Ayat-ayat Cinta dan Imajinasi Muslim Kosmopolitan yang Gagap

Tangan dingin Hanung Bramantyo adalah alasan mengapa film Ayat-ayat Cinta yang diadaptasi dari novel laris Habiburahman Azzirazi (Kang Abik) menjadi keran pembuka arus film Islami di Indonesia hingga hari iniko.

Selain ditonton 3,7 juta orang, pemutaran Ayat-ayat Cinta sendiri menjelma sebuah peristiwa politik yang unik. Bagi politisi seperti Hidayat Nurwahid, AM Fatwa, Fahri Hamzah, Imam Addarruqthni, hingga Presiden SBY, menghadiri pemutaran Ayat-ayat Cinta adalah cara untuk menunjukkan antusiasme sebagai seorang muslim sejati.

Ayat-ayat Cinta juga menarik perhatian para sarjana dalam dan luar negeri untuk mengkaji Islam dari pelbagai perspektif, mulai dari isu gender dan poligami (Ida, 2010; Brenner 2011; Hoesterey and Clark, 2012; Schmidt, 2014; Sari, 2015; Izharuddin, 2016), konservatisme Islam dan ruang publik (Hakim, 2010; Huda, 2010; Heryanto 2014), serta respons penonton (Anjarwati, 2009; Hariyadi, 2013).

Meski karya Ayat-ayat Cinta mendapat sambutan hangat, Hanung nampak menjaga jarak dari film ini. Setidaknya ada dua indikasi. Pertama, Hanung menutup celah kemungkinan dalam narasi cerita Ayat-ayat Cinta sehingga nyaris mustahil dibikin sekuel. Dalam Ayat-ayat Cinta, setelah mengalami pergolakan dan cinta segi empat (Maria Girgis, Nurul, Noura), Fahri akhirnya tetap menjadi milik Aisha.

Kedua, setahun setelah memproduksi Ayat-ayat Cinta, Hanung menciptakan antitesis tokoh Fahri yang saleh, pintar, baik hati, dan dipuja perempuan dalam film Perempuan Berkalung Surban (2009). Melalui tokoh Annisa (Revalina Sayuti Temat), film ini tidak hanya menggugat struktur patriarki dalam masyarakat muslim Indonesia, tetapi juga membongkar sejumlah kemunafikan yang dibangun lewat simbol agama.

Ketidaksukaan Hanung terhadap novel Ayat-ayat Cinta juga dikuatkan oleh pendapat Ariel Heryanto (2014) yang menyatakan bahwa Hanung tak selesai membaca novel tersebut. Bagi Hanung, membaca novel Ayat-ayat Cinta membuatnya sakit. Ia tak percaya ada tokoh sesempurna Fahri.

Di sisi lain, ada persoalan dalam pemilihan aktor. Dalam proses casting, Kang Abik sering mengintervensi agar Ayat-ayat Cinta dimainkan oleh aktor-aktor yang islami pula. Pilihan Hanung pada Ferdi Nuril tidak hanya mengecewakan Kang Abik, tapi juga para pembaca dan penggemar karya-karyanya. Masalahnya, dalam film sebelum Ayat-ayat Cinta, Fedi Nuril melakukan adegan berciuman dengan perempuan yang bukan muhrimnya.

Negosiasi antara ideologi keislaman dan tuntutan pasar akhirnya membuat Kang Abik dan Hanung menemukan titik temu. Akibat perbedaan visi inilah Hanung tak dilibatkan dalam sekuel AAC. Menurut Manoj Punjabi selaku produser MD Picture, absennya Hanung disebabkan oleh keputusan Kang Abik dan tim produksinya.

Sementara itu, bagi Hanung, tidak ada yang baru dalam skenario Ayat-ayat Cinta 2 sehingga ia tak bisa memotivasi dirinya untuk berdakwah tentang visi-visi humanis Islam—satu alasan yang membuatnya terdorong menggarap Ayat-ayat Cinta. Namun, alasan yang terkuat disampaikan oleh Kang Abik sendiri: ia tak mau sekuel Ayat-ayat Cinta ditangani oleh Hanung. Walhasil, produksi Ayat-ayat Cinta 2 dilimpahkan kepada Guntur Soehardjanto, yang sebelumnya menyutradarai adaptasi novel-novel laris seperti Assalamualaikum Beijing (2014), 99 Cahaya di Langit Eropa bagian 1 dan 2 (2013 dan 2014), Jilbab Traveler: Love Sparks In Korea (2016).

Muslim Komopolit

Ayat-ayat Cinta dibuka dengan adegan seorang perempuan yang berlari menghindari serangan udara di suatu tempat di Palestina. Beberapa menit kemudian, cerita beralih ke Fahri yang tengah menyelesaikan salat di sebuah ruang kuliah.

