Ada Apa dengan Tiga Dara?

tiga-dara-restorasi_hlgh_

“Menggoenakan film itoe sebagai alat pendidik, sebagai alat jang sangat berpengaroeh oentoek menjebarkan tjita-tjita bangsa, meninggikan deradjat bangsa haroeslah mendjadi sifat dari kaoem producers, regisseur, dan penoelis-penoelis skenario.”

Andjar Asmara, Film dan Tonil Kita

Setelah Lewat Djam Malam, ada Tiga Dara. Keduanya adalah film Usmar Ismail—yang pertama edar pada 1954, yang kedua pada 1957. Keduanya, dalam tempo kurang dari lima tahun terakhir, adalah film Indonesia klasik yang berhasil direstorasi dan dipertontonkan lagi ke publik. Hasil restorasi Lewat Djam Malam singgah di bioskop dari pertengahan Juni hingga Juli 2012, mengumpulkan 5.116 penonton selama lima minggu masa tayang. Sementara itu Tiga Dara kembali menyapa khalayak nusantara pada 11 Agustus 2016 dan minggu-minggu setelahnya.

Meski lahir dari tangan yang sama, Lewat Djam Malam dan Tiga Dara jauh dari kata serupa. Lewat Djam Malam, produksi Perfini, menampilkan penjelajahan estetika realis Usmar Ismail, terinspirasi oleh gaya neorealisme Italia. Gaya serupa sudah beliau jajaki sejak memproduksi Darah dan Doa pada 1950. Sementara itu Tiga Dara, juga produksi Perfini, lebih dekat dengan film-film musikal ala Hollywood—jenis film populer kala itu. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa Tiga Dara merupakan hasil kompromi Usmar Ismail, alias proyek untuk cari uang. Ada apa sebenarnya?

Tiga Dara bercerita tentang tiga perempuan bersaudara kandung: Nunung (Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya) dan Nenny (Indriati Iskak). Ketiganya dibesarkan oleh nenek mereka (Fifi Young) di Jakarta setelah ibu mereka meninggal. Sukandar (Hassan Sanusi), sang ayah, hidup dengan mereka. Meski begitu, ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Ia peduli dengan ketiga putrinya, tapi tidak pernah benar-benar punya waktu untuk terlibat dalam kehidupan mereka.

Nunung, selaku anak paling tua, menggantikan peran ibu dalam keluarganya. Ia yang membuatkan teh, memasak, membersihkan rumah. Sedang kedua adiknya, berkebalikan. Nana sangat glamor—ia identik dengan busana glamor, mobil mewah, dan pesta dansa-dansi ala cha-cha-cha. Nenny tak jauh berbeda. Ia masih belia, gemar bercanda, dan punya kewajiban menyelesaikan sekolah.

Sepintas tampak bahagia, keluarga ini sejatinya dilanda gundah gulana. Nunung tak kunjung punya pacar meski sudah berusia 29 tahun. Nenek takut Nunung tidak bahagia karena menjadi perawan tua, semuanya lantas berkomplot untuk mencarikan Nunung pasangan. Pelbagai cara dilakukan, mulai dari mengundang teman-teman kantor sang ayah ke rumah hingga mengajak Nunung ke pesta-pesta Nana. Sayangnya Nunung hanya diam saja. Saat diajak ke pesta, ia malah memilih pulang dengan Herman (Bambang Hermanto), mahasiswa yang menaruh hati kepada Nana.

Pada suatu hari, saat sedang berjalan-jalan, Nunung diserempet skuter hingga jatuh terkilir. Nunung ribut mulut dengan Toto (Rendra Karno), sang pengendara skuter, yang berujung pada umpatan ketus Nunung pada Toto. Karena merasa bersalah, Toto setiap hari datang menjenguk dan membawa bunga. Sikap Nunung sayangnya tak banyak berubah—ia tetap ketus pada Toto. Kesempatan inilah yang Nana pakai untuk mendekati Toto. Hubungan mereka berlanjut hingga pada suatu hari Nana mengatakan ia akan menikah dengan Toto. Sang kakak terancam “dilangkahi” adiknya sendiri—konflik inilah yang menjadi benang pengikat keseluruhan cerita hingga akhir film.

tiga-dara_01_chitra-dewi

Film Nasional dan Ambisi Djakartawood

Tiga Dara lahir di tengah dekade yang diyakini sejumlah pengamat sebagai periode kelahiran film nasional—salah satunya Thomas Barker dalam Historical Inheritance and Film Nasional in Post-Reformasi Indonesian Cinema pada 2010.

