebagai gadis keberatan badan. Bagi penonton, tatapan intimidatif dan bayaran yang tak impas (sebab hanya ditebus oleh produk kapitalistik) sontak menjadi kegusaran tersendiri.
Cerita ataukah modus bercerita?
Karya kedua berasal dari Sinematografi Universitas Airlangga, tentang seorang pria plontos yang bangun hanya dengan celana cawat, uang lima ratus perak, dan selarik nomor telepon. Lelaki ini semi-lupa ingatan, sebab ia tiba-tiba tak tahu siapa dirinya tapi masih ingat dimana Stasiun Gubeng berada. Judul filmnya Mampus 2: Hilang, sebuah judul yang diperkenalkan secara pantas lewat adegan pembuka tadi.
Salim –si plontos- harus berkejaran dengan waktu, naik turun kereta, dari rumah ke rumah, untuk menemukan siapa dirinya sebelum tenggat waktu misterius di tangannya terlampaui. Mungkin mirip dengan kasus Colter Stevens dalam film Source Code.
Yang paling kentara dari film Mampus ini adalah konvensi genre yang mutlak berasal dari tontonan-tontonan seru a la Hollywood. Durasi shot rata-rata (Average shot length) yang pendek, kamera tak stabil yang tampak setengah mati mengikuti tokoh yang asyik-masyuk berkejar-kejaran, serta tentu saja dentuman musik nan meriah, membuat penonton tak punya pilihan lain selain kembali mengingat film-film arus utama dari negeri Paman Sam.
Pertanyaan tentang jati diri sangatlah menantang untuk dijawab dalam waktu dua puluh menit, apalagi dengan teknik bercerita flashback yang sarat tuntutan fungsional. Setiap kemunduran waktu harus bisa menceritakan apa yang terjadi sekarang (alur mundur sebagai syuzhet, berfungsi untuk menjelaskan fabula)[1] kemunduran selangkah demi selangkah dalam Mampus mengingatkan kita pada petualangan Memento dengan tingkat efektivitas bercerita yang tentu saja jangan dibandingkan.
Bagi saya, Mampus adalah visual trance yang sangat stilistik. Jaka Wiradinata dan kawan-kawan menempatkan gaya (style) dan bentuk (form) sebagai yang lebih utama ketimbang cerita yang ingin disampaikan. Kita lebih mudah terbawa oleh gaya yang rampak dibanding mengamati penggambaran ironis Bonek yang santun dan berakhlakul karimah. Celakanya, memang cerita yang dibawakan tidak sekuat modus penyampaian yang ditampilkan. Konvensi genre Hollywood digunakan film ini untuk mencapai titik kulminasi berupa melankolia lokal: sedu sedan sebab hamil sebelum menikah.
Ada beberapa konsekuensi yang harus dihadapi oleh film-film semacam Mampus. Pertama, penonton akan sangat fokus ketika menonton sebab emosi mereka dengan gampang tercerabut dan tersedot ke dalam gaya film yang tegas. Satu komentar potensial yang akan keluar dari mulut penonton mengenai film semacam ini adalah “Seru,” filmnya memang seru untuk ditonton.
Kedua, dengan motivasi cerita yang tak sekuat gayanya, lima menit setelah keluar dari bioskop, penonton akan melupakan film ini dan dengan mudah beralih pada hal lain. Seminggu kemudian, ketika ditanya, kemungkinan besar penonton akan menjawab “Mampus itu ya film kejar-kejaran gitu deh”. Penonton akan lebih teringat pada gaya ketimbang pada cerita, sebab gayalah yang sangat diperhatikan dan digarap dengan sepadan oleh pembuat filmnya. Film macam Mampus kurang efektif untuk menyampaikan pesan, kecuali si penonton adalah seorang cenayang visual.
Kesebelasan idola yang urung datang
Paotere, diambil dari nama sebuah pelabuhan perahu di Makassar, adalah satu dari sangat sedikit eksperimentasi direct cinema dalam jagad film dokumenter Indonesia. Tradisi direct cinema, meskipun seringkali dicampur-adukkan dengan konsep cinema verité, adalah sebuah tradisi yang kuat dan telah luas dianut. Salah satu pemanggulnya adalah sineas Frederick Wiseman, yang premis-premisnya diwarisi oleh para pembuat dokumenter baru (New Documentary Movement) dari China seperti Wang Bing dan Lixin Fan. Wang Bing biasanya merelakan durasi filmnya membengkak menjadi sembilan jam demi agar prinsip-prinsip direct cinema itu bisa diterapkan secara utuh.
