Anggun Priambodo, Rocket Rain, dan Keluarga

wawancara-anggun-priambodo_hlgh

Tahun 2013 menjadi perkenalan khalayak nusantara dengan Anggun Priambodo di dunia film. Ia berperan sebagai salah seorang siswa di sekolah luar biasa dalam What They Don’t Talk About When They Talk About Love. Film garapan Mouly Surya ini masuk kompetisi Sundance dan beredar selama dua minggu di jaringan bioskop nasional.

Meski begitu, kiprah Anggun dalam dunia film tidaklah sependek itu. Sebelumnya, pada tahun 2010, laki-laki lulusan Desain Interior Institut Kesenian Jakarta ini terlibat dalam Belkibolang. Ia menyutradarai segmen Tokek dalam omnibus yang terdiri dari delapan film pendek itu. Adapun, dalam omnibus yang sama, ia berperan dalam film pendek Roller Coaster yang disutradarai Edwin. Sebelumnya lagi, pada tahun 2008, ia terlibat dalam 9808: Antologi 10 Tahun Reformasi Indonesia. Dalam omnibus yang dibuat untuk memperingati satu dekade reformasi itu, laki-laki kelahiran 16 Mei 1977 ini memproduksi film pendek berjudul Di Mana Saya?, menceritakan pengalaman sejumlah orang saat puncak peristiwa Mei 1998 terjadi.

Kiprah Anggun juga tidak terbatas pada dunia film. Sebelumnya ia akrab dengan video art dan seni rupa. Tahun 2011 silam, video Anggun yang berjudul Sinema Elektronik terpilih sebegai pemenang Bandung Contemporary Art Award, bersaing dengan 400 karya seni rupa kontemporer lainnya. Tahun 2013 kemarin, instalasinya yang berjudul Toko Keperluan dipamerkan pada Singapore Biennale. Anggun juga pernah bekerja sebagai sutradara video musik. Pada tahun 2003, Anggun bersama Henry Foundation meraih penghargaan Sutradara Terbaik pada ajang MTV Indonesia Music Video Award untuk videoklip lagu Train Song karya LAIN.

Rocket Rain menandai titik baru dalam perjalanan Anggun Priambodo sebagai seorang seniman. Pada film panjang pertamanya ini, Anggun berlaku sebagai sutradara sekaligus pemeran utama. Redaksi Cinema Poetica berkesempatan mengobrol dengan Anggun di sela-sela acara Film Musik Makan di Goethehaus, 1-2 Maret 2014. Kebetulan di acara ini juga, Rocket Rain diputar untuk pertama kalinya di Jakarta, setelah sebelumnya tayang perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada Desember 2013. Selama satu jam lebih, Anggun bercerita tentang motif-motif dalam Rocket Rain, inspirasi di baliknya, proses kreatif yang terjadi selama produksi, dan sikapnya dalam berkarya.

ADRIAN JONATHAN: Gue menangkap pola yang konsisten sepanjang Rocket Rain, yakni curhat cowok. Adegan tokoh Culapo [diperankan Anggun sendiri] dan Jansen [diperankan Tumpal Tampubolon] mengobrol malam-malam, bercerita tentang masalah mereka satu sama lain, terus hadir dari awal sampai akhir film. Titik berangkatnya masalah pernikahan dan keluarga, terus berkembang ke masalah-masalah lain seperti seks dan pekerjaan. Berkat adegan-adegan itu, gue menemukan bingkai untuk melihat adegan-adegan lain dalam film. Berkat adegan-adegan itu juga, Rocket Rain tampil sebagai film yang sepanjang keseluruhannya mempertanyakan perihal kehidupan laki-laki, perihal maskulinitas. Kenapa topik ini jadi penting buat lo angkat dalam Rocket Rain?

ANGGUN PRIAMBODO: Sebenarnya, sebelum akhirnya berkembang ke masalah seks dan pekerjaan, gue berangkat dari perpisahan. Itu inti dari curhatan Jansen awalnya. Ia bicara tentang nasib pernikahan dia, yang sudah berlangsung selama lima sampai enam tahun dan sekarang kini berada di ambang perpisahan. Gue pun sedang mengalami apa yang Jansen curhatin waktu nulis dan punya ide itu. Menjadi penting karena ketika gue bertanya sebenarnya apa sih yang ada dalam diri gue, yang mendominasi isi pikiran gue. Setelah gue urai satu-satu, ketemu, ternyata soal keluarga. Juga soal relasi—hubungan dengan teman dan orang-orang di sekitar, hubungan antara laki-laki dan perempuan, hubungan antara laki-laki dengan sesamanya. Keluarga jadi dominan di kepala gue, karena bisa dibilang gue masih berkeluarga. Gue punya anak satu, walaupun gue udah pisah dengan istri gue.

