Apa yang Dapat Kita Dengar dari Jagal?

jagal-act-of-killing_hlgh

Dalam sejarah perjalanan Republik, satu episode gelap yang masih menjadi perdebatan hingga hari ini adalah Gerakan Satu Oktober. Sejak malam berlangsungnya pembunuhan terhadap jendral-jendral angkatan darat, hingga saat ini telah banyak laporan-laporan yang ditulis guna menjelaskan peristiwa ini.[i] Dalam laporan-laporan resmi, peristiwa Gerakan 30 September adalah upaya untuk menyelamatkan pemerintahan resmi Soekarno dengan menangkap dan menculik jendral-jendral angkatan darat. Bagi Soeharto, yang pada waktu itu diangkat menjadi Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), ketujuh jendral ini merupakan pahlawan revolusi. Dengan segera, Soeharto menyatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI), partai resmi berhaluan komunis terbesar selain Rusia dan Tiongkok, bertanggung jawab atas gerakan ini. Kemudian, gerakan penumpasan PKI menjadi kampanye paling berdarah dimana anggota dan simpatisan PKI dipenjara, disiksa, bahkan dibunuh tanpa dibawa ke pengadilan. Seluruh rangkaian peristiwa ini berlangsung pada tahun 1965.

Semenjak rezim Orde Baru berkuasa hingga runtuhnya pada 1998, negara mengontrol apa yang dapat didengar dan ditonton rakyat, salah satunya melalui media film. Kehadiran film-film yang mengangkat tema 1965 baru marak pasca 1998.[ii] Shadow Play (2001) karya sutradara Chris Hilton mengungkapkan narasi besar yang dibungkam pemerintah mengenai versi G30S yang lain. Film ini menampilkan banyak footage, foto, dan catatan-catatan seputar G30S, serta keterlibatan operasi pembantaian yang dibiayai oleh Amerika Serikat. 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy (2009) karya Robert Lemelson menampilkan wawancara dengan empat keluarga survivor 1965 di Bali dan Jawa Tengah. Melalui kisah para survivor, film ini memberikan gambaran bagaimana para korban berusaha menemukan cara untuk berhadapan dengan tragedi 1965 di masa lalu.

Jagal (Joshua Oppenheimer, 2012), juga dikenal sebagai The Act of Killing, menampilkan suatu sudut pandang berbeda dalam upayanya menceritakan ekses akan sejarah kekerasan ini. Mengambil sudut pandang seorang pelaku bernama Anwar Congo, film ini mengajak kita untuk menjelajahi kembali ingatan para pelaku atas pembunuhan tahun 1965 di Sumatra Utara, utamanya kota Medan. Penelusuran ingatan ini dilakukan dengan tawaran yang sangat menarik. Para pelaku diajak untuk membuat sendiri sebuah film yang menceritakan pengalaman mereka. Dalam film ini, dapat kita saksikan proses produksi sebuah film yang, secara ironis, membawa kita untuk menziarahi kembali kepingan-kepingan ingatan sejarah pembantaian.

Dalam ulasan Ariel Heryanto, Jagal memaparkan apa yang pemerintah Indonesia sejak tahun 1966 tutupi dan hapus dari sejarah dan pengumuman resmi pemerintah, dengan cara yang paling vulgar.[iii] Lebih lanjut, Ariel menanyakan tiga pertanyaan mendasar mengenai Jagal yaitu: metode, etika, dan kebenaran. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita temukan dalam proses produksi film ini.[iv] Pada bagian akhir artikelnya, Ariel mengungkapkan konsekuensi dari film ini. Jika masyarakat Indonesia dapat menonton film ini, maka kita akan melihat berakhirnya propaganda pembunuhan 1965-1966 Orde Baru yang tumbang akibat pengakuan para pelakunya. Sebuah bentuk optimisme penuh harapan yang disematkan kepada film ini.

Bagi Benedict Anderson, perkara penting guna memahami konteks pembantaian yang berlangsung di Sumatra Utara pada umumnya, dan Medan pada khususnya, adalah sejarah sosial kota Medan itu sendiri.[v] Medan menjadi contoh khusus yang menarik dalam mengurai hubungan antara preman dengan Negara. Dalam kasus pembunuhan massal 1965, berbeda dengan pengalaman di Jawa Timur dan Bali, dimana militer merekrut kelas masyarakat yang memusuhi PKI, ketiadaan struktur tradisional kekuasaan di Medan membuat militer merekrut sipil yang sejak lama merupakan kaki tangan tidak resmi dari militer sendiri.[vi] Uraian Ben memberikan suatu latar belakang yang jernih guna melacak sumber rasa tidak bersalah, perasaan kebal hukum, dan kebanggaan diam-diam yang dipertontonkan secara mencolok dalam Jagal.

Dalam tulisan ini, saya berusaha memberikan sedikit catatan yang merupakan hasil pengalaman menyaksikan film ini dalam beberapa kesempatan. Saya menangkap beragam kesan dalam berbagai kesempatan saya menonton film ini. Perjumpaan pertama saya dengan Jagal, yang belakangan saya ketahui, adalah versi 115 menit yang pertama kali diputar pada festival film Toronto. Setelah film ini dapat diunduh secara gratis, atas saran admin resmi film Jagal di media sosial twitter (@Anonymous_TAoK) saya menonton kembali versi 159 menit, yang awalnya diputar di CPH:DOX, Denmark, dan juga merupakan Jagal yang beredar di Indonesia. Menurutnya, versi 159 menit adalah yang pertama dibuat ketika kru utama (sutradara, ko-sutradara, editor, produser, dan lain-lain) sudah puas dengan hasil akhirnya. Versi ini juga merupakan versi favorit dari Werner Herzog yang tersohor itu.