Seorang pria Eropa (diperankan oleh Nino Fernandez) mencibir Fahri. Menurutnya, Fahri hanya cari perhatian. Meski demikian, bagi dua orang mahasiswi, Layla (Melayu Nicole Hall) dan Lynda (Millane Fernandez), Fahri tak ubahnya lelaki keren yang enak dipandang dan potensial dijadikan pacar.

Pertemuan kelas pertama ini ternyata menjadi ajang debat soal Islam. Seorang mahasiswa mengecam Islam dan mengaitkannya dengan aksi terorisme serta pelecehan terhadap perempuan. Pendapat ini sempat diamini para mahasiswa lainnya. Suara keras laki-laki itu membuat upaya Fahri menjernihkan perdebatan tersebut sia-sia.

Di tengah panasnya diskusi, muncul seorang perempuan yang tak hanya membela Fahri, tapi juga membela Islam. Ia menyebut nama-nama perempuan terpelajar dalam dunia sejarah Islam. Alih-alih ditindas, perempuan-perempuan dalam sejarah Islam ini justru memuliakan Islam itu sendiri. Sang pemuda anti-Islam itu tak hanya terdiam dengan ucapan perempuan muda tersebut, tapi juga terperangah karena argumennya patah.

Di luar kelas, barulah Fahri menyadari bahwa perempuan itu adalah sepupu Aisha yang bernama Hulya (Tatjana Saphira). Ia dikisahkan akan mengambil studi S2, meskipun masih bimbang jurusan apa yang akan diambil. Dari pertemuan inilah cinta Hulya perlahan-lahan tumbuh. Namun, bagi Fahri, tidak ada perempuan di hatinya kecuali Aisha. Hampir setiap ia merenung di tengah kesibukannya mengajar, menjalankan bisnis, ataupun berbuat baik untuk orang-orang di sekitarnya—yang dilakukan Fahri karena teringat nasihat Aisha.

Setelah berkali-kali keguguran, Aisha memutuskan untuk istirahat sejenak menenangkan pikiran. Ia pergi ke Lebanon dan akhirnya jadi relawan di Palestina. Setelah terjebak dalam kontak senjata, Aisha ditangkap tentara Israel. Sejak itulah ia putus kontak dengan Fahri—yang meski jauh di Edinburg tetap mencintai dan menanti kepulangannya.

Dalam sekuel ini, Fahri dikisahkan sebagai seorang muslim yang sukses secara materil. Selain mengajar sebagai asisten profesor dalam bidang Filologi di Universitas Edinburgh, ia yang memiliki sejumlah minimarket yang tersebar di kota itu. Kesuksesan Fahri tidak membuatnya sombong. Ia tetap Fahri yang dulu, saleh dan baik hati. Ia mengangkat Hulusi (Pandji Pragiwaksono), seorang bekas preman yang insyaf, sebagai asistennya. Ia juga menampung sahabat lamanya saat di Kairo dahulu, Misbah (Arie K Untung), yang ingin melanjutkan kuliah di kota tersebut.

Kampanye Anti-Islamofobia

Sepanjang film, kebaikan hati Fahri yang tanpa syarat itu terasa tak wajar. Banyaknya persoalan dari orang-orang di sekelilingnya yang entah bagaimana caranya diselesaikan oleh Fahri. Ia digambarkan selalu mampu memberikan solusi. Bayangkan, ketika tetangganya, Oma Catarina, nyaris kehilangan rumah karena dijual anaknya, Fahri segera menebusnya. Ia bahkan membayari kursus biola Keira, gadis yang memusuhi Fahri hanya karena ia seorang muslim. Adik Keira, Jason, dikisahkan sangat membenci Fahri, sering mencorat-coret mobilnya, bahkan mengutil dari supermarket milik Fahri. Lalu apa yang dilakukan Fahri? Ia mengizinkan Jason mengambil benda apapun asalkan itu dari supermarketnya.

“Untung ada Fahri,” mungkin itulah yang diucapkan orang-orang yang ditolong Fahri.

Guntur selaku sutradara seperti sedang membayangkan Fahri pergi berbelanja di supermarket dengan daftar belanjaan titipan banyak orang. Sambil cemas menunggu Aisha pulang, ia membantu membelikan barang belanjaan orang lain dengan uangnya sendiri tanpa pamrih sampai tugasnya selesai. Walhasil, sosok Fahri tak ubahnya wujud dari pemenuhan hasrat orang-orang di sekitarnya. Alih-alih menguatkan karakter utama, sosok Fahri justru kelihatan hampa. Satu-satunya yang membuat Fahri tetap jadi Fahri adalah kehilangannya akan Aisha.

Interaksi Fahri dengan lingkungan sekitarnya tidak dibangun dengan basis kenyataan yang kuat. Hanya karena latar belakang film ini di luar negeri, penonton ditempatkan sebagai obyek yang pasif, harus menerima begitu saja narasi dangkal yang dibangun dalam film ini. Ketakutan Barat terhadap Islam seakan murni irasional, tanpa punya akar historis—dan Fahri adalah pihak paling rasional yang bisa meluruskannya.