Pikiran soal keluarga ini yang baru gue sadari terus menemani gue berkarya selama ini. Selain gue mikirin bagaimana bikin karya, gue ternyata juga mikirin terus bagaimana caranya handle keluarga. Dan itu rumit. Butuh ilmu khusus soal mengurus keluarga, dan dari situ juga gue baru sadar butuh ilmu khusus pula untuk menangani hubungan antarmanusia, antara laki-laki dan perempuan, antara laki-laki dan laki-laki. Itu menjadi PR yang sebenarnya ada, tapi jadi keliatan nggak keliatan karena seringnya dipikirin sendiri, diomongin sendiri. Diomongin sendiri mungkin juga nggak ya, mengingat kalau gue perhatiin cewek-cewek nongkrong dan ngobrol, pasti soal keluarga yang diobrolin, selain masalah pekerjaan dan lain-lain.

Rocket Rain bisa dibilang muncul dari kondisi gue yang seperti itu. Kebetulan pas kepikiran bikin film, kebetulan juga kepala gue lagi sibuk dengan perkara keluarga. Gue coba susun pikiran-pikiran gue selama ini soal keluarga jadi sinopsis suatu cerita, cerita buat film. Selagi gue menyusun apa saja yang kira-kira perlu masuk dalam Rocket Rain, gue pun menjalani realita dalam keluarga gue pribadi sehari-hari. Muncul ini muncul itu. Naskah Rocket Rain berkembang bersama peristiwa-peristiwa yang gue lalui itu.

ADRIAN: Lo yang punya ide Rocket Rain, lo juga yang menyutradarai. Di kredit film, Tumpal tercatat sebagai penulis naskah. Tumpal juga hadir dalam film sebagai lawan main lo. Bagaimana proses kreatif yang terjadi antara kalian berdua dalam mengembangkan film ini?

ANGGUN: Gue butuh orang yang bisa menulis skenario, juga orang yang bisa bikin gue cukup nyaman untuk berproses bareng. Di lingkaran terdekat gue, ada Tumpal yang sangat memenuhi kebutuhan-kebutuhan gue itu. Gue tahu dia punya kemampuan untuk menyusun skenario cerita dengan penuturan yang rapi, jauh lebih rapi dari yang gue mungkin lakukan. Gue juga nyaman dengan dia. Kami berteman dekat dan akrab.

Pas gue ajak Tumpal buat Rocket Rain, gue baru tahu kalau dia belum pernah punya pengalaman berpasangan. Dia belum berkeluarga, belum pernah pacaran juga. Itu yang agak repot buat gue. Bagaimana dia bisa merasakan atau membayangkan yang gue jalanin. Jadilah kami selalu bertemu untuk urusan Rocket Rain dengan alat rekam suara. Gue ceritain sejarah semua hubungan yang pernah gue lalui, dari pernikahan gue, keluarga gue, teman-teman gue. Gue transfer semua cerita gue ke dia. Dia merekam. Dari rekaman itu, Tumpal kemudian memilah mana yang bisa masuk Rocket Rain. Sebenarnya gue udah tahu apa yang mau disampaikan lewat Rocket Rain, tapi gue perlu Tumpal untuk merapikan itu semua untuk jadi satu penuturan yang utuh.

Karena proses seperti ini, gue bisa bilang kalau dialog dalam Rocket Rain itu persis dengan kata-kata yang gue ucapkan dan dengar dalam peristiwa-peristiwa yang gue alami. Beberapa orang, setelah menonton Rocket Rain, menyangka gue improvisasi sepanjang film. Padahal tidak begitu juga. Peristiwa yang gue lalui aslinya memang semengalir itu, dan itu yang tertuang dalam naskah.