Pihak distributor, yang berpengalaman dalam mendistribusikan film dokumenter independen, menyatakan perlu sebuah versi yang lebih pendek untuk pasar internasional dengan mempertimbangkan susahnya membuat orang non-Indonesia, meluangkan waktu ekstra 45 menit untuk sebuah film yang pertama, dokumenter, kedua, bukan dalam bahasa Inggris, ketiga, dari negara yang tak dikenal, keempat, tokohnya bukan selebritis. Selain itu, masalah teknis penjadwalan bioskop yang slot waktunya hampir semuanya berbasis 120 menit. Kemudian, bioskop dan festival juga lebih banyak memilih versi 115 menit, selain karena pertimbangan komersial/slot waktu, juga karena mengenal kebiasaan penontonnya. Berdasarkan berbagai pertimbangan inilah para kru kembali ke ruang editing demi mengangkat persoalan di dalam film kepada sebanyak-banyaknya orang.[vii]

Bagi saya, capaian Jagal tidak semata-mata membelalakan mata kita tentang sejarah kekerasan massal. Lebih daripada itu, film ini juga memungkinkan dialog antara kita penonton dengan sejarah kekerasan kita di masa lalu. Sinema memungkinkan ruang tutur bagi suara senyap, yang keberadaannya selama ini tunduk di bawah retorika rezim. Kita hanya perlu mengingat satu pertanyaan besar yang diajukan Joshua ketika memulai proyek ini, “Bagaimana masyarakat seperti ini berkembang sampai ke satu titik ketika para pemimpinnya bisa—dan biasa—membicarakan kejahatannya terhadap kemanusiaan dengan diiringi sorak yang segera saja terasa sebagai sambutan hangat tetapi juga dimaksudkan sebagai sebuah ancaman?” Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian awal adalah usaha membaca ulang untuk kemudian menganalisa Jagal. Bagian kedua memuat tentang ‘gerilya pemutaran Jagal’ yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia, baik yang bersifat terbuka maupun terbatas.

gambar_jagal-act-of-killing_03

Paradoks sebagai Montase

“Bung Arsan, atas eksekusi yang saudara lakukan terhadap diri saya, dan menghantarkan saya ke dalam surga, untuk itu saya ucapkan ribuan terima kasih atas kesemuanya itu.” 

Adegan-adegan dalam Jagal, menurut saya, memiliki pesan yang sangat kuat. Kita dihadapkan dengan dua gambaran yang saling bertabrakan satu dengan yang lainnya. Terdapat dua kutub realitas yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya, tetapi berjalan sebagai satu totalitas. Gambaran-gambaran ini, bagi saya, mempunyai pesan yang sangat jelas: paradoks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, paradoks berarti pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran. Paradoks menjadi cara film ini dalam upayanya mengusik kenyataan yang selama ini dianggap sebagai kebenaran. Kategori tunggal pelaku/korban, tindakan membunuh/dibunuh, keadilan/kejahatan, semuanya didudukan kembali guna diperiksa lebih lanjut.

Paradoks hadir dalam rangkaian adegan demi adegan dalam film ini. Taruhlah kita ambil adegan pernyataan Anwar, yang mengaku pada tahun 1965 hanyalah seorang tukang catut karcis bioskop. Dia membenci anggota PKI yang pada waktu itu melakukan kampanye anti film barat. Kampanye itu tentu merugikan Anwar karena menyebabkan jumlah penghasilannya berkurang. Ketika huru hara 1965 berlangsung, Anwar ikut menjadi anggota pasukan kodok dan membunuhi anggota-anggota PKI. Itu dulu. Kini dapat kita saksikan, Anwar dianggap tetua dalam Pemuda Pancasila. Ia dikenal baik oleh Ibrahim Sinik yang merupakan pemilik harian Medan Pos. Gubernur Sumatra Utara Syamsul Arifin menganggapnya Bapak. Ketua PP, Japto Soerjosoemarno menyalaminya dengan hangat. Secara sangat mencolok, gambaran ini menghadirkan sebuah kenyataan yang selama ini berlangsung dalam masyarakat kita. Transformasi yang sangat jelas bagi saya adalah, seorang tukang catut karcis, yang ikut membunuh pada tahun 1965 menjadi seorang preman yang disegani di Medan. Ia punya akses langsung terhadap kekuasaan pemerintahan.

Adegan lainnya adalah pengakuan Ady Zulkadry terhadap pembunuhan yang dilakukannya pada 1965. Dalam satu adegan, ia mengakui perbuatannya. Ia mengkonfrontasi tentang ide pengadilan atas tindakan kejahatan atas kemanusiaan di masa lalu. Ady tidak menampakkan rasa takut ketika diminta untuk menjelaskan pertanggungjawaban atas tindakan yang dulu ia lakukan. Baginya sangatlah jelas, sejarah adalah milik pemenang. Kemudian, kita juga diajak menyaksikan ia beserta istri dan anaknya berjalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan. Gambaran kita tentang sosok pembunuh berdarah dingin sebagaimana yang kita ketahui, rontok saat kita melihat Ady sebagai seorang bapak sekaligus kepala keluarga.

