Strategi memanfaatkan genre tertentu untuk mengekspresikan pesan-pesan politik terselubung umum diketahui. Analisis genre semacam ini sering diarahkan ke film-film di periode yang secara politik represif, maupun dalam kaitannya dengan otoritas sensor. Entah sudah berapa tulisan yang menginterpretasi lelucon-lelucon Warkop DKI sebagai statemen pembangkangan halus terhadap Orde Baru. Komedi menjadi medium ekspresi yang dinilai aman; asumsinya, tidak ada yang bakal menganggapnya serius. Penonton dianggap bakal lebih sibuk dengan efek-efek retoris filmnya ketimbang substansi pesan-pesannya. Artinya, genre memberikan suatu tertib tertentu yang efektivitas simboliknya menentukan seberapa cepat dan seberapa dalam pesan bisa diterima.
Sinema horor, dalam hal ini, barangkali harus diperlakukan secara berbeda. Serupa dengan komedi, karakter-karakternya dilebih-dilebihkan hingga taraf yang tidak masuk akal. Namun, jika ditilik kembali, efek antagonisme antarkarakter hadir lebih kuat. Tidak heran jika horor sering digunakan untuk menyatakan kritik-kritik yang keras. Sutradara seperti George A Romero tahu betul bagaimana caranya. Jangan lupa juga kalau film seperti Pengkhianatan G-30S/PKI banyak meminjam elemen-elemen horor.
Di sisi lain, dalam konteks film Indonesia, genre sebagai sebagai sebuah strategi artikulasi tidak bisa dipandang sebagai structuring principle yang utama dalam sebuah film, sekalipun ia memberi kerangka apresiasi penonton. Ada bangunan naratif lain yang boleh jadi tidak disadari namun konsisten, tak peduli apapun genrenya. Ketika kita mengasumsikan keberadaan subteks (politik) yang ajeg dalam banyak film-film sepanjang konteks periode tertentu, terlalu sembrono untuk mengatakan bahwa genre berhasil mengintervensi secara luas inti dari konten naratif yang disampaikan pembuatnya. Bahkan di sini kita bisa mengajukan kritik mengapa film dengan tema A harus dibuat dengan genre B. Lebih lanjut bahkan, genre bisa menjadi semacam dislokasi tema (ketimbang “artikulasi” tema). Misalnya saja kita bakalan sulit melihat film seperti Lentera Merah sebagai pernyataan keberpihakan si pembuat film terhadap korban pembantaian massal 1965; yang paling logis adalah bahwa horornya dulu yang dicari, setelah itu barulah tema besar peristiwa 1965 dicari dan dikait-kaitkan.
Menonton kembali Beranak Dalam Kubur, nama yang segera muncul dalam bayangan saya adalah penulis skenarionya (Sjumandjaja), alih-alih sutradara maupun pemainnya yang melegenda (Suzanna). Terlepas dari sebesar apa pengaruhnya terhadap proses produksi (yang kita tidak akan pernah tahu), struktur naratifnya tidak jauh berbeda dari film-film Sjumandjaja lainnya, terutama dalam presentasinya mengenai relasi kelas, yang kesamaan polanya juga ditunjukkan oleh banyak sutradara lain di zamannya di mana sudut pandang kelas sosial yang dominan masih dipakai untuk mengkritik kelas yang sama (Sen, 1994), sekaligus mengecilkan peran kelas bawah yang ingin diwakilinya. Misalnya, penduduk desa digambarkan sebagai massa yang tidak terdidik, marah dan siap rusuh, berkebalikan dengan karakter utamanya yang terpelajar, dingin, berprofesi sebagai dokter atau pengacara; semua persoalan diselesaikan oleh atau berpusar dalam lingkaran-lingkaran elit kelas menengah.
Beranak dalam Kubur menceritakan tragedi yang menimpa sebuah keluarga pemilik perkebunan. Di bagian awal dikisahkan Lila (Suzanna) harus meninggalkan perkebunan dan pergi ke kota lantaran tidak disukai oleh ibu dan saudara tirinya, Dora (Mieke Widjaja), yang di kemudian hari mengambil alih kontrol atas usaha perkebunan sang ayah yang lumpuh. Setelah dewasa dan menikah, Lila bersama suaminya kembali ke kampung halaman. Konflik lama pun menyeruak: Dora yang kejam dan pencemburu berusaha mati-matian mengenyahkan Lila. Setelah beberapa kali gagal akhirnya ia berhasil membunuh Lila yang sedang hamil tua dan menguburnya. Hantu Lila pun gentayangan, meneror Dora dan meresahkan warga desa perkebunan tersebut.
