Pupus: Dunia Serasa Milik Berdua, Yang Lain Offscreen

pupus-film_hlgh

Dalam industri film, popularitas sebuah lagu bisa menjadi preseden untuk sebuah film. Filmnya sendiri belum beredar di bioskop, namun lagunya sudah lebih dulu akrab di telinga masyarakat. Di Indonesia, contoh kasus yang cukup mumpuni adalah Heart, film yang disutradarai Hanny Saputra tahun 2006. Soundtrack yang cukup populer dari film tersebut adalah My Heart, yang ditembangkan oleh Irwansyah dan Acha Septiarasa. Ketika lagu tersebut mulai populer di belantika musik nasional, film Heart belum masuk bioskop, dan baru diberitakan akan dirilis beberapa bulan ke depan. Ketika akhirnya dirilis, Heart praktis sudah cukup dikenal oleh masyarakat. Tidak heran kalau kemudian Heart menjadi film Indonesia terlaris tahun 2006, dengan jumlah penonton mencapai 1,3 juta orang.[1]

Pupus, film produksi terbaru Maxima dan Dreamscape Pictures, adalah contoh kasus lainnya. Bedanya dengan Heart, Pupus didasarkan pada sebuah lagu yang aslinya adalah karya musik yang berdiri sendiri. Lagu tersebut pertama kali dirilis oleh Dewa 19 pada tahun 2002, sebagai bagian dari album Cintailah Cinta. Sebagai sebuah lagu, Pupus cukup populer sebagai sebuah balada tentang cinta tak berbalas. Salah satu baris liriknya yang cukup terkenal adalah “Baru kusadari cintaku bertepuk sebelah tangan.” Tema cinta tak berbalas itulah yang kemudian direproduksi dalam cerita film Pupus. Filmnya sendiri tak ada hubungannya dengan Dewa 19, kecuali lewat sejumlah soundtrack.

Karena lebih berdasar pada sebuah tema cerita, alih-alih terikat secara ketat pada konten lagu aslinya, film Pupus dapat bermain-main dengan cerita apapun. Tema cinta tak berbalas adalah tema yang universal, karena cinta tak berbalas dapat terjadi pada siapapun, dimanapun, kapanpun, dan dalam bentuk apapun. Melalui film Pupus, Rizal Mantovani menyajikan sebuah cerita tentang seorang gadis dari Lampung yang kuliah di ibukota. Nama gadis tersebut adalah Cindy (Donita). Ibunya menasihati putrinya kalau Jakarta dipenuhi oleh jejaka yang tak jelas juntrungannya. Nasihat tersebut yang Cindy amalkan dengan berniat fokus kuliah, dan tak memikirkan soal pacaran. Itulah yang Cindy tegaskan ke teman baiknya di awal-awal film.

Seiring berjalannya waktu, iman Cindy goyah juga. Konflik utama cerita, yakni cinta segitiga antara Cindy, Panji (Marcel Chandrawinata), dan Hugo (Arthur Brotolaras), pun terpantik. Panji dan Hugo adalah dua kakak angkatan Cindy di kampus. Protagonis kita pertama kali bertemu mereka saat masa orientasi mahasiswa baru. Seiring berkembangnya plot, Panji dan Hugo bergantian menempati puncak skala prioritas Cindy. Ketika Panji tiba-tiba pergi tanpa pesan di kencan pertema mereka, Cindy merapat ke Hugo. Ketika Hugo tiba-tiba menunjukkan ketidakjelasan yang serupa, Cindy kembali merapat ke Panji. Begitulah yang terjadi sepanjang film. Karena para lelaki tak kunjung memberi kepastian, sedikit sekali adegan dalam film dimana Cindy tak dirudung nestapa.

Pertanyaannya kemudian: sesenggang apakah mahasiswa sekarang, sehingga pikirannya hanya cinta dan nestapa? Kenyataannya mungkin begitu, namun film Pupus bukanlah film yang berkomitmen pada realita. Film Pupus hanya peduli pada perkembangan isi hati para karakter utamanya, yakni sejumlah mahasiswa dan mahasiswa kelas menengah. Mereka yang penonton lihat sepanjang cerita bergulir. Film pun secara terus-menerus menggiring penonton ke nestapa dan tragedi cinta mereka, tanpa sekalipun melirik realita di sekitar mereka. Tidak heran kalau kemudian shot yang dominan adalah close-up dua sejoli, entah itu Cindy dengan Panji, atau Cindy dengan Hugo, dengan latar belakang yang direduksi menjadi kerlip warna-warni. Ibaratnya, dunia serasa milik berdua, yang lain offscreen.

