Dua puluh tahun lalu, ketika mendengar nama ‘Boy’, tentu tidak sedikit yang histeris membayangkan Onky Alexander, aktor kenamaan era 80-an yang ada di balik tokoh Raden Mas Probo Aryo Djoyodiningrat. Kini, ‘Boy’ menjadi sapaan akrab yang kerap digunakan untuk menunjukkan kedekatan pada orang-orang terdekat di dalam inner circle pertemanan para kaum muda. Dihadirkan kembali ke layar lebar oleh sutradara Putrama Tuta, Boy seperti dibangkitkan dari kubur dan dihadirkan layaknya teman yang sudah lama menghilang, tetapi selalu diingat dalam lingkup pergaulan. Setelah dua tahun pasca dikabarkan akan membuat ulang franchise yang sukses mengangkat nama-nama seperti Btari Karlinda, Meriam Bellina dan Didi Petet, Catatan Harian Si Boy akhirnya dirilis juga dengan gaung yang tidak ada habisnya. Apakah benar publik segitu merindukan kehadiran Catatan Si Boy di zaman social media ini? Apakah publik juga siap menerima perubahan yang terjadi pada Boy, sosok laki-laki sempurna yang konon membius lewat lima film sebelumnya?
Boy hadir dalam sosok yang berbeda dalam film terbarunya ini. Jangan harap ada Onky Alexander, dengan mobil BMW seri tahun 80-an sambil menenteng jaket kulitnya, berkeliaran di film Catatan Harian Si Boy ini. Sosok klimis ini sudah tergantikan oleh sosok Satrio (Ario Bayu), yang lebih kucel dan jauh dari kesan dandy. Satrio tidak muncul sendiri. Ada juga Nina (Poppy Sovia) bos sekaligus sahabat Satrio di bengkel tempat ia bekerja, Andi (Abimana) laki-laki konyol yang selalu diandalkan sebagai wingman Satrio, Heri (Albert Halim) tokoh yang mungkin mengingatkan kita pada sosok Emon (Didi Petet).
Satrio dan Boy mungkin sebenarnya tidak ditakdirkan bertemu. Boy dan Satrio tidak berada dalam cerita yang sama. Mereka seolah terpisah jarak dan waktu. Satrio seperti berperan sebagai penyambung jarak waktu yang ada antara kisah Boy di masa lalu dan realita yang terjadi saat ini. Sosok masa lalu diwakili oleh Nuke, mantan kekasih Boy yang sekarat dan diduga bisa membaik ketika ia bertemu dengan pujaan hatinya. Satrio dan teman-temannya tidak pernah punya urusan dengan Boy atau catatan harian yang dipegang Nuke selama ia sekarat. Pertemuan tidak disengaja antara Satrio dan Tasha (Carissa Puteri), anak Nuke, yang membuat Satrio dan Boy akhirnya bertemu. Satrio muncul sebagai tokoh heroik yang ingin memenangkan hati Tasha, yang ketar-ketir menunggu nasib kepulihan ibunya yang tak kunjung muncul.
Sepanjang film, Boy adalah tujuan utama yang dinanti di akhir cerita. Konflik cinta segitiga Satrio-Tasha-Nico, kebimbangan perasaan Nina-Satrio, kesetiaan sekaligus kekonyolan Andi-Heri, dan konflik keluarga Satrio yang masih belum bisa berdamai dengan ayahnya yang ada di penjara, seperti menjadi kisah yang bisa ditebak, dan menjadi bumbu yang klise dalam drama keluarga dan pertemanan ini. Dengan setting tahun 2000-an, Catatan Harian Si Boy menjadi film yang bisa diterima lewat celetukan-celetukan konyol dan terdengar natural, atau tokoh-tokoh yang terlihat akrab satu sama dengan karakter yang masing-masing sama kuatnya. Dalam usahanya menemukan Boy, Satrio sungguh terlihat mengeluarkan energi dan pesonanya 100% agar bisa mencapai posisi heroik di mata Tasha maupun penonton. Satrio memang bisa meluluhkan hati Nina yang terkesan judes dan sinis, mampu menghajar habis Nico, pacar Tasha yang cemburuan, sampai akhirnya menemukan Boy dan membuatnya tunduk melakukan akan apa yang Satrio inginkan. Sayangnya, Satrio tetap bukanlah pahlawan bagi penonton Catatan Harian Si Boy yang sudah rela duduk manis selama 98 menit.
Tanpa embel-embel Boy, Satrio dan gengnya mungkin hanya sosok muda masa kini yang sedang giat mengejar mimpi dan mencari cintanya. Dalam keakraban lima sekawan ini, mereka mencoba mencari cinta dalam hubungan persahabatan yang sudah layaknya keluarga. Mereka berperan sebagai keluarga bagi masing-masing temannya, menjadi payung yang siap meneduhkan atau melindungi kala badai. Eksistensi pertemanan mereka terkadang menjadi sosok yang lebih signifikan dari keluarga biologis itu sendiri. Mereka berjuang menjadi pahlawan bagi sahabat-sahabatnya yang idealnya dilakukan bahu membahu. Lagi-lagi, Satrio mendominasi posisi tersebut, posisi yang selalu mendapat aplaus dan puja-puji setelah berjuang dengan keringat dan juga darah. Satrio sukses memerankan pahlawan bagi mereka yang berada di eranya, mereka yang ada di dekatnya. Satrio dan kawan-kawan dalam keseluruhan film sukses membangun kisah yang dramatis, lugas, dan juga lucu secara bersamaan. Sayangnya, tokoh yang dinanti memang hanya Boy. Sempat dimunculkan di awal film, adrenalin yang sedari awal disiapkan untuk tokoh utama dalam lima film terdahulu ini memang dipicu untuk menunggu kehadirannya kembali di akhir film. Sebesar apapun usaha Satrio dan kawan-kawannya, tetap saja perhatian utama hanya ada pada Boy.
Kemunculan Boy di hadapan Tasha dan Nuke inilah yang akhirnya menjadi puncak kemenangan dalam drama film ini. Bukan heroisme Satrio yang menimbulkan decak kagum penonton karena sukses menghadirkan kembali Boy dalam hidup Nuke, namun kebesaran hati Boy memutar balik memori indah bersama Nuke yang membuatnya menyandang gelar jagoan. Layaknya gentlemen agreement, Boy memenuhi janjinya untuk muncul di mata penonton, yang sudah dijanjikan dalam judul film akan bertemu Boy yang sudah menghilang dua puluh tahun lebih. Meskipun konon Boy sudah berubah, namun di dalam kepala penonton Boy tetaplah sama, sosok yang selalu menempati fantasi dan euforia masa remaja masa lalu. Boy adalah sosok yang membuat bertanya-tanya sampai akhir cerita. Apakah Boy benar-benar ada? Penonton pada akhirnya memang hanya menunggu kehadiran Boy, daripada sekadar alur drama kehidupan Satrio yang dimunculkan lewat era yang lebih modern. Tanpa perlu banyak kata-kata jenaka, wajah penuh oli atau keringat, adu otot atau adu balap, Boy tetaplah yang dinanti karena dia yang jagoan. Oh Boy, Siapa tak kenal dia?
Catatan Harian Si Boy | 2011 | Sutradara: Putrama Tuta | Negara: Indonesia | Pemain: Ario Bayu, Carissa Puteri, Poppy Sovia, Abimana, Paul Foster, Albert Halim, Onky Alexander