Another Trip to the Moon: Asa Sinema Manasuka

another-trip-to-the-moon-basbeth_hlgh

Ismail Basbeth senang main fisik. Sutradara kelahiran Wonosobo ini gemar memainkan elemen-elemen sinematik—sudut, gerak kamera, bidikan kamera, bingkai gambar, teks dialog—untuk mengecoh prasangka dan perspektif penonton. Penonton diajak—atau dipaksa, tergantung falsafah hidup Anda—untuk mengikuti suatu pola visual yang telah dirancang sedemikian rupa. Dalam dunia Ismail Basbeth, peristiwa tidaklah terlalu berguna sebagai pelayan sebab-akibat cerita. Ia lebih berfungsi sebagai pengantar dari satu trik visual ke trik lainnya.

Perhatikan saja film-film pendek Basbeth. Shelter bertumpu pada long take dua puluh menitan—menyorot sebuah pemandangan manis dua sejoli, sampai sebuah sapuan kamera di akhir film membuka kemungkinan lain akan nasib pasangan tadi. Ritual mengandalkan repetisi—menempatkan penonton sebagai kamera CCTV, mengintip adu kelamin dalam sebuah hotel. 400 Words bermain dengan bingkai kamera—pada bingkai yang lebih kecil kita menyaksikan perdebatan seorang calon pasutri, pada bingkai yang lebih besar kita menengok sebuah produksi film. Paling ekstrem tentunya Who the Fuck is Ismail Basbeth?, video pendek beliau pada 2013. Selama sepuluh menit, kita memandang sebuah kolam renang pada malam hari, sementara teks film ‘asyik sendiri’ melakonkan dialog antara dua penonton.

Another Trip to the Moon, film panjang pertama Ismail Basbeth, tidak terkecuali. Selama delapan puluh menit durasi film, penonton dihadapkan dengan adegan nonsens demi adegan nonsens. Pada satu adegan muncul anjing yang diperankan manusia, lalu ada perempuan makan kelinci plastik, kemudian ada UFO melintas dan mengangkat jenazah dari kuburan. Penonton juga disuguhkan lompatan ruang dan waktu yang sukar dinalar. Pada paruh awal film kita mendapati pemandangan kehidupan ala pra-sejarah; insan-insan berburu ikan di sungai, mencari kayu di hutan, masak di api unggun. Pada paruh akhir film kita mengintip potongan-potongan kehidupan domestik dalam sebuah rumah modern dengan aksesoris Jawa; istri melayani suami, suami asyik sendiri, istri merawat anak.

Benang merahnya adalah petualangan seorang gadis bernama Asa, dari eksilnya di hutan belantara ke rumah tempat tinggalnya. Nama Asa sendiri hanya bisa kita ketahui dari credit title. Sepanjang film, tak terdengar satu katapun yang bisa dimengerti umat manusia. Tak ada dialog, yang ada hanyalah gerak tubuh, suara alam, dan gumaman mantra.

Dari perjalanan Asa, kita mendapat sebuah sketsa tentang perwujudan diri. Jagoan kita hanya benar-benar merasa komplit pada adegan pembuka film, ketika ia terlelap bersama Laras dalam posisi yin dan yang. Keduanya melengkapi satu sama lain, dan oleh karenanya Asa bahagia. Dari berburu ikan di sungai sampai masak di api unggun, ia jalani dengan senyum. Setelah perempuan pujaannya tewas tersambar petir, Asa tak lagi nampak tersenyum. Ia selalu menanti untuk digenapi oleh orang lain—yang ibu Asa coba isi dengan seorang lelaki pilihan dan institusi pernikahan.

Dari perjalanan Asa pula, kita mendapati perkembangan menarik dari cara tutur Ismail Basbeth. Film-film pendek Basbeth cenderung berkomunikasi secara kontekstual, selalu ada kesempatan bagi penonton untuk mencari padanan dari apa yang penonton lihat dengan hal di luar sana. Film selalu bermula dengan sebuah kejadian sehari-hari, yang saking biasanya kejadian itu kita sebagai penonton sudah punya prasangka sendiri—laki-laki dan perempuan asyik masyuk di kursi belakang bus dalam Shelter, perselingkuhan di sebuah hotel dalam Ritual, debat persiapan nikah dalam 400 Words, dan percakapan saat nonton film dalam Who the Fuck is Ismail Basbeth?. Beberapa menit dan trik visual kemudian, barulah kita penonton diminta atau dipaksa untuk berpikir ulang tentang prasangka kita di awal film.

Dalam Another Trip to the Moon, Ismail Basbeth dengan tegas menggariskan bahwa filmnya terjadi dalam realita sendiri yang terpisah dari realita kita sehari-hari. Ia campurkan artefak-artefak budaya pop dengan legenda nusantara, tanpa memberi satupun penjelasan dalam film. Ia comot sana-sini lalu sambung sesuka hati untuk menyusun realita Another Trip to the Moon. Basbeth nampaknya sadar betul bahwa sinema adalah realita bentukan; bahwasanya ketika pembuat film merekam subjek yang sangat riil sekalipun, pada akhirnya subjek itu tetap dibingkai dalam perspektif yang pembuat film inginkan.

