The Thorn in the Heart: Reuni Keluarga, Tidak Terbuka Untuk Semua

thorn-in-the-heart_highlight

Antara Be Kind Rewind di tahun 2008 dan The Green Hornet yang masuk bioskop tahun depan, Michel Gondry rehat sejenak dari film naratif imajinatif dengan memproduksi The Thorn in the Heart. Film dokumenter yang dirilis tahun 2009 kemarin ini berkisah tentang tante kesayangan si sutradara, yakni Suzette Gondry. Berbeda dengan keponakannya, Suzette bukanlah orang terkenal. Meski pernah ikut main film di The Science of Sleep, Suzette lebih dikenal teman dan sanak saudaranya sebagai seorang guru dan orang tua yang berdedikasi tinggi. Semenjak kematian suaminya, Suzette mengasuh anaknya, Jean-Yves, sendirian. Masalahnya, karena alasan-alasan yang nantinya diungkapkan seiring berjalannya cerita, Jean-Yves sentimen pada ibunya. Sentimen anak pada ibu tersebut yang Gondry kembangkan sebagai tulang punggung filmnya. Sayangnya, sentimen tersebut justru menjadikan Thorn tidak lebih dari reuni keluarga dalam medium sinema.

Sebagai sebuah reuni keluarga, Thorn jelas tidak terbuka untuk semua orang. Gondry tidak punya banyak kesempatan untuk mepertemukan subyeknya dengan penonton filmnya. Subyek yang Gondry coba ceritakan adalah seseorang yang tidak punya koneksi dengan khalayak ramai, baik secara personal maupun emosional. Alhasil, film ini akan sangat terasa berjarak, kecuali bagi mereka yang ada dalam lingkaran pergaulan subyek. Keberjarakan tersebut sebenarnya sudah Gondry peringatkan melalui adegan pembuka Thorn. Melingkari sebuah meja makan, keluarga Gondry mendengarkan Suzette yang sedang bernostalgia tentang masa mudanya. Teringat akan sebuah kejadian lucu, Suzette tiba-tiba tertawa sendiri. Sanak saudaranya hanya bisa tersenyum, sembari mengingatkan dengan sopan, “Sudah, tante, jangan diteruskan. Apa yang tante anggap lucu belum tentu lucu buat kita.”

Semakin luas Gondry menjelajahi kehidupan tantenya, semakin terasing penonton dibuatnya. Sepanjang film Gondry merekam perjalanan tantenya menemui orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya: mulai dari anaknya, saudara dekatnya, teman-teman lamanya, hingga mantan muridnya. Mereka kemudian bicara tentang kejadian-kejadian yang pernah mereka alami bersama, dan bagaimana kejadian tersebut mempengaruhi hidup mereka setelahnya. Nostalgia buat mereka menjadi apatis ria buat penonton. Pasalnya, kerangka referensi mereka sama sekali tidak beririsan dengan kerangka referensi penonton. Penonton tidak punya ikatan batin dengan Suzette, dan tidak tahu kejadian apa yang sedang Suzette dan lawan bicaranya bicarakan. Gondry juga tidak banyak membantu dengan menampilkan gambaran kejadian-kejadian tersebut secara tidak utuh. Tanpa adanya kesamaan referensi, sulit bagi penonton untuk bersimpati. Kecuali, lagi-lagi, mereka yang ada dalam lingkaran pergaulan subyek.

Pada titik ini, Anda mungkin bertanya: untuk apa Gondry membuat film ini? Menilik struktur filmnya, Gondry sepertinya sedang berusaha membuat kapsul waktu bagi keluarganya. Thorn tersusun layaknya seprei dari kain perca: suatu sulaman yang terdiri dari motif-motif yang berbeda. Ada puluhan klip pendek dari koleksi pribadi keluarga Gondry, belasan adegan wawancara dengan beberapa narasumber, animasi yang menggambarkan beberapa kejadian yang dialami tantenya, dan montase perjalanan kereta api mainan milik Jean-Yves. Semuanya berbeda-beda, tapi merujuk pada hal yang sama: kenangan akan sebuah keluarga. Jangan tanyakan kandungan emosinya. Nikmati saja cara Gondry menyulam materi-materi yang ia miliki. Hanya pada cara penyajiannya, Thorn bisa dinikmati oleh penonton umum seperti saya dan Anda.

L’épine dans le coeur (The Thorn in the Heart) | 2009 | Durasi: 86 menit Sutradara: Michel Gondry | Negara: Prancis | Pemain: Suzette Gondry, Jean-Yves Gondry, Michel Gondry, Paul Gondry