Anggu Priambodo, Tumpal Tampubolon, dan Rain Chudori bermain hompimpa
Anggun Priambodo, Tumpal Tampubolon, dan Rain Chudori bermain hompimpa

ADRIAN: Dalam Rocket Rain, ada tokoh Rain [diperankan Rain Chudori] dan Pak Kancil [diperankan Narpati Awangga alias oomleo] yang menemani perjalanan tokoh Culapo dan Jansen. Gue melihat tokoh Rain dan Pak Kancil sebagai dua kutub yang ekstrem. Tokoh Rain hadir sebagai individu yang bebas, hasrat yang tak tertahankan, kepolosan yang tak tersensor. Segala yang dia lakukan serba impulsif dan seakan-akan abai terhadap konsekuensi. Tokoh Pak Kancil kebalikannya. Dia suami orang, juga seorang pekerja. Dia patuh dan punya komitmen terhadap semua itu. Gue jadinya melihat perjalanan tokoh Culapo dan Jansen sepanjang Rocket Rain seperti pendulum: mereka berayun ke ekstrem Rain, lalu ke ekstrem Pak Kancil, dan saat berayun-ayun itu Culapo dan Jansen mencoba memahami semuanya. Kenapa lo memilih bentukan tokoh seperti Rain dan Pak Kancil untuk menemani Culapo dan Jansen berproses sepanjang Rocket Rain?

ANGGUN: Tokoh Rain hadir dan muncul seperti itu karena memang pada kenyataannya ada tokoh perempuan seperti itu yang menemani kehidupan si Culapo. Waktu Culapo pisah dan jadi single, dia sebenarnya punya kesempatan untuk dekat dengan seseorang lain. Sosok perempuan ini yang gue coba tampilkan lewat tokoh Rain di Rocket Rain. Dia datang seperti itu, hilang seperti itu. Sosok perempuan yang hadapi pada waktu itu ya seperti itu. Jadi gue membayangkannya, semenjak Culapo pisah, ada trauma tersendiri. Mungkin bukan trauma juga bilangnya, anggaplah perspektif baru yang si Culapo dapatkan dalam berhubungan, juga ditambah dengan tanggungjawab Culapo terhadap anaknya. Itu perspektif-perspektif yang Culapo alami. Dan itu berpengaruh ke cara Culapo dekat dengan cewek. Ada perempuan baru masuk, nempel, dan keduanya santai saja. Kenyataannya memang begitu.

Soal sosok Rain Chudori sendiri, yang gue minta untuk memerankan tokoh Rain, itu karena memang gue mau mengajak Rain Chudori buat main film. Soal dia masih terlihat muda, masih terlihat seperti anak kecil, itu tidak jadi soal buat gue. Gue juga nggak datang ke dia dan bilang, “Rain lo nanti dandan ya biar kelihatan sepuluh tahun lebih tua.” Bukan itu fokusnya, bukan ke penampilan fisiknya, tapi interaksi yang terjadi antara tokoh yang dia perankan dengan tokoh Culapo.

Kalau Pak Kancil, nah dia menjadi tokoh laki-laki di luar Culapo dan Jansen. Sepanjang film, lo liat si Culapo dan Jansen curhat berdua terus-menerus, tapi ada Pak Kancil yang juga laki-laki hadir di sekitar mereka. Apa kabarnya dia nih? Makanya, pas filmnya mulai masuk ke keluarga Pak Kancil, muncul satu alternatif lagi, alternatif kehidupan laki-laki di luar kehidupan yang dijalani Culapo dan Jansen. Dan gue memang meniatkan Pak Kancil berperan seperti itu dalam Rocket Rain. Dalam cerita-cerita Culapo dan Jansen, yang nampak kan kehidupan pernikahan versi “rumit”, hubungan yang ada di ambang perpisahan. Ketika melihat Pak Kancil, kita melihat fungsi keluarga terjadi di situ, kita melihat hal-hal yang tak mungkin terjadi dalam kehidupan Culapo maupun Jansen.

ADRIAN: Dalam Rocket Rain, ada beberapa dialog yang membandingkan fungsi keluarga dalam dunia manusia dan dunia hewan. Dan ada satu bagian film yang menampilkan penyu bertelur di pantai. Dari semua kemungkinan hewan yang bisa lo pakai, kenapa lo pilih penyu?

