Bekal dari Rumah
Sepuluh hari di Berlinale terasa seperti pulang kampung. Festival berusia 63 tahun itu memuat banyak hal yang mengingatkan akan rumah. Pertanyaan yang paling lazim saya terima: “Do you like The Raid?” Saya curiga, saking populernya film laga besutan Gareth Evans itu, jangan-jangan semua orang Indonesia yang hadir di Berlinale kali ini juga dapat pertanyaan serupa. Menurut Tommaso Tocci, seorang pengurus Berlinale Talent Campus, Indonesia mungkin sedang mengalami apa yang India alami ketika Slumdog Millionaire menang Oscar beberapa tahun silam. Orang India yang berkunjung ke luar negeri pasti ditanya soal film arahan Danny Boyle itu.
Pertanyaan lain yang cukup sering saya dapati: “Is The Act of Killing a true story?” Banyak pengunjung Berlinale yang terkaget-kaget menonton dokumenter Joshua Oppenheimer itu. Kebanyakan tidak menyangka kalau tragedi sekejam dan se-tidak-manusiawi pembantaian 1965 pernah terjadi di muka bumi ini, lebih-lebih bumi Indonesia, tanah yang banyak orang kenal dari Pulau Bali saja. Beberapa curiga (bahkan berburuk sangka) kalau Oppenheimer sebenarnya terlalu mendramatisir kejadian-kejadian dalam dokumenternya, mengingat dia adalah orang asing yang meneropong perisitiwa dalam negeri Indonesia. Apapun pendapat orang-orang, The Act of Killing terbukti cukup berkesan bagi pengunjung Berlinale tahun ini, sampai-sampai film itu dinobatkan sebagai penerima Panorama Audience Award.
Saya sendiri ada di Berlinale karena Talent Press, program pelatihan kritikus dan jurnalis film yang berlangsung sepanjang festival, 7-17 Februari 2013. Talent Press merupakan bagian dari Talent Campus, rangkaian kelas dan forum diskusi untuk berbagai lini perfilman, meliputi produksi, distribusi, dan apresiasi. Setiap tahunnya, Talent Campus menerima ribuan pendaftar dari berbagai negara, yang kemudian disaring hingga 200-300 peserta saja. Talent Press sendiri biasanya melibatkan 8-10 peserta dalam setiap penyelenggaraannya. Peserta Talent Press tahun ini adalah: Ariel Esteban Cayer (Kanada), Tom Cottey (Inggris), Juan Carlos Fangacio Arakaki (Peru), Sihle Mthembu (Afrika Selatan), Ankur Pathak (India), Višnja Pentic (Kroasia), Irina Trocan (Rumania) dan saya sendiri. Sihle, sayangnya, batal bergabung akibat visa yang tak kunjung keluar.
Tahun 2013 ini merupakan penyelenggaraan kesepuluh Berlinale Talent Press. “Selama satu dekade ini, Berlinale Talent Press sudah menghasilkan hampir seratus alumni, generasi baru jurnalis dan kritikus film,” tutur Klaus Eder, sekretaris FIPRESCI (asosiasi kritikus film sedunia), saat acara pembukaan, “Saat Talent Campus pertama kali diadakan tahun 2003, beberapa orang bertanya, kenapa cuma ada pendidikan untuk produksi film saja? Mana untuk kritik film? Sinema tak bertumpu pada produksi saja, tapi juga apresiasi dan kritik film. Hal-hal itu juga harus diperjuangkan supaya tercipta perfilman yang seimbang. Jadilah, kami merumuskan dan mengadakan Talent Press di tahun berikutnya. Dan sekarang, hadirlah kalian, generasi kesepuluh Talent Press.” Beliau tiba-tiba melihat ke arah saya. “Kamu yang dari Indonesia, mungkin kamu kenal yang namanya Lisabona Rahman. Dia adalah satu dari sepuluh peserta Talent Press edisi pertama.”