Cara film membangun karakternya juga tak berjejak pada realita. Status para karakter sebagai mahasiswa bahkan tidak diperhitungkan dalam bangunan cerita. Memang ada beberapa adegan singkat yang menampilkan rutinitas mahasiswa. Ada beberapa adegan Cindy belajar di kelas. Ada beberapa adegan Panji beraktivitas di laboratorium. Ada juga satu adegan Hugo dan Cindy mengunjungi tempat latihan kelompok pecinta alam di kampus. Masalahnya, adegan-adegan tersebut baru sebatas menunjukkan status mereka sebagai mahasiswa. Sesungguhnya apa yang para karakter pedulikan hanyalah urusan cinta dan nestapa mereka. Dalam satu adegan di pertengahan film, Cindy menerobos masuk ke dalam laboratorium fakultas teknik, dan kemudian marah-marah pada Panji. Sekelibat, terlihat kalau ada beberapa mahasiswa lainnya sedang praktikum. Ketika fokus kamera berpindah ke Panji dan Cindy, para mahasiswa yang praktikum tadi tersingkir keluar layar, dan tak terdengar lagi suaranya sampai film ganti adegan.

Sebagai sebuah cerita, film Pupus sangatlah generik. Ia tidak terikat oleh realita di luar sana, tidak juga secara spesifik terikat oleh identitas karakternya. Ceritanya begitu mengatasnamakan cinta, sehingga detail-detail sosial dan individual di dalamnya tak jadi soal. Skenario dasar film Pupus, yakni seorang perempuan yang terombang-ambing antara dua laki-laki, praktis bisa dibawa ke tempat lain dan dilakoni oleh orang berprofesi lain. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bukankah cinta tak berbalas adalah hal yang universal?

Hal universal lainnya yang dipraktekkan film Pupus adalah jualan. Jualan yang paling terasa adalah jualan lokasi cerita. Mayoritas cerita film Pupus terjadi di kampus Universitas Trisakti, yang turut terlibat di balik produksi. Sejumlah adegan rutinitas mahasiswa menampilkan fasilitas-fasilitas yang tersedia di Universitas Trisakti. Visual film yang jernih dan warna-warni praktis merangkap jadi iklan untuk Universitas Trisakti. Jualan lainnya adalah jualan suatu merk telepon seluler. Beberapa close up menunjukkan merk telepon seluler tersebut, yang dipakai oleh seluruh karakter dalam film. Dalam beberapa adegan, terlihat ada iklan merk telepon seluler tersebut terselip di pojok kampus.

Jualan yang paling signifikan adalah jualan tiket film Pupus sendiri. Hal ini sangat terasa ketika film secara berlebihan menggunakan lagu Pupus dalam perkembangan ceritanya. Dalam beberapa adegan melankolis, terutama ketika Cindy secara telak ditinggal oleh Panji di hari ulang tahunnya, penggunaan lagu Pupus sangatlah tepat guna. Lagunya sendiri tentang cinta tak berbalas, wajar kalau jadi pengiring adegan-adegan melankolis tersebut. Masalahnya, apa signifikansi lagu Pupus ketika ia digunakan di adegan-adegan bahagia? Lagu Pupus tetap terdengar, bahkan ketika kamera secara terang-terangan menunjukkan dua sejoli yang bahagia, baik ketika Cindy bersama Panji, maupun waktu bersama Hugo. Ada ketidaksamaan logika bertutur antara suara dan gambar, yang dalam banyak hal bisa dilihat sebagai usaha film untuk jualan.

Sebagai alat pemasaran, popularitas lagu Pupus memang memiliki prospek yang menggiurkan. Jutaan orang menggemari lagu tersebut. Dewa 19, band yang menyanyikan lagu Pupus, juga punya banyak penggemar. Dengan banyak menggunakan lagu Dewa 19 yang populer tersebut, film Pupus sejatinya baru membuktikan relevansi judul filmnya, selain tentunya mengusik rasa penasaran penggemar lagu Pupus dan band Dewa 19. Ditilik dari penggunaannya dalam film, lagu Pupus sendiri hanyalah sebuah tempelan, yang kebetulan saja berkaitan secara tematik dengan sajian filmnya. Sesungguhnya, pembuat film Pupus bisa saja memakai judul sendu dan balada pop lainnya untuk cerita klise yang mereka sajikan. Hasilnya akan sama saja.

Pupus | 2011 | Durasi: 84 menit | Sutradara: Rizal Mantovani | Produksi: Maxima Pictures, Universitas Trisakti, Dreamscape Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Donita, Marcel Chandrawinata, Kaditha Ayu, Arthur Brotolaras, Ichsan Akbar, Vicky Monica


[1] Suara Pembaruan, 17 September 2006.