ANGGUN: Karena gue mau bicara soal curangnya laki-laki. Kalau di dunia singa, yang ngurus anak itu singa betina. Si singa jantan biasanya berkelana sendiri, punya waktu sendiri, dan bisa pergi dan kembali sesuka hati. Pola seperti itu kejadian juga di binatang-binatang lainnya, dan yang jantan pasti cabut. Keluarga manusia juga ada yang begitu kan. Ada yang tinggal mengurus anak, ada yang pergi berkelana. Ada juga keluarga yang menjaga supaya tidak terjadi seperti itu. Penyu juga begitu. Setelah telur-telur mereka menetas, si jantan tinggal dengan si betina untuk mengurus anak.

ADRIAN: Lo memerankan tokoh Culapo dalam Rocket Rain, yang pada dasarnya adalah memerankan diri lo sendiri. Apakah memang sejak awal lo berencana untuk melakukan itu?

ANGGUN: Iya. Sejak awal kepikiran Rocket Rain, gue memang sudah berencana untuk memerankan diri gue sendiri.

ADRIAN: Nah, bagaimana dengan tiga tokoh lainnya? Bagaimana sih pendekatan lo membawa Tumpal, Rain, dan oomleo untuk masuk ke tokoh-tokoh yang mereka harus perankan?

ANGGUN: Pas cari pemain, gue memang tidak berpikir dalam tataran jebolan akting. Tidak kepikiran lebih tepatnya, karena memang gue tidak punya banyak referensi soal itu. Gue lebih melihat orang-orang yang gue temui setiap hari, memperhatikan sosok-sosok yang gue anggap menarik dan memang punya “karakter” dalam keseharian mereka.

oomleo sehari-harinya begitu. Melihat karya-karya dia, kita kadang nggak perlu bicara banyak buat jelasinnya. Cukup bilang itu “oomleo banget”. Dia seunik itu, setidaknya di mata gue. Ditambah lagi dia suka nulis, bikin karya, dan segala macam, gue makin percaya untuk ajak dia main film. Lalu, ada Rain Chudori. Melihat apa yang dia tulis, memperhatikan kalau lagi ngobrol bareng, Rain jadi sosok yang menarik di mata gue. Seperti oomleo, Rain udah jadi tokoh yang utuh dalam kesehariannya, udah punya “karakter”.

Mungkin, alasan kenapa dua orang ini bisa bikin gue bisa percaya sebegitunya adalah karena mereka biasa menulis—dan tulisannya gue suka. Gue yakin karena mereka biasa menulis, mereka pasti bisa juga membayangkan dan melakukan apapun yang mereka harus lakukan untuk Rocket Rain. Tokoh Jansen juga begitu. Aslinya bukan Tumpal yang gue mau ajak main, ada satu orang lagi tapi sayangnya dia tidak bisa. Orang itu juga penulis. Setelah orang itu bilang nggak bisa dan gue cari-cari cari-cari orang buat tokoh Jansen, gue kepikiran Tumpal. Gue setiap hari ketemu dia, gue selama ini berproses buat Rocket Rain bareng dia, dan dia juga bisa nulis. Jangan-jangan memang dia nih orangnya. Gue perhatiin lagi Tumpal. Figurnya cocok banget buat menampilkan kondisi laki-laki macam Jansen. Gue tawarin dia, dia sempat ragu karena merasa tidak punya keahlian di bidang pemeranan, tapi gue bilang nggak masalah. Jadilah Jansen diperankan Tumpal.

Narpati Awangga alias oomleo, Anggun, dan Amalia Trisnasari saat syuting
Narpati Awangga alias oomleo, Anggun, dan Amalia Trisnasari saat syuting

ADRIAN: Dari tadi kita mengobrol soal Rocket Rain, gue banyak mendengar cerita personal lo. Bisa dipahami mengingat film ini berangkat dari kisah pribadi lo, sebagaimana yang lo sudah jelaskan tadi. Nah, apakah kondisi yang ideal buat lo berkarya adalah saat lo sudah punya ikatan personal atau setidaknya ikatan emosional dengan materi yang lo olah?

ANGGUN: Pas lo nanya ini, gue langsung keinget banyak karya gue lainnya yang memang lahir dari kondisi seperti itu. Jadi gue bisa jawab iya. Sebagai seniman, gue pengennya apa yang gue bikin berasal dari apa yang gue alami. Biar karyanya jujur, biar tidak mengada-ada.