Saya kenal betul nama itu. Faktanya, Lisabona Rahman adalah salah satu alasan kenapa saya mendaftar Berlinale Talent Press. Tulisan-tulisan Lisa di Jakarta Post, bersamaan dengan buku JB Kristanto Nonton Film Nonton Indonesia serta berbagai artikel terbitan Rumah Film dan Jurnal Footage, mencerahkan saya akan perlunya kritik film sebagai salah satu pilar perfilman. Alasan lainnya adalah Elida Tamalagi dan Makbul Mubarak, sobat karib dan rekan kerja di Kinoki, bioskop alternatif yang beroperasi di Yogyakarta dari tahun 2005 sampai 2011. Keduanya juga alumni Berlinale Talent Campus: Elida sebagai produser di tahun 2010, Makbul sebagai kritikus film di tahun 2012. Bagi mereka, Berlinale Talent Campus membuka banyak kesempatan untuk membangun jaringan kerjasama di tingkat global, baik untuk bertukar ide maupun sumber daya. Hati saya pun terketuk.
Total, termasuk saya, ada empat perwakilan Indonesia di Berlinale Talent Campus 2013. Ada Sidi Saleh dan Edward Gunawan yang mendaftar sebagai sutradara, ada pula Amalia Trisnasari yang mendaftar sebagai sinematografer. Dari tahun 2003 sampai dengan tulisan ini dibuat, ada 23 pekerja dan pegiat film Indonesia yang pernah singgah di Berlinale Talent Campus.
Apa Itu Kritik Film?
Hari pertama, yakni 8 Februari 2013, diisi dengan sebuah diskusi panjang. Ada Oliver Baumgarten dan Aily Nash, pengurus Talent Press, yang berperan sebagai moderator. Ada pula para pemateri: Chris Fujiwara (editor jurnal film Undercurrent dan direktur artistik Edinburgh Film Festival), Dana Linssen (editor majalah De Filmkrant), Derek Malcolm (kritikus film London Evening Standard dan The Guardian), serta Stephanie Zacharek (jurnalis Film.com dan kritikus film Village Voice). Tajuk diskusinya: Film Criticism versus Film Blogging.
Stephanie membagikan dua contoh tulisan ke para peserta. Keduanya tentang Zero Dark Thirty, film Kathryn Bigelow, yang waktu itu sedang ramai diperbincangkan karena temanya yang kontroversial: pencarian Osama Bin Laden oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat. Satu tulisan merupakan resensi di New York Times, satu lagi tulisan di suatu blog pribadi. Nama masing-masing penulis disamarkan. Para peserta diberi waktu lima menit untuk membaca kedua tulisan tersebut, kemudian masing-masing dari kami diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan. Apa perbedaan paling mendasar dari kedua tulisan itu? Mana yang lebih kuat dalam menyampaikan gagasannya? Mana yang lebih lekang waktu untuk dijadikan rujukan di masa mendatang?
Diskusi yang seru pun berlangsung. Irina merasa kalau tulisan blog ini terlalu banyak berpijak pada opini, terlalu ingin mengedepankan ‘saya’ ketimbang ide-ide yang terukur. Tom berpendapat lain; personalitas tulisan blog itulah yang menjadikannya lebih emosional, lebih cepat mengena, lebih mudah dijadikan sebagai alat advokasi. Baginya, resensi New York Times itu terlalu dingin, terlalu sopan, terlalu dibatasi oleh kepentingan-kepentingan editorial. Ankur dan Juan Carlos berpendapat serupa. Višnja dan Ariel menambahkan kalau kebebasan dalam blog memungkinkan penulis menyasar hal-hal yang ada di luar film, seperti konteks politik dan komitmen sosial film-film Hollywood. Bentuknya yang seperti ceceran pikiran memungkinkan tulisan blog itu untuk dijahit kembali menjadi sebuah kajian yang analitik. Hal serupa tak bisa diterapkan pada resensi New York Times, yang pembahasannya lebih ketat pada elemen-elemen dalam film.
Dari diskusi ini, saya menangkap ada tiga terma yang berulang kali diutarakan sebagai kualitas dasar kritik film: testimonial, rhetorical, dan evidential. Setiap resensi dan kajian film bermula pada rasa, reaksi emosional penonton pada apa yang ia tonton. Kritik film adalah perkara subyektif, maka itu ia dibilang bersifat seperti testimoni. Dalam praktiknya, kritikus memberi bingkai atas film-film yang ia lihat: elemen-elemen mana dalam film yang dianggap menonjol, jenis estetika macam apa yang perlu didukung, dan kenapa hal-hal ini yang mendapat sorotan.