Sebaliknya, orang-orang Eropa digambarkan penuh kedengkian terhadap Islam, sampai akhirnya mereka disentuh oleh kebaikan Fahri. Segala hal yang Fahri lakukan dalam Ayat-ayat Cinta 2 ditujukan untuk mengkampanyekan bahwa Islam tidak sama dengan terorisme di hadapan orang-orang Eropa, yang sejak awal dalam film ini sudah dianggap salah kaprah memahami Islam.

Apa yang terjadi pada Ayat-ayat Cinta sebetulnya tidak baru. Narasi dangkal Ayat-ayat Cinta 2 dapat ditemukan di sebagian besar film di Indonesia dengan latar cerita luar negeri: sama-sama tak membicarakan masyarakatnya, sama-sama tidak paham bagaimana pengaruh masyarakat tersebut terhadap karakter. Film-film Islami dengan latar belakang luar negeri, menurut Hikmat Darmawan (2014), lebih bercerita mengenai “kebanggaan Islam”. Kebanggaan itu dikonstruksi dalam karakter-karakter yang mengajukan kemuliaan identitas diri sebagai seorang di tengah masyarakat asing yang selama ini salah memahami Islam.

Ayat-ayat Cinta 2 gagap memahami Eropa dengan menggampangkan persoalan-persoalan yang dialami masyarakatnya. Misalnya, permintaan Keira kepada Fahri untuk menikahinya, setelah ia mengetahui bahwa selama ini Fahri yang membiayai les biolanya yang super mahal dan membuatnya jadi pemain biola terkenal. Di tengah kuatnya kultur kesetaraan laki-laki dan perempuan serta advokasi feminis yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Eropa, permintaan kawin Keira adalah lelucon.

Selain gagal memahami Eropa, Guntur juga memberikan representasi yang keliru tentang kehidupan akademik. Hal ini juga jelas terlihat dalam sekuens “debat ilmiah” antara Fahri dan seorang profesor tentang tesis “Benturan Peradaban” Samuel Huntington. Tesis Huntington banyak dikritik lantaran memberikan justifikasi atas Global War on Terror—sebuah proyek yang sering disebut para pengkritiknya sebagai “upaya mewujudkan ramalan Huntington”. Dalam sekuens tersebut, Oma Catarina digambarkan masuk dalam perdebatan dan bersaksi bahwa Fahri adalah muslim yang baik.

Persoalannya, bagaimana mungkin memenangkan debat ilmiah hanya dengan dukungan moral alih-alih argumen akademik? Debat ilmiah itu kelihatan mengada-ngada, sekadar untuk mengatakan bahwa pada dasarnya Islamofobia bukan sikap ilmiah. Di sini, sutradara tidak paham apa itu debat akademik yang membutuhkan argumen dengan dukungan informasi, baik itu angka statisik, informasi sejarah, ataupun perbandingan sejarah satu dengan yang lainnya menjadi hal penting. Islamofobia memang bukan sikap ilmiah, tapi juga bukan berarti ia bisa direspons asal-asalan.

Secara keseluruhan, tindakan Fahri sendiri sebetulnya bisa dimaknai sebagai kampanye menepis Islamofobia di lingkup kehidupan sehari-hari. Sayangnya, penonton tidak diberi kesempatan untuk menyelami akar persoalan tersebut melalui penggambaran kompleksitas masyarakat yang ditinggali Fahri. Hasilnya tak hanya kedodoran. Isu Islamofobia pun tereduksi jadi masalah prasangka belaka yang seolah cukup diselesaikan dengan perilaku baik.

Dengan dukungan finansial yang kuat, para pemain bintang, pengantar musik dari musisi ternama, dan modal penonton terdahulu, Ayat-ayat Cinta 2 sebetulnya punya potensi untuk membicarakan Islamisasi ruang publik yang mengeras menuju konservatisme di Indonesia, sekaligus meningkatnya arus kebencian terhadap imigran (tidak hanya muslim) di Eropa. Masyarakat Indonesia perlu diperkenalkan dengan kenyataan bahwa, seperti halnya Islam, Barat bukanlah entitas yang hitam-putih—dua-duanya bahkan tak perlu melulu dipandang sebagai anasir terpisah yang terus berseteru.

Saya mengira film ini akan menjadi sumber kejernihan bagi masyarakat Indonesia untuk melihat kompleksitas komunitas imigran muslim di negara-negara maju dan watak kosmopolitan Muslim Indonesia di tengah tren sekolah di luar negeri. Ternyata tidak. Barangkali Ayat-ayat Cinta 2 justru menjadi gejala menguatnya konservatisme itu sendiri.