Adaptasi: Idealisme Pengarang dan Film Sebagai Komoditas

wacana-adaptasi-film-ke-novel_hlgh

Pembacaan karya sastra berupa novel dan pembacaan karya tulis lainnya, seperti esai atau artikel, yang notabene bukan merupakan karya sastra itu sangatlah berbeda. Ada beberapa hal yang seyogyanya dimiliki pembaca ketika menikmati karya sastra berupa novel, di antaranya:

Pertama. Dalam membaca karya sastra seperti novel, kita harus mengingat bahwa semua materi tulisan semisal fakta historis atau yang serupa dengan itu, tidak bisa kita terima mentah-mentah dan kita anggap sebagai fakta historis yang memang benar-benar terjadi di dalam kenyataan. Karena fakta historis yang ada dalam karya sastra seperti novel bukanlah hard fact, melainkan adalah mental fact/mentifact, ia merupakan fakta-fakta historis yang sudah diolah dan diberi bumbu oleh imajinasi dari pengarang.

Kedua. Dalam membaca karya sastra seperti novel, pemahaman pembaca mengenai unsur-unsur intrinsik, seperti latar waktu atau latar tempat (setting), sudut pandang (point of view), dan sebagainya itu akan sangat membantu pembaca memahami alur cerita yang ada dalam novel tersebut.

Ketiga. Dalam membaca karya sastra, pengetahuan awal (background knowledge) atau pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki pembaca, akan menentukan reaksi yang akan pembaca rasakan ketika menikmati karya sastra tersebut. Karena dengan demikian, pembaca akan merasakan ada keterkaitan/hubungan dengan apa yang tengah ia baca.

Keempat. Dalam membaca karya sastra, kita juga harus memahami bahwa bahasa yang digunakan pengarang tentulah berbeda dengan bahasa yang pembaca gunakan sehari-hari, karena karya sastra menggunakan secondary modeling system, yang membuat makna dalam karya sastranya itu bersifat lebih universal. Maka penghayatan pembaca dalam mencari tahu makna atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang itu sangatlah penting. Karena, bagaimana pun, keberhasilan pembaca menerima pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang, dipengaruhi oleh cara pembaca itu menghayati karya sastranya. Proses ini, seperti yang dijelaskan Iser dalam bukunya The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response, adalah proses concretizing. Pembaca harus bisa “mewujudkan” rangkaian cerita yang dibangun oleh pengarang itu dalam pengalaman sehari-harinya.

Kelima. Dalam membaca karya sastra, kita juga harus memahami atau setidaknya mencari tahu terlebih dahulu mengenai cara pandang (worldview) dari penulisnya, dan tidak langsung menilai bagus/tidak karya sastra itu dengan hanya membandingkan dengan worldview yang pembaca miliki. Karena penulis memiliki worldview (yang terbentuk dari social and cultural background dan dari universe) yang berbeda dengan yang dimiliki oleh pembaca.

Transformasi Bentuk: Novel dan Film

Dalam perkembangannya, novel tidak lagi berakhir sebagai novel saja, namun ia mengalami transformasi baru menjadi media yang lain. Novel yang awalnya menggunakan media bahasa sebagai penyampai pesan antara pengarang kepada pembaca, kini sudah mulai diadaptasi menjadi film, produk seni yang baru, di mana tidak lagi bahasa saja yang menjadi primadona, namun suara, gerak, dan yang lain-lainnya ikut memberikan kontribusinya dalam membangun cerita di benak penontonnya.

Dalam film, karya sastra yang awalnya hanya berupa kata-kata berubah menjadi panggung imajinasi yang dihidupkan. Apa yang digambarkan novel lalu ditafsirkan ulang dalam bentuk yang sama sekali berbeda. Namun, seringkali penonton film lupa dengan karakteristik yang juga dimiliki film saat ia mengadaptasikan novel yang diangkatnya ke layar lebar.

Seperti yang sudah dituliskan dalam pendahuluan, fakta historis dalam novel tidak bisa kita terima mentah-mentah atau kita anggap memang terjadi. Mengambil beberapa contoh film adaptasi yang sudah masuk di panggung layar lebar kita dalam sepuluh tahun belakangan ini, ada Ayat-ayat Cinta (2008) hingga Cinta Suci Zahrana (2012), karya Habiburahman el Shirazi; Tenggelamnya Kapal Van der Wijck-nya Buya Hamka di tahun 2013, dan yang teranyar 99 Cahaya di Langit Eropa di 2014 yang ditulis Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Film-film tersebut adalah film adaptasi dari novel. Novel-novel itu mengalami perubahan bentuk yang signifikan.

Namun, seperti lazimnya novel, fakta-fakta yang ada di dalam novel, semuanya adalah mental fact, fakta yang sudah mengalami pengolahan dalam pikiran dan mendapati bumbu imajinasi dari pengarangnya, sebagai pemilik ide. Tidak ada kebenaran yang mutlak, semuanya sangat relatif, tidak ada benar atau salah, karena apa yang disampaikan adalah “kebenaran” yang pengarangnya rasa benar. Maka baik pengarang atau pembaca, seharusnya, tidak lagi saling menyalahkan satu sama lainnya apabila ada “kebenaran” yang dianggap berbeda, karena pada hakikatnya, “kebenaran”-nya masih sangat subyektif sesuai dengan yang diyakini masing-masing.