Retorika kemudian menjadi penting. Gagasannya boleh jadi subyektif, tapi penyampaiannya haruslah dengan standar-standar yang objektif, yang tidak saja dipahami penulis tapi juga bisa dipahami pembaca. Kritik film adalah suatu bentuk dialog pada pembaca atau penonton. Idealnya, dialog ini berpijak pada hal-hal yang sama-sama bisa dipahami oleh penulis dan pembaca. Saya teringat pendapat Alex Sihar, teman dan kolega di Yayasan Konfiden, “Penulis yang pintar adalah penulis yang bisa membuat tulisan yang bisa dimengerti orang bodoh.” Artinya, kritik film tak bisa berhenti pada penyederhanaan baik dan buruk semata. Apakah itu ‘baik’? Seberapa baik itu ‘baik’? Mana yang lebih mudah dipahami: ‘film ini seru’ atau ‘film ini memberi porsi yang besar pada efek visual, tapi banyak yang tak logis dalam sebab-akibat ceritanya’?
Tak ada penulis buruk, adanya penulis yang malas berpetualang, termasuk berpetualang mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam bertutur. Hal ini yang saya rasa menjadi masalah umum dalam penulisan tentang film di negeri ini; apa-apa serba disederhanakan dalam kata sifat yang generik: film ini ‘bagus’, film itu ‘membosankan’, dan sebagainya. Retorika yang efektif adalah retorika yang berakar pada elemen-elemen dalam film, yang kemudian disampaikan dalam standar yang sama-sama bisa dipahami penulis dan pembaca. Ini yang dimaksud dengan evidential. Bagaimana kita bisa mempercayai, minimal memahami, apa yang disampaikan penulis resensi atau kajian kalau tidak ada buktinya dalam film? Bukti-bukti sinematik ini kemudian bisa dikembangkan ke berbagai arah. Bisa untuk menilai keutuhan dan keseluruhan suatu film, bisa untuk pembanding dengan film-film lainnya, bisa pula untuk cerminan meninjau budaya yang melingkupi film tersebut.
Dari sini kita bisa bilang kalau kritik film tak boleh dan tak sepantasnya terkurung dalam tempurung. Ia tak dimaksudkan untuk berputar-putar dalam film saja; bukan sekadar mana film bagus mana film jelek, mana gambar bagus mana gambar jelek, mana wajah yang cantik mana wajah yang jelek. Kritik film haruslah berani dan berkemauan untuk terus memperluas wilayah bahasannya, mulai dari fenomena dalam film itu sendiri hingga realita-realita yang terkait dengannya. Film sendiri merupakan seni ketujuh, seni yang menggabungkan seni-seni yang mendahuluinya; ada kekayaan artistik tersendiri di dalamnya. Film jugalah sebuah teknologi, yang setiap perkembangannya menghadirkan konsekuensi yang konkrit bagi kehidupan manusia. Kalau film sebagai sebuah objek saja sudah seluas itu cakupanya, kenapa kritik film harus berpikiran sempit?
Saya jadi teringat ucapan JB Kristanto, kritikus film senior, dua tahun silam saat Klinik Kritik Film di Kineforum, “Kritik film tidak hanya mencela atau memuji film, melainkan juga mengkritik aspek budaya. Saya menggunakan tulisan untuk membidik persoalan film-film Indonesia dan kebudayaan.” Saya sependapat dengan beliau.
Berlin Secerah Lampu Proyektor
Setelah diskusi, kami mendapat pembagian tugas. Setiap peserta mendapat lima tugas: satu berita, satu wawancara, dua resensi, dan satu tulisan bebas. Talent Press didesain layaknya media harian, di mana setiap peserta diwajibkan mengumpulkan tulisan paling lambat jam tujuh malam setiap harinya. Jam delapan malam, tulisan akan diunggah ke talentpress.org, sementara versi cetaknya dipajang layaknya mading di sejumlah pojok lokasi penyelenggaraan festival.
Setiap hari, dari 9 sampai 13 Februari, peserta diwajibkan menyelesaikan satu artikel sesuai dengan jadwal penugasan yang diberikan. Tanggal 14 dikhususkan untuk evaluasi dan penutupan Talent Press. Editorial room, atau ‘kantor’ selama program Talent Press, buka setiap harinya dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam. Kantor ini terbuka bagi para peserta yang ingin mengetik (apabila tak membawa laptop dari rumah), juga bagi kesempatan konsultasi tulisan dengan para mentor (yang diharapkan menjadi proses belajar peserta). Mentor saya selama Talent Press: Stephanie Zacharek.