Keberadaan Pemuda Pancasila (PP) sebagai Ormas, anggotanya, Sakhyan Asmara, yang bahkan mampu menjadi deputi Kementrian Pemuda dan Olahraga, dan sambutan mantan wakil presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla dalam acara yang diselenggarakan oleh PP menegaskan paradoks yang hadir dalam film. Tidak berhenti sampai disitu, adegan rekrutmen untuk ambil bagian dalam syuting yang dilakukan di kampung Kolam, suatu wilayah dekat perkebunan lagi-lagi menegaskan paradoks ini. Rekrutmen dilakukan terhadap orang-orang biasa. Latihan akting dilakukan di rumah salah satu warga. Tetangga-tetangga dilibatkan. Ketika latihan berlangsung dan sukses, warga yang menonton bertepuk tangan dengan riuh. Ketika pengambilan gambar dilakukan, hasilnya mencengangkan. Suasana buas yang apik, teriakan-teriakan “Bunuh! Bunuh!” bersahut-sahutan dengan jeritan pemeran korban, disertai pembakaran rumah semakin memanaskan suasana. Setelah pengambilan gambar berakhir, ada warga yang ikut serta mengalami kesurupan. Adegan ini ditutup dengan pidato resmi layaknya pejabat yang dimintai keterangan oleh wartawan, disertai penjelasan yang justru bertolak belakang dengan maksud pengambilan gambar di kampung Kolam ini. Alih-alih bertanggungjawab, ia justru berusaha menyelamatkan mukanya dengan argumen pembenarannya.

gambar_jagal-act-of-killing_01

Deklarasi, Transkrip Tersembunyi

Jagal menjadi penting karena keberaniannya ketika berhadapan dengan kekuasaan. Film ini berusaha menggugat kebenaran tunggal yang selama ini kita paksa untuk telan mentah-mentah. Patut digaris bawahi, usaha ini terkadang membawa kita untuk menyaksikan kebanalan yang mungkin seringkali luput dari perhatian kita. Apakah kita lupa? Capaian signifikan dalam film ini menurut saya ada dalam dua adegan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan kagum saya terhadap keseluruhan isi film ini, saya melihat dua adegan yang menurut saya, berhasil menerobos jauh hingga memberikan ruang bagi suara senyap yang selama ini dibungkam.

Adegan dalam studio di mana Anwar dan kawan-kawannya akan syuting untuk keperluan filmnya. Anwar dan Ady dirias wajahnya dengan riasan luka. Herman dibantu oleh kru film memakai kostum gemerlap. Suryono, tetangga Anwar, mulai berbicara. Secara hati-hati, ia menawarkan idenya tentang adegan seperti apa yang mungkin baik bagi film yang sedang mereka buat.

Suryono: “Tapi kalo mau yang asli-aslinya, saya ceritakan ini lah. Cuman agak sulit Pak, karena memang grosir pada waktu itu. A.. kebetulan di daerah itu, dia Cina satu-satunya. Ini jujur aja ini pak, itu Bapak tiri saya. Jadi saya, si Abun itu Bapak tiri saya. Jadi saya, walaupun Ia bapak tiri, saya ikut, katakanlah dari bayi, dari kecil ikut sama dia. Kira-kira setengah 3 itulah digedor. Orang tua tiri saya itu kan. Tok..tok..tok.. Bun bun, katanya. Kata mama, ojo metu, engkuk bahaya. Jangan keluar. Keluar dia. Begitu keluar, langsung ada suara, tolong katanya kan. Udah terus ga ada suara lagi. Dibawa. Dibawa. Udah kami pun tak tidur sampai pagi.

(offscreen) Umur berapa itu pak?

Suryono: Kira kira 11 atau 12 gitulah mungkin. Udah, udah, udah hapal udah persis. Ini udah ingat kali lah. Dan itu ga mungkin lupa. Jadi mayat terletak, ditutup drum itu kan pak ya, drum itu udah dipotong, jadi melekung gini kan, bagi dua. Inilah ditutupi ini. Sama drum itu, mukak ditutup goni, kaki ditutup goni. Yang satu kakinya gini. Jadi pagi itu juga, ga ada ini, satu pun ga ada orang berani deketin ini Bang. Ya kami tanam kayak kambing aja itu di KM 0 Bandar puluh untuk menuju ke Sigura-gura itu. Disitulah kutanam itu. Kami tanam. Berdua aja sama kakek ya gali lubang, eret-eret, mikul-mikul, berdua aja ama kakek itu. Ga ada yang berani. Ya orang masih kecil kan. Terus masing-masing, seluruh keluarga PKI dibuang. Artinya diasingkan. Kami dibuang ada namanya Pondok Seng dipinggiran hutan. Makanya jujur aja, saya manusianya tak pernah sekolah. Yang begini begini ini jujur aja ni Bang, kucari sendiri. Tak pernah kusekolah jujur aja. Untuk apa kita tutup-tutup kan? Ya itulah adanya. Cuman kita janji ini Bang ya, saya menyampaikan ini tidak mengurangi, ini kita bukan koreksi, tapi hanya sebatas pembuatan film. Kita berjanji tidak mengurangi apa-apa

Herman Koto: “Ya sudah, yang sudah kita buat ini kan sudah direncanakan, sudah diplanning

Kawan Anwar: “Nanti tak habis-habis ceritanya, ini kan ada sejarahnya

Anwar Congo: “Karena, kalo, itu kan sangat ruwet dia, makan beberapa hari tu ya, gini gini lagi, coba kita usahakan supaya ada kaitan kaitan kaitan

Suryono: “Paling tidak menjadi motivasi lah

Suryono adalah survivor. Orang tua angkatnya adalah salah satu orang yang dibunuh pada 1965. Mayat orang tuanya digeletakan begitu saja dijalan di pinggir kampung dan tak ada warga kampung yang berani menguburkan mayat itu dengan layak karena takut. Ia bersama dengan kakeknya, memikul mayat tersebut untuk kemudian menguburkannya secara layak. Ia mengakui bahwa cerita ini sungguh terjadi. Inilah ingatannya tentang peristiwa 1965.