Novel-novel seperti Ayat-ayat Cinta, Cinta Suci Zahrana, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, apakah memang berasal dari orang-orang dengan nama-nama yang sungguh ada dan beralur persis sama? Tentunya tidak. Pun bila ada novel yang mengklaim karyanya terinspirasi dari kisah nyata, kisah yang dituliskannya dalam novel, bagaimana pun sudah dituliskan dengan melakukan penambahan, pengurangan dan penyesuaian yang dirasakan perlu oleh pengarang itu. Begitu pun juga dalam film, perpindahan media dari novel yang menggunakan bahasa (linguistic medium) hingga menjadi film (primarily visual) akan melakukan proses yang kurang lebih sama. Pelaku di industri film akan dan mau tidak mau melakukan penambahan, pengurangan, penghapusan, dan penyesuaian atas bahan-bahan baku yang mereka miliki dari novel yang diadaptasinya, hingga komoditas dari segmentasi pasar yang dibidiknya bisa menerima film adaptasi novel itu dengan gegap gempita. Dengan harapan, setiap pelaku di industri film tadi meraup keuntungan yang besar, dan penonton pun tetap terpuaskan, meskipun pesan-pesan dari idealisme penulis di karya awalnya itu mungkin “tak tersampaikan” sepenuhnya.

Idealisme, Klaim dan Sensor

Bicara mengenai idealisme pengarang, tentang pesan-pesan yang pengarang ingin sampaikan kepada pembaca, novel memberikan ruang yang besar untuk itu. George Bluestone dalam buku Novels into Film menyebutkan bahwa: “novels are relatively free of censorship, but films are not, having to obey certain moral criteria such as the Production Code.” Novel relatif bebas dari censorship, namun film seringkali tidak, karena harus mengikuti kriteria-kriteria moral tertentu seperti yang terpapar pada Kode Produksi. Itulah mengapa ada lembaga-lembaga sensor dalam dunia perfilman.

Lembaga sensor punya kontrol untuk mempertimbangkan apakah konten dalam film tersebut itu menyinggung pihak-pihak tertentu atau berpotensi menimbulkan konflik. Film berbeda dengan novel, setelah film selesai dan dilayar-lebarkan, penonton akan dihadapkan pada satu gambaran utuh yang sudah dibuat oleh industri yang memproduksinya. Reaksinya akan sangat berbeda apabila konten dalam film itu berpotensi mengobarkan konflik. Film punya mass audience yang seringkali tidak bisa kita kontrol. Bila diperhatikan, di gedung-gedung bioskop, kita bisa melihat orang dari berbagai kalangan dan latar belakang bisa duduk bersamaan di satu tempat yang sama menyaksikan satu film. Berbeda dengan novel, meskipun censorship itu ada, George Bluestone menuliskan bahwa, “the novel audience being small and literate“, meski satu tulisan itu berpotensi SARA, namun audience-nya tidaklah banyak dan seringkali sudah paham mengenai apa yang dibacanya.

Mengingat fenomena yang terjadi beberapa waktu yang lalu, saat film Soekarno (2013) besutan Hanung Bramantyo ditayangkan di layar lebar, banyak orang yang kemudian merasa baik produsen dan sutradara beserta awak film saat itu hanya menayangkan sisi buruk dari Soekarno, yang dikesankan sebagai lelaki pencinta wanita, dan pengecut, dan bagian dari antek-antek penjajah. Fenomena seperti ini semakin menguatkan bahwa ketika transformasi karya ini sudah menjadi film, kehati-hatian dalam produksinya akan menjadi satu yang penting untuk diperhatikan.

Namun, bila saja kita lebih bijak, dalam posisi kita sebagai penikmat karya, dan kembali mengingat apa yang sudah disinggung sebelumnya. Dalam membaca, menonton dan mengapresiasi karya seni seperti novel dan film (baik itu yang berupa adaptasi novel atau film dengan orisinalitas ide yang baru), kita harus mengingat bahwa semua materi di dalam karya seni semisal fakta historis (sejarah, kejadian, peristiwa), tidak bisa kita terima tanpa begitu saja dan kita anggap sebagai fakta historis yang memang benar-benar terjadi di dalam kenyataan. Karena fakta historis yang ada dalam karya seni seperti novel dan film bukanlah hard fact (sesuatu yang memang ada, terjadi), melainkan adalah mental fact/mentifact, ia merupakan fakta-fakta historis yang sudah mengalami perkembangan dalam proses penciptaannya.

Pengarang ketika ia menulis, punya subyektifitas yang ia percayai. Sutradara, produsen, penata kamera, penata cahaya, scriptwriter, dan awak industri lainnya pun punya “subyektifitas” yang mereka miliki sendiri. Mereka punya target dan tujuan yang juga berbeda. Baik pengarang dan produsen film keduanya punya audience yang sama-sama dituju, kedua-duanya punya segmentasi “pasar” atau “komunitas” yang ingin disapa melalui karya itu.

Maka, ketika bicara mengenai idealisme pengarang, yang mungkin saja kecewa ketika film itu diadaptasi ke layar lebar karena tidak sesuai seperti ekspektasi awalnya, kita harus mengingat bahwa transformasi karya sudah terjadi dan tentu akan mendapati proses yang sama sekali tidak sama. Penambahan, pengurangan, penghapusan, dan penyesuaian-adalah konsekuensi logis yang akan dilakukan. Film punya komoditas pasarnya sendiri. Dan komoditas pasar itu bukan satu hal yang bisa diabaikan. Ada banyak individu yang terlibat di sana.

Ketidakpuasan dan kepuasaan kita saat menikmati film adaptasi, yang terinspirasi atau diangkat dari novel populer yang ada di Indonesia misalnya, adalah hal lain. Pertimbangan antara idealisme pengarang dan komoditas pasar film bagi penikmatnya menentukan peran dan kontribusinya pada porsinya tersendiri.

DAFTAR BACAAN

  • The Act of Reading (Wolfgang Iser, 1987) | unduh
  • Novels into Film (George Bluestone, 1957) | unduh