Dalam Paotere, kamera ditempatkan pada level pandang anak-anak untuk memotret dua orang yang diikuti kehidupannya selama dua bulan: Reza dan Arfah yang sehari-hari bekerja di pasar ikan. Mereka menabung demi cita-cita, membeli sepatu bola dan baju koko. Ada penekanan dramatis yang sangat fungsional meskipun film ini tak menggunakan wawancara. Pertama kali, Reza dan Arfah menyambangi pasar untuk membeli baju koko namun uang mereka belum cukup. Impian mereka tertambat pada celengan tanah liat yang harus segera ditambah isinya demi mewujudkan impian, itulah muasal konfliknya. Ketika sedang giat-giatnya, heroisme anak-anak Reza terusik ketika Bom Kuningan meletus dan kesebelasan Idolanya, Manchester United, gagal bertandang ke Jakarta.
Meskipun tampak tak berhubungan, heroisme anak-anak dipotret dengan begitu jujur oleh Paotere. Dulu, ketika Susi Susanti berhasil split di Olimpiade Barcelona 1992, satu Indonesia mengidap demam bulu tangkis yang nyata. Sewaktu pasangan Tony Gunawan dan Chandra Wijaya meraih medali emas di Olimpiade Sydney 2000, entah kenapa di kampung-kampung juga ikut menjamur pertandingan bulu tangkis. Urungnya kedatangan MU menjadi kejadian kecil yang memantik heroisme si anak untuk segera membeli sepatu bola. Bom Kuningan yang disisipkan pembuat film berfungsi sebagai persimpangan ganda baginya, berhenti menabung atau justru semakin giat. Ia memilih pilihan kedua.
Kelebihan direct cinema adalah ia bisa memotret realitas dengan intervensi seminimal mungkin. Supervisi Leonard Retel Helmrich atas sutradara Andi Arfan Sabran tampak berhasil di sana sini. Dalam benak saya, bila bukan sutradaranya yang apik memilih tema, maka supervisi ketat Helmrich telah menjadi kunci utama keberhasilan film ini.
Menyoal realitas yang terpotret dalam film dokumenter memanglah runyam. Sejak pertengkaran klasik André Bazin dengan Rudolf Arnheim, sampai pada pertengkaran terkini Noël Carroll kontra Slavoj Žižek, tak pernah terlahirkan definisi tunggal mengenai realisme dan bagaimana wujud aslinya tampak dalam sinema. Realisme tetaplah bergentayangan dibelakang wacana-wacana teoritis; sebagai hantu. Akan tetapi dalam Paotere, saya terhenyak sebab menemukan kembali premis dialektika gambar yang begitu Eisenstenian.[2] Bahwa gambar bergerak pada dasarnya bicara karena dialektika, dan Paotere menggunakan dialektika itu untuk merumuskan objektifitas yang seukuran dengan filmnya sendiri.
Tesis dalam Paotere terletak pada eklektisisme tema yang dipilih, yakni ambisi mungil Reza dan Arfah untuk membeli baju koko dan sepatu bola. Setiap shot haruslah dikondisikan untuk mendukung progresi dramatis dari perjalanan ambisi ini, terlepas dari berhasil ataukah tidak. Antitesisnya terlihat pada metode pemilihan singe-shot cinema[3] yang sangat mengandalkan satu pengambilan gambar ketimbang memotongnya. Eklektisisme tema tentu saja ironis dengan teknik single-shot yang justru membatasi pilihan para pembuat film. Kerja kreatif Andi Arfan dan Leonard Hemrich berhasil menemukan objektifitas dalam ukuran mereka sendiri, yakni sintesa dari eklektisisme tema dan metode single-shot.
Beginikah Yasmin Ahmad waktu mula-mula?
Fullan (atau ‘Fulan’ dalam bahasa Arab, yang artinya orang tak bernama –nameless man) duduk-duduk di depan komputer sehabis mandi sore. Azan menyentakkannya untuk segera bangun dan berjalan ke masjid. Apes, baju kokonya lenyap dari jemuran, akhirnya ia pakai kemeja. Dalam perjalanan ke masjid, tatapannya bertemu dengan perempuan ayu tak jauh dari rumahnya, ada impresi “cess!” yang jujur dan polos dari slow-motion yang sontak disambut penonton dengan sorakan “Cieee!”
Di tengah jalan, Fullan harus merelakan sarungnya pada seorang yang mandi tapi lupa bahwa handuk. Jadilah ia sampai ke masjid dengan celana selutut. Seusai sholat, Fullan terkejut karena baju kokonya yang hilang tampak mirip dengan yang dipakai lelaki yang berdiri tepat di sampingnya. “Dilema keimanan,” sebut Nayla Majestya dari Klub Kajian Film IKJ menanggapi tekstur dasar film yang berjudul Fullan ini.
