Neorealisme Italia: Habis Fasisme, Terbitlah Realita

Roma, città apperta
Roma, città apperta

Alain Robbe-Grillet, seorang penulis Prancis, pernah bertanya: kenapa semua gerakan film menjanjikan sinema baru dengan pandangan yang lebih jernih tentang realita? Perbandingannya tentu saja dengan film-film yang ada sebelum gerakan tersebut ada. Melalui sinema baru, penonton bisa melihat realita melalui lensa yang lebih jernih, yang tidak dikaburkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Untuk sinema Italia era 40an, kepentingan yang mengaburkan sinema dari realita adalah kepentingan politik. Lebih spesifiknya: kepentingan rezim Fasis. Oleh karena itu, pasca keruntuhan rezim diktator tersebut, muncul sebuah gerakan bernama Neorealisme Italia. Gerakan tersebut tidak saja mengedepankan sinema yang lebih dekat dengan realita kehidupan sehari-hari di Italia, tapi juga menebus dosa besar rezim Fasis yang menolak menampilkan potret Italia yang sesungguhnya.

Ada perbedaan drastis antara sinema Italia pra dan pasca kekuasaan Fasisme pada 1922 sampai 1943. Sebelum Fasisme, di era 20-an, sinema Italia adalah fotokopi film-film Hollywood. Mayoritas adalah film drama dengan protagonis dari golongan kelas menengah, latarnya rumah atau bangunan mewah, dengan konflik yang selalu ada jalan tengahnya, serumit apapun masalahnya. Orang-orang Italia menyebut jenis film tersebut telefoni bianchi, alias ‘telepon putih’. Pasalnya, dalam film-film tersebut, selalu ada telepon putih, barang yang pada jamannya hanya dimiliki orang kaya saja. Mengenang kembali periode tersebut, Federico Fellini berkomentar, “Untuk generasi yang lahir di dekade 20an, seperti saya, sinema adalah Amerika. Film-film Amerika jauh lebih menghibur, dan tentunya lebih menggoda. Film-film tersebut tahu betul cara menunjukkan surga dunia, sebuah surga yang mereka namai Amerika.”

Memasuki rezim Mussolini, sinema Italia tidak banyak berubah. Fotokopi film-film Hollywood tetap merajai bioskop. Tidak seperti Hitler atau Stalin, diktator sejamannya, Mussolini tidak mengincar kontrol penuh atas konten sinema komersil Italia. Namun, Mussolini tetap menerapkan sensor yang ketat atas film-film komersil, agar kontennya secara politis tidak berlawanan dengan kepentingan rezim. Untuk kepentingan propaganda, Mussolini punya LUCE, akronim untuk L’unione cinematografica educativa. LUCE bertanggungjawab atas siaran berita dan film dokumenter di Italia selama rezim Mussolini. Walau begitu, Mussolini menuntut industri film nasional agar terus berkembang. Mussolini melihat tidak ada masalah dengan imitasi Hollywood yang menguasai pasar perfilman Italia. Bagi Mussolini, Hollywood adalah model terbaik untuk perfilman Italia pada jamannya. Sebagai medium hiburan, menurut diktator tersebut, film jelas harus mengacu pada modus produksi Hollywood, yang dari dulu sampai sekarang industri hiburan nomor satu di dunia.

Demi kejayaan sinema Italia, Mussolini pun mencanangkan tiga proyek akbar. Pertama adalah pengadaan festival film bergengsi. Pada 1934, festival seni tahunan di Venezia kedapatan cabang baru: film. Cabang tersebut kemudian berkembang jadi Bienalle, salah satu festival film tertua yang masih aktif sampai sekarang. Berkat cakupannya ke dunia internasional, Bienalle membangun sensasi tersendiri di kalangan masyarakat. Sinema pun menjadi kosakata sehari-hari di kalangan masyarakat Italia. Tidak puas dengan Bienalle, Mussolini pun lanjut ke proyek berikutnya: pembangunan sekolah film. Pada 1935, berdirilah Centro Sperimentale di Cinematografia, yang menjadi pusat eksperiman sinematografi di Italia. Untuk lahan praktek bagi alumni sekolah tersebut, Mussolini membangun Cinecitta. Berdiri pada1937, Cinecitta merupakan studio film terbesar di Italia. Banyak pekerja film Italia yang menjalani pendidikan dan praktek di dua institusi tersebut. Konsekuensinya: terbentuklah sebuah generasi produksi yang akrab dengan teori dan teknik terbaru dalam sinematografi.

