Bertemu Marlina di Jakarta

Saking menariknya trailer Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, saya jadi penasaran untuk mengikuti setiap pemberitaannya. Praktis, film karya Mouly Surya tersebut masuk daftar film Indonesia yang saya wajib tonton tahun ini. Apalagi saya menggemari karya si sutradara yang dulu-dulu, yakni What They Don’t Talk About When They Talk About Love. Makin banyak alasan bagi saya untuk bertemu dengan Marlina.

Setelah berbulan-bulan menanti, sebuah keberuntungan menghampiri. Saya mendapat kesempatan bertemu Marlina di Jakarta beberapa waktu lalu di Plaza Indonesia. Dari namanya, bisa jadi Plaza Indonesia adalah representasi pedagang dari Sabang sampai Merauke. Saya bangga bertemu Marlina di sana, di pasar itu.

“Cerita ini hanya fiktif belaka. Yang nyata hanyalah pemandangan Sumba.” Begitulah kira-kira tulisan pembuka film Marlina setelah logo sponsor. Artinya, mumi yang duduk di ruang tamu itu hanya sekadar pajangan. Artinya juga, kalung mamuli yang menghiasi leher Marlina tidak lebih dari kebutuhan busana semata. Begitu juga tenun yang dipakai tidak lebih dari hasil printing canggih yang diimpor khusus. Jika demikian adanya, “Beta bisa apa kaka?”

Bertemu Marlina di Jakarta menyisakan pengalaman menonton yang campuraduk. Saya sulit mengenali Marlina sebagai perempuan Sumba dibanding saya mengenali Mouly Surya sebagai sutradara film ini. Tidak mudah memang, antara melihat Marlina sebagai film berlatar peradaban Sumba atau sekadar mengenali Marlina yang kebetulan syuting di Sumba. Walau begitu, saya sangat meyakini Marlina bukan Ninja Hatori yang mendaki gunung lewati lembah. Bukan, dia perempuan Sumba.

Dalam realitas sinematik yang Mouly Surya sajikan, kehadiran Marlina setidaknya bermakna dua: sebagai objek visual, juga sebagai objek kultural. Dan teks pada awal film tidak menegaskan salah satunya—keduanya sah. Saya, sebagai warga Nusa Tenggara Timur, memilih untuk menyikapi sosok Marlina sebagai bagian dari realitas sehari-hari yang saya sudah kenal betul.

Bagi saya, kalung mamuli yang menghiasi leher Marlina adalah bukti bahwa ia telah bersuami. Dan tenun yang ia pakai juga lahir bersama tradisi Marapu, kepercayaan leluhur yang baru resmi diakui oleh negara beberapa saat dari lahirnya film Marlina.

Nama Marlina sendiri asing sebagai penganut Marapu yang teguh menjalankan tradisi leluhur untuk menguburkan suaminya. Umumnya penganut Marapu tidak mengenal nama-nama impor macam Marlina. Mereka lebih familiar dengan nama Yau Ndanga, Bomba Pihu, Kuku Yowa, Yowa Ana Amah, May Ngiri, Rambu Dihi Hudang, Rambu Kariri Hara, dan lainnya. Jika Marlina terlahir sebagai bagian dari generasi pasca-1965, maka tidak penting mumi itu menghiasi ruang tamu rumahnya. Marlina pasti sudah berpindah agama. Tapi apa daya, kebutuhan cerita lebih berbicara.

Rumah Marlina, yang berdiri tegar sendirian di atas bukit tandus, juga mengundang sejumlah tanya. Pemandangan tersebut memang memanjakan mata, tapi keberadaan rumah itu sulit dipahami dalam konteks perkampungan di Sumba. Umumnya, perkampungan di Sumba dihuni oleh beberapa suku dan sistem kepemilikan tanah setempat juga merupakan sistem tanah ulayat atau tanah suku. Selain itu, Sumba masih mengenal sistem kasta yang tentu saja berdampak terhadap kepemilikan tanah atau penguasaan alat produksi. Apa Marlina menguasai banyak tanah?

Tidak, Marlina cuma punya ternak, yang ingin diambil kawanan tujuh perampok yang dipimpin Markus. “Saya mau datang ambil ko pu hewan, masih ada waktu mau tidur deng ko, kami bertujuh,” begitu ungkapnya mengawali drama pada awal film. Markus yang terlihat seperti bos perampok memilih minum Jack Daniels dan sudah horny di kamar. Perampok lainnya makan sup ayam yang sudah diracun oleh Marlina. Mereka makan penuh ekspresif seperti acara kuliner di televisi. Mereka sama sekali tidak waspada terhadap apapun. Marlina dan suaminya sudah bukan bagian dari kultur sosial sejak shot pertama film ini. Mereka terpisah, atau lebih tepatnya sengaja dipisahkan, dari lingkungannya.