Modal besar dari Fullan adalah kejujuran dalam bercerita, bahwa islam-kafir tidak harus selalu menyangkut pertentangan hitam-putih. Bahwa ada juga orang yang ingin kenal tuhan tanpa harus menghitamkan jidat dan mengkafirkan festival film. Ada juga orang yang ingin jatuh cinta lewat satu-dua tatapan yang terkenang selamanya. Adegan ibadah sosial yang dilakukan sembari berjalan ke masjid melontarkan saya pada serpihan-serpihan kecil dalam film Gubra (2004) karya Yasmin Ahmad.
Yang kurang-kurang mungkin adalah efektifitas bercerita. Informasi yang disampaikan dengan cara ganda dan bertumpuk-tumpuk kadang membuat penonton dihina kecerdasannya, atau bahkan membuat sebuah film merendahkan kapasitasnya sendiri. Ada sudut pandang yang juga ditimpali dengan voice-over yang mengindikasikah hal yang sama, salah satu saja kan bisa. Ada pula shot yang tak-ada-pun-tak-apa-apa, seperti shot kaki Fullan yang mencopot sandal lalu menggaruk kaki sebelahnya karena gatal. Tak ada informasi dan fungsi naratif apapun yang tersempil di sana.
Padahal, film Fullan memperkenalkan karakternya dengan cara yang sangat baik. Ketika Fullan sedang bermain komputer, kamera bergerak ke atas secara diagonal dan memotret buku-buku di rak. Paling bawah ada novel Blink karya Ted Dekker yang mengisyaratkan bahwa Fullan yang taat beribadah juga adalah orang yang sangat terbuka pada pemikiran barat, ia bukanlah seorang homophobic. Di atasnya ada buku Otonomi Daerah, yang mengisyaratkan bahwa si tokoh tidak merem terhadap lingkungan. Barulah pada tingkat paling atas, kita melihat map berlogokan sebuah Bank Syari’ah yang mengandung affirmasi bahwa si tokoh adalah seorang muslim tulen, dari situ cerita berjalan. Saya bertepuk tangan dalam gelapnya ruang menonton.
Sesuatu bisa menginspirasi tanpa harus menjadi naif; positif tanpa harus menegasikan yang lain; benar tanpa harus menjadi satu-satunya. Itulah kekuatan utama film-film Yasmin Ahmad, yang terpercik sedikit, sengaja atau tidak, pada film Fullan karya Ancha Latief yang berasal dari Palu.
Ambisi teknis sebagai motivasi utama
Karya berikutnya adalah Cuma 5 Ribu yang juga berasal dari kota Palu. Pembuatnya ialah Yusuf Radjamuda yang juga berporfesi sebagai PNS juga mantan anak band cadas. Kecadasan itu mungkin yang memodali cerita yang sebenarnya “hanya” menyangkut kepedulian antar sesama anak jalanan.
Latar belakang fotografi sangat kelihatan pada karya Yusuf, saya curiga bahwa ambisi untuk menggunakan jenis kamera yang ia inginkan datang jauh hari sebelum ide cerita Cuma 5 Ribu didapatkan. Film tersebut mengandalkan kekuatan fotografi yang tergila-gila pada selective focus yang sedang hits dalam dunia fotografi.
Kematangan teknis dikondisikan untuk mendukung cerita yang nampak kabur. Konsentrasi pada sisi teknis ini membuat audiens film Cuma 5 Ribu juga menjadi sangat selektif. Orang-orang yang terpancing untuk mengomentari dan bertanya tentunya adalah orang yang juga mengerti hal-hal teknis yang sebagian besar berasal dari orang-orang produksi. Selebihnya tentu akan lebih mengomentari elemen kekerasan fisik yang dipakai dalam film. Celakanya, ada yang hanya mengomentari kekerasan tanpa mengacu sama sekali filmnya. Itulah memang resiko film dengan kapasitasnya untuk bicara mengenai isu yang beragam.
Kembali pada film, saya kira ia (sadar tidak sadar) telah ambil bagian dalam wacana penyampaian kekerasan yang pada kurun terakhir memang cukup ramai diangkat oleh para sineas Asia Tenggara, terutama Filipina (biasanya dipadukan dengan cerita tentang kemiskinan), salah satu pembuat film yang representatif atas tema-tema ini adalah Brillante Mendoza, yang terakhir memenangkan penghargaan sutradara terbaik di Festival Film Cannes untuk filmnya, Kinatay (2009).