Selanjutnya, dalam adegan Anwar Congo beserta seluruh jajaran anggota PP diundang sebagai narasumber acara dialog khusus di stasiun televisi negeri. Dialog ini membahas pemuda bioskop membuat film untuk mengenang penumpasan PKI. Sementara acara dialog berlangsung di studio, tanya jawab berlangsung antara pembawa acara dan narasumber, riuh tepuk tangan. Di dalam ruang monitor, kru TVRI berbisik dengan jelas.

Kalo dikata ada berapa orang yang dia bunuh ini?”

Huu, ada banyak lah… nggak terhitung ini… seribuan ada dia bunuh. Nggak dihantui kaya gitu? Kan nggak bisa tidur

Tapi ada itu kok jadi gila”

Hmmm, kan ada yang jadi gila

Kemudian ditutup dengan ,”tapi dia nggak jadi gila, jadi kaya

Karena merampok dia

Ya karena perampok kaya lah, yang bunuh bunuh, banyak kali bunuh apa nggak gila…

Pembicaraan yang dilakukan di ruang monitor (tertutup) secara apik menggambarkan bagaimana rahasia umum tetap beredar di masyarakat. Pengetahuan yang tidak berani diungkapkan secara terbuka ini mampu tertangkap kamera dan hadir kepada kita. Dalam kondisi normal, pernyataan ini tentu memiliki implikasi yang tidak kecil. Suara yang dilontarkan ini mewakili bagian mayoritas yang diam dihadapan kekuasaan yang dibangun dengan kekerasan.

Berkebalikan dengan usaha Anwar mengingat tahun 1965, cerita yang dilontarkan secara tidak sengaja ini mengungkapkan sudut lain yang melawan semua ingatan Anwar. Jika ingatan Anwar mewakili para pemenang, maka ingatan orang ini mewakili orang-orang yang kalah. Ingatan orang-orang yang kalah ini menawarkan kepada kita suatu dunia yang lain. Jauh dari hiruk pikuk kekuasaan dan gelimang harta, serta kesenangan lain yang ada pada Anwar. Dalam relasi kuasa antara pemenang dan orang-orang kalah, pengungkapan suara ini mengingatkan kita pada hidden transcript, yang hanya muncul dalam kondisi ketertindasan yang laten.[viii] Karenanya, proses produksi film ini memungkinkan adanya suatu ruang dimana relasi kuasa dominan dinihilkan pengaruhnya, sehingga memungkinan pengungkapan suatu versi kebenaran yang lain. Alih-alih menggambarkan suatu kebenaran tunggal, ingatan para pemenang, beserta usaha glorifikasi terhadapnya menjadi mentah, karena justru mengakomodir kehadiran suara dari kesenyapan ini.

gambar_jagal-act-of-killing_02

Gerilya Menonton Jagal[ix]

Satu lagi aspek film ini yang kiranya perlu saya sampaikan di sini adalah bagaimana distribusi film dilakukan. Apabila di luar Indonesia pemutaran dilakukan secara terbuka, mengundang penonton secara luas, bahkan memenangkan berbagai penghargaan film, kondisi ini berbanding terbalik di Indonesia.[x] Admin resmi Jagal di twitter (@Anonymous_TAoK) secara tegas menyampaikan film ini dapat diperoleh dengan gratis dengan syarat acara pemutaran dilakukan dengan mengundang sebanyak mungkin penonton. Harapannya, agar pemutaran film ini dilakukan secara bersama-sama, sehingga memungkinkan terjadinya diskusi. Mereka menggunakan jejaring media sosial, facebook dan twitter, guna menyebarluaskan informasi tentang pemutaran film ini yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia.

Hal yang menarik untuk dicatat adalah sementara informasi tentang pemutaran ini bisa diakses di media sosial secara terbuka, pemutaran Jagal seringkali dilakukan secara tertutup dan terbatas. Hal ini bukan berarti pembuat film samasekali melepaskan begitu saja filmnya kepada khalayak.[xi] Berbagai usaha ditempuh guna menyebarluaskan Jagal, salah satunya diawali dengan “Indonesia Menonton Jagal”.[xii]

Dalam siaran pers pemutaran perdana Jagal di bioskop, disebutkan laporan sebagai berikut:[xiii]

Film Jagal (The Act of Killing) telah diluncurkan secara resmi di Indonesia pada 1 November 2012. Pada 10 Desember 2012, merayakan Hari HAM Sedunia, film Jagal diputar secara serempak di berbagai kota dari Banda Aceh sampai Jayapura dalam acara “Indonesia Menonton Jagal.”

Sampai hari ini Indonesia masih menonton Jagal, dalam arti filmnya masih diputar, akan terus diputar, tetapi yang memprihatinkan, bahwa Indonesia pada saat yang sama juga masih menonton jagal-jagal itu berkeliaran dengan bebas di luar film. Juga komandan mereka, juga mereka yang menangguk keuntungan dari perbuatan para jagal itu dan memelihara terornya sampai hari ini. Impunitas masih menggejala di Indonesia, dan rezim yang dibangun di atas pembantaian massal 47 tahun yang lalu masih kokoh berdiri.