Demi keleluasaan selama festival, setiap peserta dibekali badge pers, yang bisa dimanfaatkan untuk mengambil tiket pemutaran, tiket seminar, dan akses ke venue-venue lainnya (European Film Market, misalnya). Terjadi kesepakatan tak tertulis di antara para peserta Talent Press untuk berkumpul di lobi hostel setiap jam tujuh pagi, untuk kemudian berangkat bareng-bareng ke Berlinale Press Centre sebelah Berlinale Palast, tempat pemutaran utama festival. Pasalnya, beberapa menit setelah Berlinale Press Centre buka setiap jam delapan pagi, jurnalis dari berbagai media internasional sudah ramai mengantri. Niat mereka sama dengan kami: mengambil tiket pemutaran untuk film-film dan seminar-seminar yang akan diliput hari itu. Bedanya, tugas kami tidak sebanyak mereka. Tugas kami hanya meliput dua sampai tiga film dan seminar selama festival, sementara mereka punya puluhan yang harus diliput dan tiket yang dialokasikan untuk pers ada batasnya.
Kami para peserta tidaklah naif hanya menonton film atau menghadiri seminar yang ditugaskan. Pikir kami, kapan lagi bisa nonton sesuka hati di festival sekelas Berlinale dengan modal tunjuk badge saja. Jujur, saya sudah punya pikiran ini sebelum tiba di Berlin, akibat mendengar cerita dari kawan-kawan yang pernah ikut Berlinale Talent Campus. Sehari sebelum Talent Press mulai, saya memanfaatkan badge pers untuk nonton The Grandmaster karya Wong Kar-wai dan I Used to Be Darker karya Matthew Potterfield. Hari-hari setelahnya bisa dibilang diisi dengan kegiatan serupa, curi-curi nonton film dan menghadiri seminar-seminar pilihan pribadi di antara jam-jam menunaikan kewajiban Talent Press. Singkat kata, selama sepuluh hari itu, kami para peserta Talent Press mendapati Berlin secerah lampu proyektor. Total jam yang kami habiskan dalam bioskop jauh melebihi total jam yang kami habiskan di luar.
Tugas hari pertama adalah meliput presentasi Robert Bosch Stiftung perihal program pendanaan sineas Jerman-Arab, jam 20.00, di HAU 1. Gedung yang dimaksud berjarak sepuluh menit jalan kaki dari Berlinale Palast (lebih cepat lagi kalau naik bus, tapi saya susah hafal rute bus). Waktu acaranya sendiri tanggung: di antara jam 19.30 dan 21.00, jam-jam lazim pemutaran malam. Tugas pertama ini harus dikerjakan tepat setelah diskusi pembuka program. Waktu itu diskusi selesai sore, sekitar jam 18.30. Tidak sempat menghadiri pemutaran film, saya memilih untuk menghabiskan waktu mengenal venue-venue Berlinale di area Potsdamer Platz. Lokasi penyelanggaraan festival sendiri tersebar di sejumlah titik di Berlin, tapi konsentrasi terbesar ada di kawasan ini.
Termasuk dalam Potsdamer Platz dua venue yang menjadi lokasi European Film Market: Mariott Hotel dan gedung Martin-Groupius-Bau. Terbersit di kepala saya untuk membahas perwakilan perfilman Indonesia di salah satu pasar film dunia terbesar untuk tugas tulisan bebas Talent Press. Saya periksa katalog dan menemukan satu nama yang tak asing: Bogalakon Pictures, rumah produksi milik Andibachtiar Yusuf (sutradara The Conductors, Romeo & Juliet, dan Hari Ini Pasti Menang). Bogalakon adalah satu-satunya wakil perfilman Indonesia di European Film Market Berlinale tahun ini (stannya terletak di Mariott Hotel, lantai dua). Saya datangi tempat yang dimaksud dan menemukan stan Bogalakon diisi sejumlah orang Malta (yang stannya tidak jauh dari situ) duduk, minum kopi, dan ber-wi-fi ria. Di tembok stan Bogalakon, terpajang sejumlah poster film horor lokal beserta film-film produksi Bogalakon sendiri. “Mungkin bukan jam jaga,” pikir saya, “besok-besok saya harus mampir lebih awal.” Saya pun bergegas ke acara yang harus saya liput.