Ossessione

Satu hal yang Mussolini tidak antisipasi adalah preferensi generasi produksi yang baru saja ia bentuk. Mereka sangat tertarik dengan realisme, yang jelas berlawanan dengan Hollywood yang Mussolini idolakan. Jadi, walau bekerja untuk kepentingan Mussolini, generasi tersebut berusaha merekam realita setelanjang mungkin. Salah satu pelakunya adalah Alessandro Blasseti. Ketika memproduksi 1860 (1934), sebuah drama patriotik tentang kemerdekaan Italia, Blasseti menerapkan teknik-teknik yang nantinya diasosiasikan dengan Neorealisme. Dia menggunakan lakon-lakon amatir. Dia juga melakukan shooting di luar studio. Hasilnya: sebuah drama yang terasa sangat riil dan tidak melankolis. Setahun kemudian, Blasseti menerapkan teknik serupa saat memproduksi Vecchia guardia (The Old Guard, 1935). Subjek yang dia harus angkat ke film: long march tentara Mussolini ke Roma.

Selain Blasseti, ada Roberto Rosselini. Dia bereksperimen dengan realisme dalam trilogi filmnya: La Nave Bianca (The White Ship, 1941), Un pilota ritorna (A Pilot Returns, 1942) dan L’uomo dalla croce (The Man With a Cross, 1943). Prinsip yang Rosselini terapkan adalah kombinasi antara fakta historis dengan fiksi romantis. Dalam prakteknya, Rosselini mencampurkan cerita cinta dengan kisah petualangan atau perjuangan militer. Dia memanfaatkan montase cepat untuk menabrakkan keduanya. Tabrakan antara yang romantis dan realistis menghasilkan dramatisasi dari kenyataan yang ada. Teknik tersebut memungkinkan Rosselini untuk mengunjungi kenyataan pahit yang melanda masyarakat Italia. Hal tersebut terselip dalam rentetan adegan yang Rosselini susun, dan baru kentara dalam tontonan kedua dan selanjutnya. Kesan pertama yang penonton (dan pengawas dari badan sensor) dapat tetaplah glorifikasi nasionalisme Italia: suatu hal yang kompatibel dengan tuntutan politis Mussolini.

Sejarawan film menyebut pendekatan Rosselini sebagai documentario romanzato, alias ‘dokumenter fiktif’. Teknik ini dipakai Rosselini, dan sutradara Italia lainnya jaman Mussolini masih berkuasa, karena dirasa paling aman. Di permukaan teknik tersebut terlihat sejalan dengan tuntutan politis Mussolini, namun memberikan kesempatan bagi para pekerja film untuk bereksperimen dengan realisme. Apalagi Mussolini banyak memesan film untuk menyokong angkatan militernya. Pada 1943, Luchino Visconti berjalan selangkah lebih jauh dari teknik documentario romanzato dalam Ossessione (Obsession). Cerita dasarnya diambil dari novel kriminal karya James Cain, penulis yang beberapa karyanya diproduksi jadi film noir di Hollywood. Bersama beberapa penulis jurnal Cinema, Visconti membongkar melodrama urban Cain dan menyusunnya kembali dalam lanskap pedesaan Italia. Long take dan long shot digunakan sebagai struktur utama film. Fokus kamera pun dimainkan Visconti untuk menunjukkan aksi yang dilakukan dan ruang yang ditempati oleh karakter-karakternya. Bila Rosselini mendramatisir filmnya dengan montase cepat, Visconti melakukannya dengan close up, yang dipakai seperlunya saja. Hasilnya: potret suram tentang kelas menengah Italia dalam wujud drama konspirasi domestik.

Paisan

Sejarawan film menganggap Ossessione sebagai produk neorealis yang pertama. Walau kemasannya terkesan dramatis, film Visconti tersebut mengandung prinsip-prinsip yang nantinya banyak dipakai film neorealis. Apalagi tahun produksi Ossessione bersamaan dengan keruntuhan Mussolini di Italia. Film tersebut dianggap sebagai tanda dari kedatangan sebuah era baru di perfilman Italia, era di mana sinema merdeka dari sensor dan sutradara bisa bebas berekspresi. Pasca keruntuhan Mussolini, para pekerja film turun ke jalan dan membuat film sesuka hatinya. Rumornya: mereka turun ke jalan karena studio film rusak akibat Perang Dunia II. Kenyataannya: studio film memang tutup, namun hanya untuk sementara. Ketika akhirnya studio film beroperasi lagi, para pekerja film tetap memilih untuk syuting di jalan. Mereka tertarik untuk merekam kondisi Italia seusai perang. Satu per satu, tema-tema sosial-politik yang dilarang saat jaman Mussolini pun diangkat ke film. Neorealisme Italia pun memperoleh momentumnya.