Program Indonesia Menonton Jagal, dengan mengandalkan inisiatif masyarakat, telah membuka kesempatan bagi khalayak luas untuk menikmati film Jagal melalui pemutaran di 91 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Dua ratus tiga puluh delapan pemutaran tersebut melewati masa krisis yang menegangkan dari satu kecemasan ke kekhawatiran yang lain. Ancaman serangan. Peretasan terhadap situs film Jagal menjadi gangguan rutin. Polisi mendatangi panitia dan meminta pemutaran dibatalkan. Dalam ancaman dan gangguan itulah pemutaran film Jagal terus dilakukan.

Tapi hari ini, 6 Februari 2013, kami ingin mengembalikan film ke tempat selayaknya. Ke bioskop.

Ini adalah sebuah tindakan simbolik kami untuk menunjukkan bahwa ditengah represi, sensor, dan pemasungan pikiran di Indonesia, cita-cita kemerdekaan dan pengungkapan kebenaran tidak boleh mati.

Catatan:
– Film Jagal/The Act of Killing telah diputar dalam 238 kesempatan di 91 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
– Sebagian besar pemutaran dilakukan secara terbatas dan hanya 14 pemutaran sejauh ini dilakukan secara terbuka.
– Pemutaran Jagal dilakukan dalam berbagai skala, dari yang terkecil dihadiri 8 orang sampai yang terbesar dengan 450-an penonton.
– Dari laporan yang masuk, rata-rata pemutaran disaksikan oleh 20-30 penonton.
– Diperkirakan 6.000an orang telah menonton Jagal/The Act of Killing di seluruh Indonesia.

Dalam pemutaran film Jagal pertimbangan utama dilakukan atas dua hal: pertama, sebanyak-banyaknya penonton. Kedua, seaman mungkin. Pada pedoman pemutaran yang pertama ditulis kepada berbagai penyelenggara pemutaran (November 2012 – Juli 2013) berisi,  “Jika harus memilih antara banyak dan aman, selalu pilih aman.” [xiv]

Ada tiga metode pemutaran: pertama, pemutaran terbuka. Sejauh ini terdapat lebih kurang 50 pemutaran terbuka. Setengah dari pemutaran terbuka ini diselenggarakan di kampus. Pada pemutaran terbuka inilah biasanya pihak penyelenggara mendapat hambatan, ancaman, bahkan pembatalan. Meski demikian, hal ini tak menyurutkan usaha pemutaran. Panitia pemutaran di UI misalnya menanggapi berbagai kemungkinan buruk menjawab dengan, “Kami menolak takut.” Sama halnya dengan ReadingRoom yang memutar Jagal secara terbuka sampai 6 pemutaran.

Lebih dari separuh pemutaran terbuka tersebut diadakan sekitar 30 September 2013, menyambut tersedianya unduhan gratis film Jagal di www.actofkilling.com. Sebuah SMU di Jakarta, atas persetujuan guru dan pihak sekolah, tanggal 5 Oktober 2013, secara terbuka memutar film Jagal dua kali sebagai bagian dari sebuah kegiatan siswa yang dipublikasi secara luas dan mengundang pelajar/remaja se-Jabotabek.[xv] Pemutaran di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto didatangi puluhan demonstran PP berseragam loreng oranye yang meminta pemutaran dibatalkan. Panitia pemutaran berhasil membujuk pimpinan demonstran untuk menonton filmnya terlebih dahulu dan berdiskusi dengan ko-sutradara sesudahnya.[xvi] Pemutaran terbuka juga berlangsung di Kupang, Nusa Tenggara Timur.[xvii] Di Medan, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Sumatera Utara melakukan pemutaran film yang disaksikan korban peristiwa 65.[xviii]

Panitia pemutaran film di Malang, yang berusaha mendapatkan izin untuk pemutaran, didatangi oleh intel Kepolisian dan Militer setempat.[xix] Ketika panitia menyatakan keinginannya agar acara pemutaran dilakukan dilokasi yang disetujui oleh pihak keamanan (markas polisi atau militer), pihak keamanan menolak ajakan ini. Pemutaran akhirnya tetap dilakukan kemudian secara sembunyi-sembunyi. Di Blitar, panitia yang sedianya memutar Jagal, didatangi kepolisian yang menanyakan perihal izin acara.[xx] Polisi akhirnya tidak mengizinkan pemutaran dilakukan. Akan tetapi, panitia akhirnya tetap menyelenggarakan acara meski dengan skala yang relatif lebih kecil.

Kedua, pemutaran tertutup. Pemutaran berbasis inisiatif masyarakat, yang tertutup ini, sudah berlangsung sejumlah DVD yang dibagikan, sampai akhir Agustus 2013, 1.096 kali di 118 kota di seluruh Indonesia. Dari Banda Aceh sampai Jayapura, dari Manado sampai Kalabahi lewat Takalar dan Waepo. Pemutaran terkecil dihadiri 5 orang, ditonton dengan sebuah laptop di kamar kos. Pemutaran lain dilakukan di ruang keluarga bersama 8 orang dengan televisi dan DVD player. Ada banyak macam pemutaran. Ada juga yang kemudian menyelenggarakan pemutaran di 8 desa dekat dengan kuburan massal korban pembunuhan massal ’65. Hal inilah yang berlangsung di Pati.[xxi] Usai pemutaran, masyarakat setempat melakukan pembersihan di sekitar lokasi kuburan massal. Banyak juga kelompok, komunitas, kineklub yang mengadakan pemutaran dan diskusi yang dihadiri puluhan sampai ratusan orang.[xxii]

