Langitku Rumahku: Mobilitas Sosial Itu Cuma Mitos!

langitku-rumahku_hlgh

Dalam sejarah sinema Indonesia, dekade 1970an cukup akrab dengan eksplorasi kemiskinan via medium film. Sebut saja Yatim (1974), Sebatang Kara (1974), Jangan Biarkan Mereka Lapar (1975), Ratapan Si Miskin (1975) hingga Nasib Si Miskin (1977). Dalam buku Indonesian Cinema (1994), Krishna Sen mencatat ada strategi naratif tersendiri dalam film-film tersebut. Modus ceritanya adalah melodrama yang ditujukan untuk menguras air mata (tearjerker). Protagonisnya adalah anak kecil atau remaja, yang di awal film kesulitan karena kemiskinannya, dan makin sulit karena pada satu titik mengalami suatu bencana yang membuatnya yatim piatu. Protagonis pun merosot status kesulitannya: dari kemiskinan ke kesengsaraan. Film kemudian menceritakan usaha protagonis bertahan hidup, dengan segala keterbatasannya sebagai kelas bawah, yang ujung pangkal pemecahan masalahnya adalah penyesuaian moral. Sesulit apapun kondisinya, protagonis pasti akan menemukan jalan atau mendapat bantuan, entah dari teman, saudara, atau orang kaya yang baik hati. Syaratnya: dia tetap bertindak sesuai dengan konsensus moral yang ada, yang berarti hidup jujur, kerja keras, serta tunduk pada tuan dan Tuhan. Dijamin protagonis akan keluar dari masalahnya, bahkan naik kelas menjadi orang dengan harta yang berkecukupan.

Strategi naratif yang Sen jabarkan merupakan produk jamannya. Dekade 1970an adalah periode ketika pemerintah mendengungkan wacana pembangunan dan persatuan bangsa. Ingat, pada tahun 1969, pemerintah Orde Baru pertama kalinya memulai Rencana Pembangunan Lima Tahun. Pada periode yang sama, sensor film kian diperketat, baik dalam perumusan maupun penerapan, sehingga film diharapkan steril dari diskursus tentang konflik sosial.

Di sisi lain, ada tuntutan dari para intelek dan pengamat, termasuk di dalamnya dewan juri Festival Film Indonesia, agar sinema Indonesia turut merespons kebobrokan sosial yang secara konkret ada di masyarakat. Menurut Sen, industri film memilih untuk mengambil jalan tengah dengan memproduksi suatu mitos tentang mobilitas sosial. Melalui konflik moral yang protagonis hadapi, mobilitas sosial yang drastis menjadi sesuatu yang mungkin, sehingga segala konsepsi tentang perbedaan kelas hanya menjadi hambatan sementara yang protagonis dapat atasi. Dalam mitos tersebut, tidak ada istilahnya yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah sengsara. Bagi yang mau berusaha, semuanya akan setara pada akhirnya. Pada jamannya, mitos tersebut mudah diterima oleh kesadaran populer penonton Indonesia, dan tentunya oleh badan sensor. Walau rezim sudah silih berganti, badan sensor tetap bertahan di ujung siklus produksi. Tidak heran kalau mitos mobilitas sosial tadi jadi semacam tradisi sendiri di sinema Indonesia. Sampai sekarang, mitos tersebut masih dapat ditemukan dalam banyak film Indonesia yang bertemakan kemiskinan.

Berdasarkan latar belakang di atas, Langitku Rumahku terasa begitu istimewa. Langitku Rumahku adalah film karya Slamet Rahardjo tahun 1989, yang bercerita tentang persahabatan Andri dan Gempol. Andri adalah anak orang kaya, yang punya empat pembantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sebab ayah dan kakak perempuannya terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Sebaliknya, Gempol berasal dari keluarga pemulung. Demi kelangsungan hidup keluarganya, ia sudah harus mencari nafkah sejak usia muda, dengan cara menjual kertas bekas. Pada suatu hari, Gempol mengintip sebuah kelas yang sedang belajar, karena ia ingin sekali melanjutkan sekolah, tapi keluarganya tak punya cukup uang. Sialnya, Gempol yang kumal dikira pencuri oleh seorang guru. Seisi sekolah langsung geger. Andri, yang kebetulan murid di sekolah tersebut, jadi penasaran. Ia berkenalan dengan Gempol, dan menyumbang banyak koran bekas untuknya. Pertemuan tersebut menjadi awal dari sebuah persahabatan dan petualangan, yang akan dilakoni keduanya melintasi hingar bingar Jakarta hingga jalanan di Surabaya.

Petualangan Andri dan Gempol merupakan strategi Slamet Rahardjo untuk menarasikan wacananya. Dengan menjadikan keduanya sebagai protagonis, pembuat film merendam setiap konflik ceritanya ke dalam kenaifan anak-anak. Seberat apapun masalahnya, dunia selalu dilihat secara naif dan polos. Setiap ruang yang Andri dan Gempol kunjungi sepanjang film pada dasarnya selalu punya ancaman, baik itu ancaman untuk Andri sebagai anak orang kaya dengan segala implikasi sosialnya, maupun untuk Gempol yang sejak awal sudah berada di pinggiran masyarakat. Namun, dalam perspektif anak-anak, ancaman-ancaman tersebut selalu bisa dilihat sebagai kesempatan untuk sebuah petualangan. Film pun jadi terasa seperti dongeng, di mana setiap karakter seperti punya rima dalam dialognya, dan setiap kesulitan selalu ditimpali dengan pesan tentang harapan. “Selama ada langit, kamu tidak perlu menangis. Kita masih punya rumah. Rumah kita luas. Langit kita, rumah kita,” begitu kata tetangga Gempol seusai mengalami penggusuran: puitis dan tetap optimis, walau situasi miris. Melalui bingkai yang cantik tersebut, sutradara jadi punya kesempatan untuk menembak realita yang sejatinya tidak cantik-cantik amat. Andri dan Gempol menjadi penubuhan atas suatu ide, yang kemudian digunakan sutradara untuk menyuarakan pendapatnya.