Tugas hari kedua: resensi Viola, film Matías Piñeiro yang diputar dalam program Forum. Pemutarannya malam, jam 20.30, di Kino Arsenal, Potsdamer Platz. Saya bikin janji dengan Stephanie untuk bertemu di editorial room jam 15.00, untuk konsultasi tugas hari kemarin sebelum akhirnya dipublikasikan. Artinya, ada cukup waktu untuk nonton dua film dari pagi sampai siang. Saya pilih In the Name of… karya Andrzej Chyra dan Mateusz Kosciukiewicz serta TPB AFK: The Pirate Bay Away From Keyboard karya Simon Klose. Film pertama termasuk salah satu film kompetisi, tapi kurang mendapat respons baik dari jurnalis dan kritikus selama festival. Saya pun berpendapat serupa. Film kedua yang menarik. Setelah pemutaran siang itu, Simon Klose merilis dokumenternya di jaringan Pirate Bay; publik bisa mengunduhnya gratis. “Demi pencerahan publik akan pentingnya berbagi,” tukasnya sambil tersenyum saat sesi tanya-jawab.
Hari ketiga ada sedikit masalah. Saya seharusnya wawancara Matthew Libatique, sinematografer Black Swan dan film-film Darren Aronofsky lainnya, tapi karena beliau berhalangan, saya terpaksa banting setir mengerjakan tugas hari berikutnya: resensi The Trouble With Money (Komedie Om Geld), komedi Max Ophuls. Masalahnya, konfirmasi bahwa Libatique berhalangan datang begitu larut, sekitar jam 20.00 (janji wawancaranya sendiri jam 18.00), sementara pemutaran Trouble With Money malam itu jam 20.30 (dan lokasinya lumayan jauh, harus naik U-Bahn). Untungnya saya hanya terlewat beberapa menit, tepat ketika judul film terpampang besar di layar. Setelahnya masih ada cukup waktu untuk satu film lagi: Something in the Way karya Teddy Soeriaatmadja di bioskop Cubix, Alexanderplatz. Studio berkapastias 280 orang itu hampir penuh, hanya tersisa dua baris paling depan. Setengahnya saya yakin orang Indonesia.
Hari keempat tibalah wawancara dengan Matthew Libatique. Hari ini terhitung ringan, meningat daftar pertanyaan wawancara sudah saya siapkan hari sebelumnya. Menyusun artikel wawancara juga tidak menuntut banyak kerja otak, tidak seperti menulis resensi atau liputan berita, hanya perlu sabar membuat transkrip saja. Hari itu saya keluar dari editorial room jam 17.00, cukup awal sehingga saya bisa nonton tiga film malam harinya (salah satunya Vic+Flo Saw a Bear karya Denis Cote, film favorit saya di Berlinale 2013). Wawancara dengan Libatique sendiri terjadi saat jam makan siang di HAU 3, berlangsung kurang lebih setengah jam dengan penuh canda tawa. Sepanjang wawancara, saya tidak bisa tidak melirik ke meja sebelah. Ada Joshua Oppenheimer dan antrian peserta-peserta Talent Campus yang ingin mengobrol dengannya. Berisik sekali.
Tugas terakhir saya adalah tulisan bebas. Saya memilih untuk meresensi film dari rumah sendiri: Cita-citaku Setinggi Tanah karya Eugene Panji, yang masuk seleksi program Generation. Saya mengurungkan niat awal saya untuk meliput perwakilan Indonesia di European Film Market. Sampai dengan hari itu, saya tidak sekalipun menemui ada orang Indonesia di stan Bogalakon Pictures, padahal sejak awal Berlinale saya sudah berkomitmen untuk menulis apapun yang berkaitan dengan sinema Indonesia untuk Talent Press. Jadilah saya menyambangi lokasi pemutaran Cita-citaku Setinggi Tanah di Haus der Kulturen der Welt, Tiergarten. Sayangnya, saya tidak bisa berlama-lama untuk bercakap dengan pembuat film; mentor sudah memanggil untuk sesi konsultasi terakhir di editorial room.
Kritik Film dan Khalayak
Sebagai bagian dari penutup Berlinale Talent Press, para peserta diwajibkan menghadiri satu seminar pada tanggal 14 Februari. Tajuknya Launching Films: Publicity and Film Critique. Ada tiga pembicara: Peter Cowie (sejarawan film dan inisiator program Talent Press), Sylvia Müller (publisis dan direktur MM Filmpresse), dan Gordon Spragg (publisis dan pendiri Wolf Consultants).