Ketiga, Pemutaran semi terbuka. Pemutaran semi terbuka ini adalah salah satu inovasi dari berbagai pengalaman melakukan pemutaran yang dikembangkan bersama dan ditularkan ilmunya dari satu penyelenggara ke penyelenggara lain. Pengumuman pemutaran akan jelas menyebutkan kota, tanggal, waktu pemutaran, tapi tidak persis menyebutkan di mana. Dengan demikian, secara minimal publik yang berniat untuk menonton sudah bisa meluangkan waktu dengan informasi tersebut. Calon penonton bisa menghubungi panitia, tapi tidak tahu persis siapa panitianya, kemudian, calon penonton ini diminta mengisi formulir yang mencantumkan keterangan pribadi termasuk akun Twitter dan Facebook atau media sosial lain. Panitia melakukan seleksi penonton lewat informasi ini. Mereka menelusuri akun tersebut, untuk melihat apakah akun tersebut adalah akun personal betulan atau akun palsu, melihat fotonya, memonitor status dan tweet untuk melihat apakah mereka adalah calon penonton yang penasaran atau sebetulnya calon perusuh yang berusaha mencari informasi di mana pemutaran berlangsung. Tidak kurang, ada semi-wawancara antara panitia dengan calon penontonnya lewat telepon. Ada panitia yang menempuh jalan sejauh itu untuk menjamin keamanan penonton dan kenyamanan menonton.[xxiii] Hal ini mirip dengan pengalaman pemutaran di Bali. [xxiv] Undangan pemutaran disebarkan secara terbatas dan tertutup. Calon penonton diminta mengirim jawaban email dari pihak penyelenggara. Setelah mendapat konfirmasi tentang acara pemutaran, calon penonton berkumpul terlebih dahulu, untuk kemudian bersama-sama menuju lokasi pemutaran. Pemutaran semi-terbuka ini pada akhirnya memang bisa menjangkau lebih banyak penonton—walau tak sebanyak pemutaran terbuka yang bisa mencapai ratusan penonton—dan pada saat yang sama sejauh ini bisa menjaga keamanan dan kenyamanan penonton.

Pada dua pemutaran yang berbeda, panitia mendapatkan ancaman, bahkan ancaman pembunuhan, lewat surat kaleng lewat email/pesan Facebook. Keduanya tidak menanggapi ancaman tersebut, tapi panitia memindahkan tempat/waktu acara, dan membuat pemutarannya menjadi tertutup.

Di Bandung, acara pemutaran dilakukan di Universitas Parahyangan Bandung dan baru-baru ini dilaksanakan di STSI Bandung.[xxv] Di Yogyakarta, salah satu pemutaran Jagal adalah dalam rangkaian acara film dokumenter di Taman Budaya Yogyakarta. Panitia menjaga pintu masuk, dan menanyai asal penonton sebelum diizinkan masuk ke ruangan tempat pemutaran dilakukan.[xxvi]

Di satu kampus di Yogyakarta, mahasiswa tidak dapat izin dari pihak fakultas untuk memutar film Jagal, akhirnya mereka harus memutar tanpa sepengetahuan dosen di malam hari, dan kucing-kucingan dengan Satpam. Di kampus lain di Bandung, tanpa alasan yang jelas panitia membatalkan sendiri pemutarannya yang sudah terlanjur diumumkan di media sosial. Ketika ditanyakan apakah ada ancaman atau tekanan, mereka mengaku tidak ada tekanan apapun, hanya ada masukan dari pihak-pihak terkait. Di Jawa Timur, pemilik gedung tiba-tiba membatalkan perjanjiannya sepihak tanpa alasan, dan akibatnya pemutaran batal. Ada juga yang gigih sampai harus sewa genset demi memutar film tersebut di tengah perkebunan di Sumatera. Ada juga gerombolan mahasiswa yang harus bolak-balik pindah gedung, bersama rombongan penontonnya mengusung layar dan menggotong sound system karena mati lampu.

Di Surabaya, pada awalnya dua acara pemutaran dilakukan secara tertutup melalui undangan terbatas.[xxvii] Pemutaran pertama berlangsung pada bulan Desember 2012, mengundang dua orang narasumber.[xxviii] Narasumber pertama bercerita bahwa di tahun 1965, bagaimana tiap hari, dia melihat 60-100 orang diambil, kerap disebut juga ‘dibon’, dan tidak kembali. Sampai tahun 1967, kejadiannya terus seperti itu. Di  Surabaya saja, berlangsung penjagalan-penjagalan yang tidak kita ketahui. Misalnya, di dekat rumahnya saja, ada pekarangan rumput di belakang rusun. Di perkarangan yang tampak asri itu, dia tahu ada berbagai orang dijagal dan dimasukkan ke dalam lubang. “Bagi adik-adik yang tidak mengalami, mungkin tidak bisa membayangkan, tapi tadi saya menonton, jadi tidak enak sekali.”

Narasumber kedua menyatakan lebih dari 5 tahun lalu, narasumber kedua bersama seorang peneliti asing, menemui dan mewawancarai berbagai jagal ’65 di Jawa Timur, antara lain di Malang Selatan, Blitar, Banyuwangi, Probolinggo.