Dipandang dari segi genre, ditemukan sejumlah kejanggalan pada Beranak dalam Kubur: tidak ada hantu, tidak ada pemuka agama, elemen-elemen klenik yang diminimalisir, dan musuhnya pun adalah “tuan tanah despotik penghisap darah (yang digambarkan hidup dalam gelap dan rahasia, seperti vampir)” (Paramadita, 2009). Di samping itu, melihat tampilan dan ragam fisik yang ditampilkan karakternya—satu keluarga indo pemilik perkebunan (“keluarga vampir”) di satu sisi dan di pihak lainnya para petani pribumi—orang bahkan bisa berpikir nakal, menarik kesimpulan yang lebih jauh jika Beranak dalam Kubur merupakan kisah berakhirnya “aristokrasi” kolonial. (Meski wajah indo itu mungkin bisa dikatakan sebagai “strategi jualan” layaknya kecenderungan film Indonesia hingga kini, dalam konteks Beranak dalam Kubur kontras antara ciri fisik indo dan pribumi, sengaja atau tidak, memunculkan kesan polarisasi yang kuat antara pemilik perkebunan yang diasosiasikan dengan elit kolonial di satu pihak dan massa petani perkebunan di pihak lainnya.)
Pertanyaan yang patut diajukan di sini bukanlah valid atau tidaknya klaim “anti-kolonial” tersebut melainkan bagaimana dalam situasi sosial dan politik di zaman (termasuk tekanan sensor di dalamnya), relasi-relasi antagonistik bisa muncul dalam berbagai bentuk dan sulit dinamai: sentimen kelas bisa terartikulasikan sebagai sentimen nasionalis (seperti halnya dalam banyak kasus Third Cinema), sementara sentimen nasionalis yang sama bisa pula membungkus narasi militeristik, dan seterusnya dalam ragam variasi lainnya yang saling bertukar bentuk. Salah satu tugas analisis film adalah mengurai dan memastikan nama dari relasi tersebut, sementara hubungan antara produksi dan kondisi materil pada zamannya (baca: antara seniman dan lingkungannya) bersifat simptomatik, dan hanya bisa dipahami di masa-masa setelahnya. Analisis Krishna Sen (1994) tentang representasi kelas dalam sinema Indonesia sampai 1980an pun berkaca dari absennya politik kelas pekerja semenjak 1966. Dengan kata lain, ia masih mengandaikan kategori yang sama untuk mengidentifikasi relasi kelas pasca 1966 sebagai pembalikan dari relasi kelas pada tahun-tahun sebelumnya, ketika kelas menengah kini dibayangkan sebagai agen perubahan sosial, menggantikan kelas pekerja; yang tidak banyak dieksplorasi adalah perubahan komposisi dalam kelas menengahnya sendiri.
Ada tiga macam karakter yang selalu dilibatkan dalam skema ini: kelompok yang dominan, kelompok yang ditindas, dan kelompok yang berada di antaranya (sebagai mediator yang posisinya ambigu, atau yang berasal dari lingkaran kelas dominan namun “membelot” ke kelompok yang ditindas, misalnya: pengacara, dokter, mahasiswa—pendeknya, intelektual kelas menengah urban). Karakter Dora merupakan prototip yang ideal dari kategori pertama (pemilik perkebunan yang kejam, eksploitatif, dan licik). Kelompok kedua sudah jelas: petani dan warga kampung yang dieksploitir oleh Dora. Adapun kelompok ketiga ditempati oleh sang bapak, yang sebetulnya adalah bagian dari kelompok pertama namun tersingkir dan dan tidak berdaya melawan Dora. Lila berbagi tempat dengan si bapak: sama-sama disingkirkan oleh Dora dan tercerabut dari lingkungannya dua kali, yakni sebagai anggota kelas dominan dan semenjak ia pindah ke kota.
Sekilas, rentetan film ini menuju pada kelompok kedua dan ketiga yang bersatu melawan kelompok pertama. Namun, tidak demikian jika melihat bagaimana kelompok ketiga dikaitkan dengan kelompok kedua. Para warga desa cenderung mengidentifikasi diri mereka dengan keluarga Lila beserta tragedi yang menimpanya. Menjelang akhir film, ketika massa sudah berkumpul di halaman rumah keluarga Lila, sang pelayan keluarga itu meneriaki Dora dari bawah: “Di atas sana berdiri seorang perempuan berhati setan yang telah membunuh ibunya sendiri dan melumpuhkan ayahya serta memeras tenaga kita bertahun-tahun; ia juga telah menguburkan adiknya hidup-hidup, non Lila, padahal non Lila sudah mengandung dan akan melahirkan!” Dapat dibaca jika di sini konflik antara warga desa dan Dora baru mengemuka manakala kebusukan dalam keluarga tersebut terkuak dan sampai ke telinga warga.