Film, pada masa itu, dipandang sebagai medium yang efektif untuk mewakili dan mendorong kebudayaan nasional bagi masyarakat Indonesia yang telah merdeka. Para sineas percaya, di bawah kolonialisme, film tak lebih dari fantasi pelarian dengan sedikit itikad untuk mendidik atau mencerahkan penonton, apalagi memperkenalkan nasionalisme. Sineas-sineas awal Indonesia, salah satunya Usmar Ismail, melihat film dapat berfungsi sebagai alat komunikasi sosial untuk menumbuhkan kesadaran akan nasionalisme. Konsekuensi sejarahnya: film-film yang diproduksi sebelum 1950 dianggap bukan film nasional, sekalipun dibuat dan dibiayai oleh kaum pribumi.

Sedikit berbeda dari Barker, Tanete Pong Masak—penulis buku Sinema Pada Masa Soekarno—berpendapat bahwa periode 1950-1957 disebut sebagai masa-masa Djakartawood. Targetnya ambisius: menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan perfiman Indonesia. Djakartawood yang dimaksud di sini adalah alusi dari Hollywood sebagai episentrum film di Amerika Serikat—tercatat 317 judul film yang dihasilkan oleh 74 perusahaan film sepanjang periode tersebut.

Model Djakartawood itu mengesankan adanya suatu proyek kolektif Indonesia yang baru tumbuh untuk mengubah Jakarta menjadi metropolitan perfilman. Ciri dari masa Djakartawood adalah berbondong-bondongnya kaum pribumi dan Tionghoa terjun ke dunia film, walaupun mereka tidak memiliki pengalaman sama sekali ataupun menempuh pendidikan minimal yang dibutuhkan untuk bekerja di dunia perfilman. Kebanyakan berasal dari panggung teater rakyat, dan kebanyakan produksi tidak disertai modal yang diperlukan untuk memroduksi film.

Dari kedua sumber bacaan ini, setidaknya muncul dua kemungkinan yang melatari situasi awal perfilman nasional Indonesia. Pertama, keinginan untuk menghasilkan film nasional ternyata tumbuh di tengah derasnya arus komersialisasi film lewat proyek ambisius Djakartawood. Kedua, para sineas pada masa tersebut tidak mengambil garis tegas antara produksi film nasional dan produksi film untuk kepentingan komersil.

tiga-dara_02_mieke-wijaya

Tiga Dara Hasil Kompromi?

Usmar Ismail disebut sebagai sutradara yang ingin berkarya dalam perfilman nasional dengan menempuh jalan neorealisme Italia atau aliran Italia. Keinginannya itu terwujud dalam Darah dan Doa pada 1950, lalu Enam Djam di Djogja pada 1951. Penjelajahannya ini menempatkan Usmar Ismail sealiran dengan Djadug Djajakusuma, Kotot Sukardi, Basuki Effendi, dan Bachtiar Siagian. Di seberangnya, ada aliran Tionghoa dan aliran Hollywood—film-film yang diproduksi untuk pasar hiburan. Namun fakta yang tidak bisa dibantah: Usmar Ismail juga memproduksi film komersil seperti Krisis pada 1953, Lagi-Lagi Krisis pada 1955, serta TIga Dara pada 1956. Mengapa seorang yang awalnya bernapaskan estetika realis pada akhirnya banting setir menggarap film-film komersil?

Banyak sumber yang menyebut penyebab utamanya adalah modal produksi. Pada pertengahan 1950an, kondisi keuangan Perfini sedang serba kekurangan. Selaku pengelola, Usmar Ismail tentu harus bersikap. Tiga Dara jelas bukan film yang sesuai idealisme Usmar, namun demi mengisi kas Perfini, maka film musikal bergaya Hollywood ini diproduksi.