Ada beragam perasaan yang tampak dari para penjagal. Ada rasa sesal, ada yang terbata-bata, ada yang kehilangan suaranya, ada yang sangat detil mengingat angka yang dibunuhnya. Ada yang sekarang menjadi penjabat di daerah, atau pejabat agama. Ada banyak pula yang merasa mereka adalah pahlawan. Menurut mereka, kalau mereka tidak melakukan pembunuhan massal itu, negara ini akan hancur. Ada yang membunuh satu keluarga Gerwani, yang sebenarnya masih berhubungan darah dengannya. Dan kemudian ditemukan juga bahwa rata-rata usia pelaku saat melakukan itu masih remaja—ada yang mulai dari usia 17 tahun, bahkan 15 tahun.

Menonton film ini, membuat narasumber kedua merasa marah, sedih, tapi juga kesal karena perasaan tidak berdaya. Narasumber kedua juga menyoroti bagaimana sistemasi rasa terikat itu terjadi. Orang-orang malam-malam diambil, untuk “dibon”, diikat dengan kawat. Sama seperti yang juga terjadi di Sampit, para pembunuh dibawa ke Kyai untuk minum air. Seolah diberi restu, kekuatan, sugesti untuk dapat membunuh tanpa rasa.

Seorang pengunjung dari Blitar, bercerita bagaimana ketika masih kecil dia bisa melihat satu organisasi yang mengatasnamakan agama, setiap subuh mengasah-asah pedangnya. Dan kini, banyak dari orang-orang yang sama, menjadi pemuka-pemuka agama di sana.

Pemutaran kedua berlangsung pada Januari 2013 dengan dua narasumber.[xxix] Narasumber pertama bercerita bahwa ia lahir di awal tahun 1980an, salah satu dari generasi yang mengalami teror penyunatan sejarah, propaganda antikomunisme dan “pembodohan nasional” Orde Baru. Narasumber pertama mencoba memberi uraian singkat apa yang ia ketahui berdasarkan buku-buku dan informasi yang pernah ia baca. Sebagai pelengkap diskusi, ia mengedarkan fotokopi dari liputan khusus majalah TEMPO, Pengakuan Algojo 1965. Yang ditekankan di sini adalah kita tidak bisa sekedar memandang para jagal sebagai “monster” biadab sementara kita tidak. Ada ribuan orang seperti Anwar Congo, dan banyak para pelaku masih masih memeliki hubungan dekat dengan kursi-kursi penting pemerintahan maupun agama, baik dalam tatanan lokal maupun nasional.

Yang perlu dikritisi adalah bagaimana bentuk kekerasan dan kejahatan mengalami normalisasi, menjadi dapat diterima dalam kesadaran umum, dan bahkan berlanjut hingga saat ini.

Kunci utama normalisasi ini, selain dengan melakukan kekerasan dan penyebarluasan ketakutan secara fisik, adalah pembungkaman sejarah dan wacana. Perhatikan bagaimana Orde Baru bisa begitu ketakutan pada Pramoedya, Wiji Thukul, Munir, yang mereka lucuti habis-habisan. Sejarah mengenai 1965 dibungkam, dilenyapkan dari buku sekolah, media massa maupun diskusi publik. Media digerakkan untuk membuat propaganda—semuanya mengingat pengalaman wajib menonton Pengkhianatan G30S PKI. Tidak hanya film ini mencuci otak berbagai generasi Indonesia, keuntungan besar pun dikeruk. Ingat, film ini memakan biaya terbesar dalam sejarah film propaganda di Indonesia, dengan lebih dari 10.000 pemain, dan memberi keuntungan raksasa bagi para pengedar film.

Narasumber kedua bercerita bahwa dia adalah seoang anak kyai, yang dekat dengan komunitas santri. Dia bercerita bagaimana di kalangan teman-temannya pun, ada reaksi resisten. Bagaimanapun, di Jawa Timur dan Tengah, santri banyak dimobilisasi untuk menghabiskan siapapun yang berhubungan dengan PKI. Di sini, ada framing untuk menginternalisasi dan merasionalisasi kekerasan, salah satunya dengan demonisasi, peliyanan PKI sebagai pihak yang kejam berbahaya, dan karenanya harus dihabisi. Normalisasi dan demonisasi ini membuat aksi membunuh PKI menjadi suatu hal kepahlawanan.

Satu peserta bercerita bagaimana dia menyaksikan sendiri beberapa anggota keluarganya, yang kebetulan PKI, dihabisi oleh orang TNI dalam keluarga yang sama. Ada yang melihat orang yang dulu memperkosa berbagai perempuan yang dituduh Gerwani, kini menjadi pemuka agama di kampungnya.  Ada lagi peserta yang kakeknya bergabung dalam Barisan Tani Indonesia (BTI). Ia hampir saja dihabisi, tapi kemudian diselamatkan oleh satu keluarga Ansor. Kakeknya kemudian melakukan “pembersihan citra” dengan memastikan anak-anaknya masuk militer. Ada lain yang bercerita bagaimana di kampungnya di Bojonegoro, kepala desanya bercerita mendapat instruksi untuk wajib menyetor orang untuk “di-PKI-kan”, untuk memberi “setoran” wajib.

Perihal yang ingin saya garisbawahi disini adalah bagaimana ruang-ruang alternatif memberikan ruang tutur bagi suara-suara yang dibungkam rezim kuasa. Film tidak dapat dilepaskan dari situasi sosial yang meliputinya. Akan tetapi sebuah film sendirian tidak dapat mengubah kondisi sosial. Manusialah yang secara aktif, sebagai kreator, distributor, maupun penonton yang membuat perubahan sosial. Reproduksi pengetahuan yang dimungkinkan melalui interaksi pembuat film, film itu sendiri, dan penonton secara langsung menegasikan produksi pengetahuan dominan yang dulunya dimonopoli rezim.