Tema keluarga dan pernikahan muncul dari Rocket Rain karena gue memang pernah mengalami itu. Begitu juga dengan banyak karya gue lainnya. Gue mengkaryakan hal-hal yang pernah gue alami sendiri. Jujur banyak tema, topik, atau peristiwa yang menarik perhatian gue. Tidak sedikit juga dari semua hal-hal itu yang bisa gue karyakan. Tapi, gue merasa kurang jujur apabila mengerjakan sesuatu yang gue cuma baca atau ketahui tapi tidak gue alami. Paling gue cuma memberikan perspektif untuk hal yang gue ketahui, atau bisa jadi malah cuma berhenti di permukaan. Untuk mendalaminya dan mengolahnya jadi karya, gue juga harus mengalaminya, tidak boleh berjarak. Tantangannya buat gue sebagai seniman, gue berarti nggak boleh “miskin pengalaman”.

Pas gue mengerjakan Rocket Rain sampai selesai, banyak pengalaman baru yang terjadi dalam kehidupan pribadi gue. Gue jadi melihat lagi diri gue dan di mana posisi gue sebenarnya dalam perkara keluarga yang selama ini gue lalui. Selama nulis Rocket Rain, gue udah yakin film ini bakal jadi “sesuatu”. Maksudnya “sesuatu” itu gue yakin film ini bakal punya dampak psikologis tersendiri ke gue dan orang sekitar gue. Masalahnya, gue tidak tahu “sesuatu” itu apa dan itu yang terus gue gali sepanjang bikin Rocket Rain: karya ini bakal menyakitkan nggak buat gue? Bakal berdampak buat siapa di sekitar gue? Bakal menyakitkan nggak buat mantan istri gue? Bakal menyinggung keluarga mantan istri gue nggak?

Gue kasih naskah draft kedua Rocket Rain ke mantan istri gue. Dia kaget bacanya. Jujur sekali katanya. Tapi dia tahu diri gue seperti apa dan tidak apa-apa ini difilmkan. Dengan begitu juga Rocket Rain bisa dibilang adalah terapi pengobatan buat gue. Logikanya: dengan menarik cerita ini ke film, gue bakal sering menulis tentang itu, gue bakal sering mencoba mewujudkan itu dalam gambar dan suara. Artinya: semakin sering gue melakukan itu, semakin fasih pula gue tentang masalah ini, semakin paham. Gue jadi merenung apa sih salah gue selama ini? Apa sih masalah dalam hidup gue? Kapan sih yang disebut masalah itu jadi masalah buat gue? Dari karya yang gue buat itu, gue jadi semakin paham.

ADRIAN: Lo selama ini berkarya di seni rupa dan video art bisa dibilang hampir sendirian. Jarak dari lo mikirin konsep karya sampai lo bikin karya tidak harus melewati banyak orang. Bisa jadi malah cuma lo doang yang terlibat selama proses pembuatan karya. Dalam film, tuntutannya kan beda. Medium ini melibatkan banyak orang dalam produksinya—ada produser, penulis naskah, penata kamera, penyunting gambar, dan entah berapa banyak lagi pekerja lainnya. Rocket Rain bisa dibilang adalah kisah dan pemikiran pribadi lo yang kemudian terolah lagi di kepala dan tangan banyak orang lainnya. Nah, bagaimana pengalaman yang terjadi saat lo mengolah Rocket Rain bersama tim lo?

ANGGUN: Gue sejujurnya mikir hal yang sama juga pas mau buat Rocket Rain. Dengan membuka kemungkinan kerjasama dengan banyak orang, artinya juga membuka kemungkinan terjadinya pertukaran gagasan yang lebih banyak. Meski begitu, Rocket Rain untuk film layar lebar terhitung kecil tim kerjanya. Total ada sekitar dua puluh sampai dua puluh lima orang. Pas syuting, ada lima belas dari Jakarta. Sisanya, kawan-kawan kami di Bali.

Gue pribadi pun memang berniat untuk bekerja dengan tim yang kecil. Ada dua alasan. Pertama teknis banget alasannya: bujet. Kedua, dengan tim yang kecil, gue mengharapkan setiap orang dalam tim punya inisiatif untuk berkarya di bidangnya masing-masing, supaya masing-masing orang bisa independen dalam apa yang ia kerjakan.