Memisahkan Marlina dari lingkungan sosialnya merupakan pilihan yang strategis apabila Sumba dalam film Marlina hanya dihadirkan sebagai latar visual, sebagai unsur cerita yang terpisah dari kultur yang menghuninya. Masalahnya, film Marlina banyak memanfaatkan unsur-unsur khas budaya Sumba sebagai bagian dari perkembangan naratif, juga sebagai bagian dari identitas tokoh dan ruang-ruang cerita yang ia lalui. Tanggungjawab film Marlina jadi tidak sederhana—ada otentisitas kultural yang perlu dijaga.

Saya sempat berasumsi Marlina berasal dari kalangan bangsawan. Pasalnya, Marlina punya banyak hewan dan tinggal sendirian di atas padang penggembalaan yang luas. Dia juga terpaksa berhutang untuk kematian anaknya, karena banyak sekali keluarga serta kerabat yang menghadiri upacara pemakaman itu. Lantas, kenapa Marlina seorang diri dengan gagah membawa kepala Markus menyusuri jalan berliku?

Novi, dengan kandungan usia sembilan bulan, juga harus berjalan sendirian mencari suaminya dan kebetulan bertemu Marlina di atas bukit. Bagi saya, ini bukan soal mertuanya yang tidak percaya hamil tua atau Novi yang harus belajar woman on top lagi dengan Umbu. Saya justru berpikir tentang sulitnya akses kesehatan yang murah dan berkualitas, yang kian kompleks dengan kepergian suaminya merantau. Inilah narasi keterasingan perempuan yang patut diapresiasi dari film Marlina, yang sesungguhnya bisa mengisi konteks di balik kepergian suami Novi dan eksistensi Marlina yang soliter.

Sayangnya desain naratif film Marlina tampaknya lebih berpijak pada pakem-pakem genre western, yang membingkai keadilan sebagai inisiatif pribadi, bukan sebagai konsekuensi dari suatu kebersamaan, yang sesungguhnya lebih dekat dengan budaya setempat. Hal ini nampak dari cara budaya perkawinan disinggung dalam film. Seorang ibu menghadang truk yang ditumpang Marlina dengan membawa dua ekor kuda, yang dikisahkan akan menjadi mahar kawin. Si ibu hanya ditemani anaknya, tanpa ada keluarga lainnya atau tetangga. Situasi ini sangat jarang dijumpai di berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur, karena mengantar mahar kawin (belis) adalah ritual penting yang mempertemukan dua keluarga besar. Perkawinan merupakan salah satu perwujudan interaksi antarsuku.

Pada titik ini, saya menyimpulkan bahwa kultur gotongroyong, kekeluargaan, atau kolektivitas pada umumnya tidak dibutuhkan dalam naratif film Marlina. Semua tokoh hadir sebagai pribadi yang serta-merta: mulai dari aparat hukum yang acuh dan para perampok yang sudah laknat sejak dalam rahim ibunya. Begitu juga Marlina si protagonis dan Novi yang mendampinginya. Keduanya menjadi tokoh yang tahan banting bukan karena mereka perempuan, bukan juga karena mereka berlatar Sumba, tapi karena pakem genre film mengharuskan itu.

Menerima Marlina begitu saja sebagai gambaran sebuah peradaban Sumba mungkin perlu dipikirkan lagi mengingat Indonesia itu beragam. Belum lagi kita bicara persepsi Orde Baru tentang “Indonesia Timur” yang masih membekas di masyarakat kita sampai sekarang. Keterasingan perempuan-perempuan Sumba dalam film Marlina bisa jadi pemicu diskusi yang vital jika penguasaan tanah, perampokan, pengangguran, hingga kekerasaan terhadap perempuan adalah bagian penting yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Perjuangan kolektif seharusnya menjadi bingkai dari film ini karena keterasingan perempuan jauh melampaui otoritas atas tubuh, dapur, dan ranjang.

Pertemuan saya dengan Marlina harus berakhir setelah sembilan puluh tiga menit. Sulit bagi saya untuk melihat Sumba dari Jakarta, kami terlampau berjarak. Ingin rasanya saya mengajak pulang Marlina, tapi dia masih bertahan di pasar itu, di Plaza Indonesia. Saya putuskan untuk pulang sendiri, menanti Marlina di Sumba.