Sepanjang panel, Cowie menjelaskan bagaimana peran publisis dalam perfilman seringkali terlupakan, padahal mereka yang kerapkali berjasa dalam pembentukan pasar untuk film-film yang tidak bisa dan tidak mungkin beredar di jalur arus utama. Oleh karena itu, bisa tercipta istilah arthouse sebagai label pemasaran. Lalu, Müller bercerita tentang pengalamannya mempromosikan The Milk of Sorrow karya Claudia Llosa dan trilogi Paradise karya Ulrich Seidl di jaringan festival Eropa. Begitupun dengan Spragg, yang bertutur tentang renanca dia membangun citra dan pemasaran untuk The Act of Killing di Eropa, lewat kombinasi pemasaran di festival-festival dan promosi gencar di media sosial.
Oliver Baumgarten, duduk di bangku penonton sebagai perwakilan Talent Press, mengangkat tangan dan bertanya, “Bagaimana dengan kritik film? Sepanjang seminar ini, begitu banyak dijelaskan tentang profesi dan kontribusi publisis dalam konstelasi perfilman. Bagaimana dengan kritikus film?” Peter Cowie menjawab, “Saya kira pada akhirnya mereka harus mengikuti tuntutan pasar. Setiap resensi adalah bentuk promosi tersendiri.”
Saya terdiam sejenak mendengar percakapan ini. Di sini saya mulai bisa menyusun macam-macam kesan yang saya lalui selama di Berlin, mengikuti program demi program Talent Press. Satu hal yang baru saya sadari adalah Talent Press hanya mengajarkan para pesertanya menjadi penghasil konten. Terlihat, sepanjang program dan pertemuan dengan mentor, hal-hal yang ditekankan adalah kerapihan menulis, tata bahasa, kepatuhan pada tenggat publikasi, dan kejelasan pesan yang ingin disampaikan.
Pertanyaan saya: bagaimana dengan interaksi antara kritik film dan khalayak? Ini masalah penyikapan. Kembali pada pernyataan Klaus Eder di pembukaan Talent Press, kritik film ‘harus diperjuangkan supaya tercipta perfilman yang seimbang’. Pernyataan Peter Cowie tentang perlunya mengikuti tuntutan pasar menyiratkan kalau pertukaran yang terjadi antara sinema dan khalayak hanyalah uang. Kritik film semata-mata menyokong itu. Saya pribadi merasa kritik film adalah perkara pergulatan wacana, karena pertukaran yang terjadi antara sinema dan khalayak tidak saja uang, tapi juga ide-ide.
Kesadaran kritis itu mahal harganya. Tuntutan kritikus zaman sekarang ini bisa jadi bukan hanya mendedah sinema, tapi juga mengusahakan bagaimana pergulatan gagasan juga bisa terjadi di khalayak. Sayangnya, yang luput dalam program Talent Press malah diskursus tentang penyaluran pengetahuan.
Seperti yang kita ketahui, dalam keseharian kita sebagai pekerja, setiap karya dan produk yang kita hasilkan akan selalu berhadapan dengan realita produksi-distribusi. Sebuah produk hanya akan bisa berdampak pada masyarakat apabila ia sampai pada yang dituju, atau setidaknya tersedia di titik-titik yang memungkinkan akses publik. Begitu halnya dengan jurnalis dan kritikus film. Meliput dan mengkaji perfilman barulah satu perkara, perkara lain yang perlu dipikirkan adalah distribusi pengetahuan. Kita harus bisa memetakan bagaimana khalayak mengakses informasi, dan bagaimana kita bisa memanfaatkan itu untuk penyebaran dan perkembangan kritik film ke depannya.