Memang ada saja elemen-elemen dalam Another Trip to the Moon yang mengingatkan kita akan hal-hal di luar sana. Anjing-setengah-manusia yang mengintai Asa mengingatkan akan legenda Dayang Sumbi, UFO yang mengangkat jenazah Laras mengingatkan akan gambaran superior being dalam film-film sains-fiksi, ritual pemanggil petir yang dilakukan ibu Asa mengingatkan akan ritual santet di nusantara, dan sebagainya. Tapi, dalam Another Trip to the Moon, semuanya hadir tanpa beban-beban kontekstual tersebut. Mereka hadir sebagai dirinya sendiri dan tidak merujuk ke mana-mana, kecuali ke dunia yang dibangun Ismail Basbeth.

Konsekuensinya bercabang. Pada satu sisi, realita manasuka Another Trip to the Moon memungkinkan penjelajahan estetis seliar-liarnya. Dunia sendiri, logikanya so pasti beda lagi. Penonton jadinya tidak perlu repot bertanya kenapa begini kenapa begitu, cukup fokus pada beragam rasa yang Asa lalui sepanjang petualangannya. Penonton tak perlu ambil pusing kenapa setelah kematian Laras kelinci yang Asa buru di hutan mendadak jadi kelinci mainan, cukup selami rasa kehilangan Asa pasca ditinggal kekasihnya. Tanpa si dia, santapan sehari-hari tak lagi terasa sama. Tidak usah juga bingung-bingung dengan kemunculan bus pariwisata tepat ketika Asa keluar dari hutan, cukup ikuti gegar budaya yang Asa alami ketika harus terpaksa keluar dari zona nyaman di hutan untuk masuk dalam kehidupan domestik. Puitis, melankolis.

Pada sisi lain, realita manasuka Another Trip to the Moon menjadikan gagasan dalam film ini ikutan terserak. Kecuali sketsa generik tentang perwujudan diri yang dilalui Asa, tak ada gagasan yang benar-benar ditekankan dalam film ini. Dikotomi antara alam bebas dan rumah urban, yang mendasari penuturan film, lebih banyak berfungsi sebagai kontras audiovisual. Memang ada sedikit polemik perihal tentang kewajiban domestik yang kerap membebani perempuan, yang menghantui Asa—dalam wujud petir kiriman ibunya—bahkan ketika ia eksil di hutan bersama Laras. Selain klise, polemik itu sayangnya juga tak berujung pangkal. Sebagai ruang hidup, kemungkinan apakah yang hutan belantara tawarkan sebagai alternatif kehidupan domestik? Apakah ini artinya perempuan hanya bisa bebas dengan melepaskan atribut-atribut peradaban?

Kejanggalan-kejanggalan visual yang hadir dalam Another Trip to the Moon juga tak banyak membuka ruang bahasan. Kehadiran anjing-setengah-manusia menjemput Asa, kemunculan UFO mengangkat jenazah Laras di hutan, dan transformasi kelinci betulan ke kelinci mainan nyatanya tak lebih dari kosmetik sinematik—versi luar biasa dari peristiwa yang sebenarnya biasa. Bisa dibilang, selain eksplorasi estetis, Another Trip to the Moon tidak menawarkan kedalaman lain. Segalanya serba permukaan, serba sambil lalu.

Tak dapat dipungkiri bahwa realita manasuka dalam Another Trip to the Moon, entah sengaja atau tidak, menghadirkan suaka tersendiri bagi pembuat film. Segala upaya pemaknaan akan selalu kandas pada alasan “ah itu kan permainan simbolik saja” atau “kembali ke penonton masing-masing”. Pada akhirnya, satu-satunya hal yang semua penonton bisa nikmati dari Another Trip to the Moon adalah perpaduan gerak pemain dan elemen sinematik yang memang apik itu. Lebih dari itu, ya, kembali ke penonton masing-masing.

Lantas, apakah salah apabila suatu film hanya bermain di permukaan? Apakah salah kalau suatu film hanya ingin menawarkan rasa? Tidak juga. Nyatanya butuh kecakapan dan ketekunan tersendiri untuk mengolah elemen sinematik secara konsisten seperti yang kita saksikan dalam Another Trip to the Moon. Sinema manasuka juga butuh rencana, dan untuk itu Basbeth dan kawan-kawan perlu kita apresiasi. Setiap elemen dalam film punya perannya sendiri, sesederhana apapun itu, yang terhubung dengan elemen-elemen lainnya.

Bisa dibilang, dalam filmografi Ismail Basbeth sejauh ini, Another Trip to the Moon adalah puncak dari fasenya bermain-main dengan kemasan sinema. Tapi, patut dicatat, bahwa sinema tidak saja soal kemasan tapi juga gagasan. Semoga petualangan Basbeth setelah ini membawanya ke persinggahan-persinggahan yang lebih beragam.

Another Trip to the Moon (Menuju Rembulan) | 2015 | Durasi: 80 menit | Sutradara: Ismail Basbeth | Produksi: Bosan Berisik Lab | Negara: Indonesia | Pemeran: Tara Basro, Ratu Anandita, Cornelio Sunny, Endang Sukeksi, Mila Rosinta Totoatmojo, Hounde von Lawu, Sarwanti, Melinda, Yunita