Singkatnya, lingkaran elit menentukan homeostatis dari sebuah komunitas besar pedesaan sehingga bagaimana persoalan dipecahkan tergantung pada lingkaran tersebut, misalnya cukup dengan mengganti elitnya saja dengan elit lain yang lebih “bermoral” dan “tidak korup” (dan dengan begitu mendapat simpati dari kelas bawah), ketimbang relasi struktural yang lebih luas. Inilah mengapa posisi suami Lila unik karena merepresentasikan kelas menengah baru yang berbeda dari keluarga istrinya: ia berasal dari kota, terpelajar, lulusan universitas luar negeri, dan yang lebih penting, ia segera tahu di mana dan siapa yang menjadi sumber masalah.
Di sisi lain, menengok kembali struktur politik Orde Baru ketika negara “berdiri di atas semua golongan”, memegang otonomi yang relatif besar dan cukup independen dari kelas dominan, kelas menengah kota (terutama kalangan intelektualnya) tidak sepenuhnya terserap ke dalam sistem dan bahkan menciptakan moda pembangkangannya sendiri. Mungkin, moralisme di sini boleh jadi merupakan masalah utama sekaligus satu-satunya sarana politik kelas menengah yang efektif (di samping sumber daya yang relatif berlebih, tentunya) di hadapan kelas bawah yang ingin direpresentasikannya. Selain itu juga tentunya batasan-batasan sensor membuat moralisme tidak terhindarkan dan menjadi titik negosiasi antara aparatus sensor dan pembuat film bisa sepakat. Maka tidak heran jika Beranak dalam Kubur akhirnya dapat dibaca sebagai narasi tentang restorasi kelas elit yang serba ambigu.
Pergeseran tipe ideal kelas menengah dalam restorasi itu pula yang nampaknya ikut menyumbang pada “revisionisme” horor Beranak dalam Kubur, terutama dalam kaitannya dengan klenik. Dalam cerita Beranak dalam Kubur, santet dan sejenisnya tidak dikalahkan dengan cara yang sama mistisnya (misalnya oleh doa-doa pemuka agama) melainkan murni oleh tindakan spontan maupun penuh perhitungan karakter-karakter lainnya yang berhadapan dengan Dora: suami Lila dan temannya yang dokter itu, orang-orang desa yang merangsek masuk ke halaman rumah Dora, dan sang bapak yang mendorong Dora dari balkon. Alih-alih digambarkan sebagai bagian yang inheren dalam kosmologi kehidupan penduduk desa, klenik diletakkan sebagai instrumen yang sungguh-sungguh bertujuan rasional (tanpa si pelaku harus “mengimaninya”), sama rasionalnya ketika Dora menyewa jago kampung untuk mengenyahkan suami Lila dan suaminya. Pembacaan yang lazim akan mengatakan bahwa ini merupakan kemenangan kultur modern terhadap klenik (sebagaimana film-film era Orde Baru, dengan menghadap-hadapkan dukun dengan dokter, mau menunjukkan bahwa mistik harus ditinggalkan agar pembangunan dapat tercapai).
Namun, sebuah kesimpulan lain bisa dicapai jika melihat bahwa asisten Dora yang mempraktikkan klenik. Dalam khazanah horor Indonesia, yang sering diasosiasikan dengan klenik macam ini adalah orang desa, sementara orang kota umumnya digambarkan terlalu rasional dan pongah, namun tetap penasaran (contoh yang paling gamblang adalah film-film tentang petualangan sekelompok anak muda ke daerah terpencil yang kental aroma mistiknya, misalnya seri Jelangkung).
Dalam Beranak dalam Kubur, penduduk desa sendiri tidak terlibat dalam segala rupa klenik tersebut, bahkan menjadi korban (seperti yang ditunjukkan oleh adegan seorang petani yang tiba-tiba dililit belasan ular setelah menyelamatkan Lila dari kejaran seekor ular). Singkatnya, hubungan antara Dora dan klenik di sini seperti hubungan antara ancien regime beserta nilai-nilainya (yang dalam hal ini mungkin berupa kelas menengah lama ataupun kultur kolonial) yang sudah ketinggalan zaman dan harus diganti.
Beranak Dalam Kubur | 1971 | Durasi: 96 menit | Sutradara: Awaludin, Ali Shahab | Penulis: Sjumandjaja, Ganes TH | Produksi: PT Tidar Jaya Film | Negara: Indonesia | Pemeran: Suzanna, Mieke Wijaya, Dicky Suprapto, Ami Priyono, Sofia Amang
Tulisan ini merupakan retrospeksi dari salah satu film yang diputar selama Bulan Film Nasional 2011 di Kineforum.