Artinya, kita perlu menakar sejauh mana penetrasi produk kritik film dalam keseharian khalayak. Untuk kasus Indonesia, saya bisa bilang belum banyak. Kerja-kerja media sendiri masih lebih dominan pada kegiatan peliputan, belum pada pengkajian. Itupun masih terpaku pada eksposur ‘puncak-puncak’ perfilman, tapi belum pada proses-proses yang sedang bergejolak—yang seringnya terjadi di lingkungan yang tak populer tapi bukan berarti kalah penting. Perhatikan setiap Festival Film Indonesia bergulir; media ramai dengan berita soal kesuksesan (atau kontroversi) pemenang Film atau Aktor dan Aktris Terbaik, tapi sedikit sekali yang melirik pemenang Film Pendek dan Dokumenter Terbaik. Lihat pula bagaimana hebohnya media memberitakan Joe Taslim main di Fast and Furious 6 atau Rectoverso ‘diputar’ di Cannes, tapi sedikit sekali yang mengangkat kehadiran film-film anak bangsa di festival-festival macam Rotterdam, Locarno, Busan, dan sebagainya. Ketika semua orang ramai-ramai membicarakan kesuksesan Habibie & Ainun dan 5 cm mengumpulkan jutaan penonton, hampir tidak ada yang mengangkat tentang pencapaian kawan-kawan komunitas di Purbalingga dan Palu, yang dalam beberapa tahun terakhir konsisten dalam berkarya dan berprestasi di sejumlah kompetisi film nasional.
Sementara itu, banyak sekali buah karya kritik dan kajian film yang berputar-putar di lingkaran akademis saja. Karya-karya ini memuat banyak wawasan dan gagasan yang patut disebarluaskan dan didiskusikan lebih lanjut. Sayangnya, publik tidak tahu akan keberadaan mereka dan tidak tahu cara mengaksesnya. Tempat-tempat yang menampung karya-karya akademis ini juga begitu jauh dari keseharian khalayak, dan belum ada terobosan berarti di lingkaran akademis untuk mengemas semua itu bagi konsumsi publik. Konsekuensinya, dialog yang diharapkan terjadi antara kritik film dan khalayak masih sebatas angan-angan.
Ketertarikan saya dengan kritik dan kajian film awalnya tumbuh karena rutin mengunjungi situs Rumah Film dan Jurnal Footage. Saya berasal dari generasi yang kesehariannya begitu dekat dengan internet, oleh karena itu ada keterpukauan tersendiri ketika menemukan dua situs ini dan segala pertukaran gagasan di dalamnya berada dekat dengan ‘tempat main’ saya. Pertanyaannya: bagaimana dengan generasi sekarang?
Bisa jadi yang dibutuhkan kritik film sekarang ini adalah cara baru mendekati publik, bentuk-bentuk baru dalam membahasakan dan menyajikan gagasan ke khalayak. Generasi sekarang dikenal sebagai generasi yang mobile, yang mengakses informasi kapanpun di manapun lewat layar telepon genggam dan komputer tablet. Bagaimana kritik film bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan ini? Di zaman tweet selebriti bisa jadi bahan berita, bagaimana kritik film bisa memanfaatkan social media untuk kepentingannya? Belakangan sedang tumbuh kegiatan video blogging, yang wujudnya seringkali adalah rekaman seseorang berbicara dan berpendapat tentang suatu hal atau peristiwa. Dengan maraknya penggunaan Youtube sekarang dan mudahnya mengakses materi video online, bisakah bentuk ini dimanfaatkan sebagai bahasa alternatif dalam kritik film? Bagaimana pula dengan kegemaran media sekarang menyajikan informasi dalam bentuk infographic? Bisakah ini menjadi suplemen bagi kritik film?
Akan sangat menarik mendengar pendapat para mentor Talent Press tentang hal-hal ini. Bisa jadi mereka punya eksperimen-eksperimennya sendiri. Pasalnya, mereka adalah kritikus film yang sudah malang melintang lebih dari satu dekade dan masih aktif sampai sekarang. Mereka sudah menyaksikan bagaimana profesi mereka mengalami transformasi besar-besaran ketika internet naik daun, ketika punya blog saja sudah cukup untuk disebut kritikus film, berbeda dengan masa-masa mereka harus membangun reputasi lewat publikasi di koran-koran dan media cetak lainnya.
Uneg-uneg ini yang saya sampaikan saat evaluasi program Talent Press pada siang hari. Malam harinya, saya bersama kawan-kawan Talent Press menghabiskan hari-hari terakhir di Berlin dengan menonton Upstream Color karya Shane Carruth. Sesi tanya-jawab dengan sutradara film ini begitu menarik, begitupun filmnya, sampai-sampai kami telat datang ke pesta penutupan Berlinale Talent Campus.