Ada komentar dari D Djajakusuma, rekan sejawat Usmar Ismail di Perfini, yang Salim Said tulis dalam bukunya. “Usmar Ismail sangat malu dengan film itu (Tiga Dara—keterangan penulis). Niatnya menjual Tiga Dara ketika masih dalam tahap pembikinan memperlihatkan betapa beratnya bagi dia menerima kenyataan bahwa harus membuat film seperti itu….meskipun uang masuk, Perfini toh tidak lagi membikin film-film seperti yang dicita-citakan Usmar semula.”

Komentar D Djajakusuma sejalan dengan kemungkinan kedua: bahwa pada masa sinema pasca kemerdekaan, produksi film nasional mau tidak mau harus berkompromi dengan tuntutan produksi film komersil. Cerita Tiga Dara terinspirasi dari Three Smart Girls—film komedi musikal Hollywood produksi 1936. Usmail Ismail lantas berkolaborasi dengan M Alwi Dahlan saat menyusun naskah Tiga Dara, yang diproduksi pada Maret 1956 dengan sedikit bantuan uang dari pemerintah. Menurut Usmar Ismail, Perfini mendapat Rp 2.500.000 pada 1958 untuk mendanai produksi film ini.

Tiga Dara tayang perdana pada 24 Agustus 1957 di Capitol Theatre, Jakarta. Film ini ditayangkan selama delapan minggu berturut-turut di bioskop-bioskop di Indonesia, bahkan masuk ke beberapa bioskop kelas satu yang berafiliasi dengan AMPAI—American Motion Picture Association of Indonesia, alias asosiasi importir film Hollywood. Tiga Dara adalah film Perfini paling sukses dengan pemasukan Rp 10.000.000 dari penjualan tiket atau setara dengan keuntungan sebesar Rp 3.080.000. Kiprah festivalnya juga tidak main-main—Tiga Dara singgah di Festival Film Venesia 1959 dan meraih Tata Musik Terbaik di Festival Film Indonesia 1960.

Pada 20 September 1957, Presiden Soekarno menyelenggarakan penayangan pribadi Tiga Dara di Istana Presidensial di Bogor untuk hari ulang tahun istrinya, Hartini. Presiden Soekarno sudah lama dikenal sebagai penggemar berat film Amerika. Ia bahkan mengoleksi foto-foto dan menonton semua film Amerika yang masuk ke Indonesia. Cukup mudah baginya untuk menerima Tiga Dara yang berbau Amerika ini.

Pengaruh film Tiga Dara segera terasa ketika di seluruh Jawa terjadi demam Tiga Dara. Di mana-mana muncul kompetisi “Tiga Dara” dan nama ini banyak digunakan untuk nama produk batik, toko, dan minuman. Segala hingar bingar ini sayangnya tidak banyak membantu situasi keuangan Perfini.

tiga-dara_03_indriati-iskak

Relevansi Restorasi untuk Masa Kini

Restorasi tak hanya menyelamatkan fisik film yang diselamatkan, tapi juga kesempatan bagi kita untuk mengunjungi kembali sejarah masa silam yang masih relevan. Kita bisa melihat kembali bagaimana gagasan film nasional yang ternyata tumbuh di tengah derasnya film impor Amerika, serta film-film bergaya Djakartawood sebagai wujud kompromi yang tak terelakkan demi keberlangsungan dan keberlanjutan usaha.

Sineas dan penonton generasi terkini bisa menarik pelajaran. Bahwasanya, di tengah limpahan film-film impor dan film-film ala Djakartawood, masih ada sineas-sineas yang tetap ingin berkarya dengan semangat perjuangan. Semua terekam dengan baik dalam cerita, dialog, dan akting aktor sepanjang durasi film.

Kerja sutradara, penata kamera, dan para kru film juga perlu mendapat kredit tersendiri. Sekalipun tidak memliki dasar pengetahuan yang memadai untuk produksi film, mereka tidak gentar dalam mewujudkan idealisme mereka untuk berkarya dengan modal dan tenaga kerja Indonesia. Sekalipun harus berkompromi dalam situasi yang terpuruk, mereka berani mengaku malu karena seperti mengkhianati semangat kolektif untuk membangun perfilman nasional.

Sudah enam puluh tahun dan persoalan film kita ternyata belum beranjak jauh dari persoalan yang sama.