Kondisinya begini: beberapa dari tim gue ada yang sudah berpengalaman produksi film panjang dalam tim yang besar. Dalam suasana produksi macam itu, inisiatif berkarya seringkali by order, dari atas ke bawah. Nah, gue nggak mau begitu. Rocket Rain memang cerita personal gue, tapi gue juga mau karya ini jadi karya yang personal buat masing-masing orang yang terlibat di dalamnya. Memang gue juga harus paham fakta bahwa tidak semua orang dalam tim Rocket Rain pernah mengalami apa yang gue alami. Tapi, setidaknya gue berharap bahwa apapun yang muncul dalam film nantinya adalah hasil dari tafsir masing-masing orang itu terhadap cerita Rocket Rain, hasil dari pemikiran mereka sendiri, bukan dari perintah gue. Perintah itu bukannya tidak ada, ada, tapi gue memberi ruang sebebas-bebasnya buat kawan-kawan yang lain untuk berkreasi sendiri.

Ibaratnya, kalau pakai istilah anak band, produksi Rocket Rain itu gue dorong supaya jadi jam session. Karena lo gebuk drumnya begitu, gue respons pake gitarnya begini. Semacam itu. Jadinya gue juga ya jadi nggak banyak tanya ke Lia [Amalia Trisnasari], misalnya, kalau sudut atau gerakan kamera yang dia pakai seperti apa. Atau, gue juga cukup jelasin konsep dasar Rocket Rain ke Ari [Satria Darma] sama Mehdi [Amrullah], biar mereka yang berpikir bagaimana nanti bentuk animasinya. Gue sama sekali nggak bilang “penis” atau ada harus gambar penis di animasi, tahu-tahu muncul gambar penis di animasi Rocket Rain. Atau ke Zeke [Khaseli], gue cukup cerita filmnya bagaimana, dan dia yang jalan sendiri bikin musik untuk Rocket Rain.

Kami dua minggu produksi Rocket Rain di Bali. Shooting days delapan hari, plus satu hari buat green screen. Selalu ada jeda dua tiga hari antara syuting. Nah, dengan suasana produksi yang cair ini, satu dua hari pertama agak-agak kagok buat beberapa orang. Mereka belum terbiasa dengan cara produksi sebebas ini. Lia, misalnya, sempat nanya, “Kok Anggun nggak nanya-nanyain gue sama sekali? Dia suka nggak sih sama gambar yang gue ambil?” Kalau memang tidak suka, gue pasti bilang, tapi hampir gue tidak pernah lakukan. Gue memberi ruang seluas-luasnya untuk Lia berkarya untuk Rocket Rain lewat kamera yang dia pegang, begitupun juga dengan kawan-kawan di lini lainnya. Gue nggak mau jadi satu-satunya orang yang paling bersemangat selama produksi. Gue mau satu tim juga bersemangat, karena mereka juga punya kuasa dan hak terhadap hasil akhir film ini. Seru jadinya.

Persiapan adegan Anggun"terkubur batu" dalam Rocket Rain
Persiapan adegan Anggun “terkubur batu” dalam Rocket Rain

ADRIAN: Sejak awal punya pikiran bikin Rocket Rain, apakah lo udah berencana produksi film ini bareng Babibuta Films?

ANGGUN: Oh iya, tentu itu. Kondisinya begini, gue tidak punya acuan siapa produser film, nggak tahu juga siapa produser film yang bakal cocok untuk film macam Rocket Rain ini, karena memang selama ini gue tidak bermain di dunia itu. Yang gue tahu cuma satu orang: Dede [Meiske Taurisia]. Gue tahu dan suka dengan film-film yang dia pernah pegang untuk Babibuta Films, gue akrab dengan orangnya, dan gue selama ini nyaman ngobrol sama dia. Kalau nggak sama dia, gue rencananya bakal produserin sendiri. Cuma dua itu pilihannya di kepala gue. Pas gue ajuin ide soal film ini ke Dede, dia tertarik banget. Jadilah kami berkolaborasi untuk membuat Rocket Rain.

ADRIAN: Dari yang gue tahu, Rocket Rain nggak bakal beredar di bioskop. Bagaimana rencana lo untuk mengelilingkan film ini?

ANGGUN: Nah, itu yang sekarang jadi PR sendiri. Sejak awal kami membuat Rocket Rain, kami sudah memutuskan untuk tidak beredar di bioskop, dan akan berusaha untuk mengelilingkan film ini lewat pemutaran-pemutaran independen di banyak tempat. Titik mulanya ya acara Film Musik Makan di Goethe ini. Satu hal yang kemarin gue lupa sampaikan di atas panggung [saat diskusi habis pemutaran], gue dan kawan-kawan Babibuta Films sangat terbuka dan akan sangat senang apabila ada yang mau mutar Rocket Rain di tempat mereka.