Apa yang spesial dari penampilan kekerasan? Sebenarnya tak ada yang bisa diprotes dari kekasaran-kekasaran ala Cuma 5 Ribu, sebab bagaimanapun, kita tak bisa memungkiri bahwa kekerasan itu ada meskipun ia tak diinginkan. Belum lagi Palu yang selama ini sangat dekat dengan episentrum konflik baik etnis maupun agama yang riuh semenjak satu dasawarsa terakhir. “Memotret,” bagi saya, juga adalah fungsi sinema yang tak kalah kuat, jauh lebih kuat dari fungsi klisenya sebagai pendidik atau penyampai pesan moral.
Yang saya khawatirkan, modus penyampaian kekerasan dalam sinema yang meluas akan menjadi tren dan dibuat eksotis, seperti yang terjadi di Filipina. Seperti juga yang terjadi pada potres seksualitas dalam film-film Indonesia tahun 1980-1990-an. Apabila kemudian kekerasan dipandang sebagai sebuah pesona tersendiri dalam sinema Indonesia, bukan hanya dampak tekstual yang akan terjadi, melainkan juga implikasi kontekstual yang berpengaruh pada banyak sekali ruang budaya di dalam masyarakat kita. Semoga tidak terjadi.
Menawar untuk diisap: seni kriminal yang jenaka
Komedi bisa dijadikan komentar sosial, hal itu disadari benar oleh Tumpal Tampubolon. Berbekal sebuah artikel pinggiran dari secari koran periferal, ia membuat Mamalia. Film Pendek tentang perempuan yang merelakan payudaranya dihisap oleh para tukang ojek. Anehnya, abang tukang ojek seketika lemas lalu pingsan. Usut punya usut, si payudara telah disepuhi semacam racun yang menidurkan. Dari situlah si perempuan membawa lari motor abang tukang ojek. Modus kriminalitas yang absurd, tapi terbukti ada di Indonesia.
Mamalia adalah satu bagian dari omnibus Belkibolang yang dibikin sembilan pembuat film bukan-pemula-tapi-belum-juga-terlalu-hits Indonesia, seperti Anggun Priambodo, Edwin, Ifa Isfansyah, dan Tumpal sendiri. Belkibolang sempat diputar di berbagai festival dan bioskop baik di dalam dan luar negeri.
Mamalia adalah film yang menggali humor maupun pucuk-pucuk kesadaran penonton. Pertanyaan-pertanyaan seperti “Kok bisa, ya?” atau “Ada, ya?” dengan sendirinya muncrat di sela-sela tawa tak nyaman penonton. Satu adegan yang sering menjebak adalah adegan “hisap-menghisap” yang lebih menarik perhatian ketimbang logika naratifnya yang lebih berharga untuk dipertanyakan. Seperti misalnya kenapa seorang yang jatuh dari motor harus mencari sandalnya dulu ketimbang bertanya dimana gerangan motornya? Atau kejadian apa gerangan yang baru saja terjadi? Kenapa pula motor harus berhenti ketika seorang pembonceng ingin mengucapkan sesuatu yang penting pada orang yang ia bonceng?
Mamalia adalah bentuk konsistensi Tumpal dalam berkarya (sejauh ini). Ia selalu mengusung ketawa-ketawa-aneh dalam setiap filmnya, seperti juga dalam The Drum Lesson dan Last Believer. Pada fase menonton karya-karya yang setahap dengan karya Tumpal, ada pertanyaan besar yang tertahan, “Kapan ia membuat film panjang pertamanya?,” sebab tentu akan menjadi pilihan yang manis di sela komedi seks dan horor latah yang menyelimuti layar bioskop-bioskop kita. Sebuah pertanyaan yang dijawab tumpal dengan gamang, “Ini [membuat film] hobi atau profesi? Saya juga belum memutuskan, hidup memang berat,”. Mendengar pernyataan itu, seperti juga menonton Mamalia, secara aneh memancing kita tertawa.
[1] Syuzhet adalah rentetan plot yang terjadi dalam dunia (dengan segala hukum alamnya). Dunia itu disebut fabula. Istilah ini berasal dari para teoritikus ilmu puitik terutama Tzvetan Todorov. Lihat David Bordwell, Three Dimensions of Film Narrative dalam Poetics of Cinema (2008). Hal 85 – 133.
[2] Terminologi “Eisensteinian” saya jumput dari nama sutradara dan teoritikus film klasik dari Rusia yang memperkenalkan konsep dialektika gambar, Sergei Eisenstein. Lihat Louis Giannetti (1971)
[3] Single Shot Cinema didefinisikan sebagai “a way of filming that ables you to shoot a scene in one single shot using just one camera moving flexible in order to have all the different camera angles that expresses your personal feeling and perception of that moment.” Lihat http://www.singleshotcinema.com/ (diakses tanggal 10 Juli 2011)