Berdasarkan pemahaman di atas, Andri dan Gempol tidak bisa dilihat sebagai anak orang kaya dan anak pemulung saja, tapi juga sebagai perwakilan dari semangat jamannya: pembangunan. Dirilis di penghujung 80an, Langitku Rumahku hadir saat pembangunan di Indonesia sudah mencapai fase yang produktif. Program pemerintah Orde Baru telah menunjukkan hasil konkrit, yang tercermin dalam film melalui likaliku ibukota dan segala gedungnya yang menjulang tinggi, tempat di mana Andri dan Gempol bermain-main dan menempa persahabatannya.

Masalahnya, pembangunan membawa satu dampak yang tak enak bagi beberapa penghuni ibukota: penggusuran. Dampak pembangunan tersebut yang jadi titik penting dalam plot Langitku Rumahku. Di sekitar pertengahan film, rumah Gempol digusur dan orang tuanya diangkut oleh Polisi Pamong Praja. Adegan tersebut disampaikan Slamet Rahardjo dengan cara yang ironis. Gempol tidak pernah melihat kenyataan akan penggusuran yang dialami orang tuanya. Ia hanya mengetahuinya dari pernyataan tetangganya, yang mengatakan bahwa orang tuanya “akan hidup enak” karena mendapat “jaminan makan tiga kali sehari”. Di satu sisi, adegan tersebut merujuk pada cara pemerintah menutupi isu penggusuran di muka publik. Di sisi lain, adegan tersebut merupakan titik berangkat dari sindiran Slamet Rahardjo terhadap isu pembangunan di sepanjang Langitku Rumahku. Menariknya, dia melakukannya dengan mengabaikan mitos mobilitas sosial versi sinema Indonesia.

Situasi Gempol pasca penggusuran sejatinya semakin pelik: dari kemiskinan ke kesengsaraan. Merujuk pada mitos mobilitas sosial yang dijabarkan di awal tulisan, penggusuran seharusnya menjadi titik di mana Gempol bekerja keras, menjaga akhlaknya, dan kemudian sukses naik kelas. Apalagi, sejak awal film, ia digambarkan sebagai anak kecil dengan moral baik, punya etos kerja yang baik, dan tidak punya niat jahat memanfaatkan Andri, temannya yang orang kaya. Padahal banyak orang di sekitar Gempol yang mendorongnya untuk sebisa mungkin memeras harta Andri. Di sisi lain, Andri sendiri seperti siap menyisihkan harta keluarganya untuk Gempol, terlihat dari inisiatifnya menyumbang koran bekas. Gempol punya sejuta alasan di dunia untuk mengambil untung, namun dia tidak melakukannya. Dia tetap menjaga pertemannya pada level yang tulus dan polos, layaknya jalinan persahabatan anak-anak. Dengan menjaga suatu relasi antara dua kelas yang sejatinya sulit didamaikan, Gempol telah memenangkan perang moralnya. Dia pantas mendapat kelenggangan dari struktur naratif film untuk menempuh mobilitas sosial. Dia telah memenuhi semua persyaratan yang ada untuk naik kelas.

Slamet Rahardjo bagusnya tidak percaya pada mitos. Dia lebih percaya pada realita yang perih, walau penyampainnya lirih. Andri dan Gempol boleh jadi adalah pasangan kaya-miskin yang surganya sama sederhananya, yakni bermain bersama. Orang-orang di sekitar mereka boleh jadi punya rima dalam dialognya. Masalahnya, dunia yang menaungi mereka digerakkan oleh realita jaman pembangunan, di mana sekat-sekat kelas dan relasi kuasanya terlalu kompleks untuk ditembus mobilitas sosial yang drastis, terlebih lagi mobilitas sosial yang hanya dilandaskan pada ketaatan moral. Ada logika ekonomi dan regulasi daerah yang berlaku, yang di jaman pembangunan tentu saja berorientasi pada produktivitas. Elemen-elemen yang tidak produktif, atau yang tidak sesuai dengan skema pembangunan, secara bertahap dilenyapkan dari pandangan. Klaim kesejahteraan sosial hanyalah bagian dari propaganda rezim Orde Baru.

Para karakter dalam Langitku Rumahku adalah lakon dari realita tersebut. Sampai akhir film, nasib keluarga Gempol hanya diketahui dari pernyataan tetangga Gempol, yang sendirinya hidup tak tentu di jembatan penyeberangan. Gempol akhirnya kembali ke desa, yang berarti juga hilang dari skema pembangunan. Satu-satunya yang bertahan di ibukota adalah Andri dan keluarganya yang kaya. Mobilitas sosial, seperti yang banyak didengungkan film-film Indonesia waktu itu, hanyalah mitos. Kenyataannya: yang kaya makin kaya, yang miskin offscreen.

Langitku Rumahku | 1989 | Durasi: 103 menit | Sutradara: Slamet Rahardjo | Produksi: PT Ekapraya Film | Negara: Indonesia | Pemeran: Soenaryo, Banyu Biru, Pitrajaya Burnama, Yati Sunarjo, Andri Sentanu

Tulisan ini merupakan retrospektsi salah satu film yang diputar selama Bulan Film Nasional 2011 di Kineforum.