Tikus: Semiotik Setengah Hati, Slapstick Sampai Mati

tikus-film-pendek_highlight

Bagi saya, Tikus adalah film tentang bunuh diri.

Ada dua lapisan logika di film ini: denotasi dan konotasi. Selama enam menit durasi, film ini bertutur atas perpaduan yang subtil dua lapisan itu. Demarkasi lenyap. Adegan per adegan mengalir tanpa beban. Tapi kemudian kita akan tahu, mengemas slapstick dan semiotik adalah harakiri untuk film ini.

Dari awal, film ini berhasrat mengajak penonton untuk bermain-main di antara dua logika itu: berita korupsi di radio dan close up tikus yang berseliweran. Di sini kemudian kita akan mengimani bahwa elemen tikus dalam film tersebut adalah elemen yang “dimainkan”: muncul-tenggelam di antara realitas simbolik dan non-simbolik, di antara tikus sebagai asosiasi umum dari kata “korupsi” dan tikus sebagai mamalia berkaki empat.

Khusnul Khitam, sutradara film ini, jelas mengambil risiko besar ketika memutuskan untuk melakukan permainan logika ganda tersebut. Sayangnya, mengemas-ringkas slapstick dan semiotik menjadi nasib sial tersendiri bagi Tikus. Dua lapisan dalam Tikus pada akhirnya saling tubruk, saling melemahkan, dan saling mematikan. Penonton pun terjebak antara lawakan fisik nan harafiah yang jayus (paling banter: komedi sekali tawa) atau permainan tanda yang dangkal.

Benar jika ada yang mengatakan bahwa komedi dan tragedi sesungguhnya beda tipis. Paling tidak, Tikus membuktikan itu. Dilihat dari plotnya, Tikus menggunakan lapisan denotasi: pertengkaran keluarga karena persoalan yang remeh-temeh. Alhasil, keributan tersebut memancing perhatian tetangga. Makin heboh ketika di tengah pertengkaran, seekor tikus muncul. Istrinya yang takut setengah mati kemudian teriak. Suaminya yang sedang di luar rumah bergegas mencari pentungan. Memburu tikus: memukul-mukul ke segala arah. Bunyi benturan dan benda-benda yang jatuh semakin memancing perhatian tetangga yang sedari awal kepo dan memperhatikan dari luar rumah. Keributan semakin menjadi-jadi ketika istrinya ingat tentang kehamilannya: antara rasa takut pada tikus dengan mitos yang ia percaya—membunuh binatang ketika hamil akan mendatangkan celaka bagi si jabang bayi. Keributan pun semakin menjadi-jadi. Suara pukulan dibarengi teriakan suami memaki (pada tikus) yang dibarengi jeritan istri menjadi hal yang kemudian disalah pahami oleh tetangga. KDRT?

Setelah pintu rumah dibuka dan tetangga kemudian tahu apa yang sebenarnya terjadi, adegan berakhir. Begitu juga halnya dengan Tikus. Lawakan khas Srimulat yang dibangun dengan sangat niat dari menit-menit pertama tuntas begitu saja. Lapisan denotasi hanya dibangun untuk sekadar menghadirkan itu!

Bicara tentang lapisan konotatif, lapisan tersebut di film Tikus ini disusun atas korelasi simbol-simbol yang dibatasi pengetahuan umum yang dimiliki banyak orang. Elemen-elemen yang bisa dianggap simbol di film ini adalah elemen-elemen yang pada hakekatnya sudah menjadi kesadaran kolektif: tikus sebagai simbol koruptor atau keluarga sebagai simbol dari negara. Hal itu menyebabkan terbatasnya kekayaan artikulasi yang sebenarnya biasa dimiliki oleh film yang cara bertuturnya menggunakan bahasa konotatif.

Sehingga bagi saya, Tikus adalah film bunuh diri: semiotik dan slapstick di film ini saling mereduksi satu sama lain. Meniadakan. Sehingga kemudian, menonton Tikus seperti dihadapkan dua pilihan “sulit”: memahaminya sebagai film dengan segala tebaran tanda di dalamnya atau meniadakan semua itu dengan tertawa lepas di ujung film? Dalam hal ini, penonton bebas memilih. Pembacaan film menjadi sangat terbuka dan tak terkontrol. Boleh jadi, film yang pada awalnya dikemas apik mengikuti hitung-hitungan simbol, macam Tikus ini, justru dikorbankan hanya demi slapstick. Atau bisa juga sutradara mungkin menggunakan slapstick untuk menyelamatkan film ini yang terjebak pada permainan tanda yang serba tanggung. Entahlah.

Nyatanya, kita penonton boleh menduga-duga. Sutradara pun silakan membela. Tapi untunglah dalam perkara seni film, dalam relasi penonton dengan karya, tak pernah ada dosa di antara kita.

Tikus | 2013 | Durasi: 6 menit | Sutradara: Khusnul Khitam | Kota: Yogyakarta | Negara: Indonesia | Pemain:  Wahyu Novianto, Tri Dwi Hastari

Tulisan ini adalah hasil dari lokakarya Mari Menulis! edisi Festival Film Solo 2014