Media sosial memungkinan pertukaran informasi yang tidak terbatas. Sarana ini juga membuka secara luas akses terhadap film ini sendiri. Di satu sisi, hal ini menandakan semakin terbukanya keran informasi yang dulu sangat terbatas. Di sisi lain, ketertutupan ini semakin mempertanyakan posisi kita, bagaimana kita menghadapi masa lalu?


[i] Untuk menyebut beberapa antara lain: Benedict Anderson dan Ruth T. McVey, A Preliminary Analysis of October 1 1965 Coup in Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, 1971, Geoffrey Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik, Yogyakarta: LKIS, 2006 (judul asli The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali, Cornell: Cornell University Press, 1995), Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), Jakarta: KPG, 2000 dan paling akhir, John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Jakarta:Insitut Sejarah SosiaI Indonesia dan Hasta Mitra, 2008 (Judul asli: Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’etat in Indonesia, Madison: The University of Wisconsin Press, 2006)

[ii] Ariel Heryanto mencatat ada 16 film panjang dan pendek, baik fiksi maupun nonfiksi yang mengangkat tema kekerasan 1965. Ariel menekankan dominannya sudut pandang korban dari film-film ini, atau dalam kata-katanya sendiri victim and victimization. Lihat Ariel Heryanto, “The 1965-1966 Killings,” The News Letter, No. 61, Autumn 2012, utamanya halaman 16 dan catatan kaki nomor 3, 4, 5, dan 6—tulisan diunggah pada situs International Institute for Asian Studies.

[iii] Ibid

[iv] Keterangan dalam Catatan Produksi film Jagal, yang diakses pada 21 September 2013.

[v] Benedict Anderson, “Kebal Hukum dan Pemeranan Kembali,” dalam Joram Ten Brink, dan Joshua Oppenheimer (eds), “Killer Images: Documentary Film, Memory and the Performance of Violence,” The Asia-Pacific Journal, Vol. 11, Issue 15, No. 4, April 15, 2013, Made Supriatma menerjemahkan ulang artikel ini—terjemahannya dimuat pada situs Jurnal IndoProgress.

[vi] Ibid

[vii] Wawancara dengan @anonymous_taok pada 5 Oktober 2013

[viii] Konsepsi ini dikembangkan oleh James C. Scott. Lebih jauh lihat karyanya, Senjatanya Orang-Orang Kalah: Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000 (judul asli: Weapons Of The Weak: Everyday Form Of Peasant Resistance, Massachusetts: Yale University, 1985). Juga dari penulis yang sama Domination and the Art of Resistance Hidden Transcripts, Michigan: Yale University, 1990.

[ix] Selain dinyatakan berbeda, ulasan ini berdasarkan wawancara saya dengan @Anonymous_TAoK.

[x] Besarnya antusiasme publik dapat dibandingkan dengan acara Kineforum Jakarta, Sejarah adalah Sekarang 7. Rangkaian acara pemutaran film dan diskusi ini berlangsung pada Bulan Film Nasional, 1-31 Maret 2013. Salah satu program bertajuk Meliput yang Luput. Dengan memutar 8 film pendek, baik fiksi dan nonfiksi tentang kekerasan 1965 yang semuanya dibuat oleh sutradara muda setelah tahun 1998. Animo penonton yang besar membuat panitia penyelenggara sedikit kewalahan. Hasil korespodensi pribadi dengan programer acara. Lebih jauh tentang program acara Kineforum ini dapat disimak pada catatan program pemutaran terkait.

[xi] Satu hal yang perlu saya tekankan di sini adalah, sejak 30 September 2013 film Jagal/The Act of Killing dapat diunduh secara gratis!

[xii] Lebih lanjut lihat “Siaran Pers Indonesia Menonton Jagal

[xiii] Lebih lanjut lihat “Siaran Pers Pemutaran Perdana Jagal di Bioskop”. Untuk laporan pemutaran, lihat “Film Jagal masih Membuat Penasaran Penonton” di situs Tempo.

[xiv] Wawancara dengan @Anonymous_TAoK pada 5 Oktober 2013

[xv] Lebih lanjut lihat “Gema Genta Pemuda Punya Suara

[xvi] Lebih lanjut lihat “PP Banyumas Tonton Act of Killing

[xxi] Lebih lanjut lihat “Film On Indonesia’s 1960s Purges Made Free Online So Nation Can See Its Bloody, Obscured Past”

[xxii] Ibid

[xxiii] Wawancara dengan @anonymous_taok pada 7 Oktober 2013

[xxiv] Korespodensi pribadi dengan panitia penyelenggara Bali pada 22 Maret 2013

[xxv] Lebih lanjut lihat “Berkaca Lewat Jagal

[xxvi] Korespodensi pribadi dengan panitia penyelenggara Yogyakarta

[xxvii] Korespodensi pribadi dengan panitia penyelenggara Surabaya pada 4 Maret 2013

[xxviii] Laporan Pemutaran Jagal Surabaya Desember 2012, korespodensi pribadi dengan panitia penyelenggara Surabaya

[xxix] Liputan Pemutaran Jagal Surabaya Januari 2013, korespondensi pribadi dengan panitia penyelenggara Surabaya