Sejauh ini Rocket Rain baru diputar dua kali: sekali di Jogja-NETPAC Asian Film Festival bulan Desember lalu, sama kemarin di acara Film Musik Makan di Goethe. Dari dua pemutaran itu saja, gue mendapat banyak kejutan. Kemarin misalnya, habis pemutaran ada seseorang yang menghampiri gue. Dia bilang dia sedang mengalami apa yang Jansen alami dalam Rocket Rain. Dia langsung curhat. Di Jogja juga begitu, persis sama polanya. Habis pemutaran, ada yang ngajak ngobrol, cerita kalau dia sedang mengurus perceraian. Lanjutlah kami ngobrol sampai jam tiga pagi. Jadi, sejauh ini, lewat tokoh Jansen dalam Rocket Rain gue bertemu dengan Jansen-Jansen lainnya.

ADRIAN: Sebagai orang yang berkecimpung di dua-duanya, menurut lo apa batas antara video art dan film?

ANGGUN: Kalau dari sisi pembuatan, mungkin sekarang ini tidak ada ya. Sama-sama karya visual, sama-sama luwes kemungkinan berkreasinya. Maksudnya gue bilang tidak ada batas itu begini, seringkali kaya begitu itu cuma jadi label. Ada beberapa orang yang melihatnya dari durasi, tapi buat gue itu juga nggak. Gue bisa saja ambil gambar 46 detik, tambahin ini tambahin itu, terus gue bilang itu “film”. Atau sebaliknya, gue bisa aja nyusun gambar dua jam lebih, terus bilang ke orang-orang kalau itu video art.

Gue pribadi lebih melihatnya dari cara penyajian. Film kan spesifik tuh. Ada ritual tersendiri yang harus dipatuhi: lo harus proyeksiin filmnya ke layar, lo harus taruh penonton dalam ruangan atau satu ruang khusus, terus lo nonton. Video art beda lagi. Gue bisa saja taruh video yang gue buat di satu televisi kecil, tempel di tembok, terus kasih headphone supaya orang bisa dengerin suaranya. Bisa juga gue tidak kasih headphone tapi videonya gue loop terus-menerus. Bisa single channel, double channel, dan sebagainya. Dengan cara penyajian yang spesifik begini, gue atau kreator manapun jadinya kan harus berpikir kontennya. Konten macam apa yang bisa gue tampilkan dengan “cara film”, konten macam apa yang bisa gue tampilkan dengan “cara video art”. Konten macam apa yang bisa sajikan untuk layar lebar, konten macam apa yang bisa gue tampilkan untuk layar kecil.

Untuk Rocket Rain, gue sebenarnya melakukan dua-duanya. Kemarin lo udah nonton Rocket Rain. Lo udah liat berbagai fragmen audiovisual yang kami susun secara spesifik jadi suatu alur. Nah, alur itu yang mendefinisikan Rocket Rain sebagai film. Dengan alur itu pula, Rocket Rain hanya bisa dinikmati dengan “cara film”. Lo harus duduk dan fokus nonton itu, supaya bisa menikmati alur yang sudah disusun. Kalau lo nonton film itu sambil berdiri, di layar kecil, mantengin tembok galeri, sambil pakai headphone, ya stres juga. Memang kontennya tidak didesain untuk penyajian seperti itu.

Di kesempatan lain, gue mengambil beberapa fragmen dalam film Rocket Rain. Beberapa di antaranya: adegan si tokoh Culapo lari-lari, shot pantai kebalik. Gambar-gambar yang tokoh Culapo rekam sepanjang cerita film pokoknya. Fragmen-fragmen itu yang kemudian gue tampilkan sebagai karya sendiri di pameran-pameran, atau spesifiknya sebagai karya video yang dibuat tokoh Culapo selama dia keliling-keliling sepanjang film Rocket Rain. Gue akan menampilkan karya video dari Rocket Rain ini minggu depan di Jakarta, di D Gallery. Kepikiran juga bikin pameran itu di tempat lain pada waktu lain. Harapan gue, orang-orang yang sudah nonton Rocket Rain bisa datang ke pamerannya. Karena, dengan cara penyajian yang berbeda, Rocket Rain akan hadir dalam perspektif yang berbeda pula.