Neorealisme Italia pertama kali menarik perhatian dunia lewat Roma, città apperta (Open City, 1945). Film garapan Rosselini tersebut merekam konstelasi moral masyarakat Italia seusai perang. Lewat sorotan kameranya, Rosselini menggambarkan penderitaan masyarakat Italia saat dijajah Jerman, dan bagaimana para pejuang yang selamat membangun republik yang baru. Sebenarnya, Open City secara teknis tidaklah realistis. Rosselini menggunakan aktor profesional, memanfaatkan set studio untuk beberapa adegan, dan menggunakan pencahayaan lampu sebagai sarana ekspresi. Karakter-karaternya juga jelas terbagi dalam dikotomi baik dan jahat, berbeda dengan ambiguitas moral ala Neorealisme Italia. Open City dianggap realistis di level wacana. Wacana yang Rosselini utarakan adalah tentang penderitaan Italia, yang hadir tidak secara eksternal saja dalam wujud penjajah, tapi juga secara internal dalam masyarakat dan para pejuang kemerdekaan.

Baru pada film Paisan (1946), Rosselini mengamalkan Neorealisme secara teknis. Subjek yang diangkat sama dengan Roma, città apperta, yakni kondisi Italia waktu Perang Dunia II. Namun, kali ini, Rosselini memilih untuk memotretnya dengan cara yang sangat dingin. Rujukannya adalah rol berita (newsreel). Rosselini pun mengkonstruksi filmnya sekasar mungkin. Stok film yang dipakai adalah stok film tua yang penuh bercak (grainy). Aktor-aktor yang dipakai hampir atau tidak punya pengalaman dalam seni peran. Mereka pun melakonkan naskah Rosselini seadanya saja, tanpa ada usaha untuk terlihat artistik. Sebagai pelengkapnya, setiap episode dalam Paisan diiringi dengan suara narator yang dingin dan datar. Satu-satunya hal yang dramatis dari Paisan adalah montase cepatnya. Namun, dengan materi adegannya yang sangat kasar, montase tersebut hanya memperkuat realisme dalam Paisan.

La terra trema

Sementara Rosselini asik bereksperimen secara formalis, Visconti tidak mau ketinggalan. Dia melanjutkan estetika realis yang dia mulai di Ossessione dalam La terra trema (The Earth Trembles, 1948). Cara pengambilan gambarnya masih sama: long take dan long shot. Lokasi syutingnya juga sama: pedesaan. Bedanya Visconti kali ini membebaskan aktornya bicara dengan aksennya sendiri. Mayoritas bicara dalam aksen Sisilia, yang tidak digunakan di bagian Italia lainnya. Visconti juga merekam suara-suara di lokasi syutingnya begitu saja, dan tidak melakukan sinkronisasi audio pasca produksi. Hasilnya: sebuah potret kasar tentang orang biasa, yang memang dimainkan oleh orang biasa.

Penggunaan aktor amatir juga diterapkan oleh Vittorio De Sica. Bagi De Sica, orang biasa akan lebih fasih memerankan orang biasa ketimbang aktor. Hal tersebut kentara dalam Ladri di biciclette (Bicycle Thieves, 1948). Ceritanya sederhana: bapak dan anak mencari sepeda yang hilang. Tanpa sepeda tersebut, si bapak tidak dapat bekerja untuk menafkahi keluarganya. De Sica mengemas cerita sebagai sebuah petualangan urban. Kemasannya adalah sekuens adegan yang diambil secara long take di jalanan kota Roma. Hasilnya adalah sebuah film yang secara politis mengkritisi perekonomian Italia pasca perang. Sebuah sepeda yang hilang menjadi potensi sekaligus representasi dari kekacauan ekonomi yang lebih besar. Revolusi boleh jadi membebaskan Italia, namun kelas pekerja akan terus terperangkap dalam siklus kerja yang tidak manusiawi.

Trik serupa diulangi De Sica empat tahun kemudian dalam Umberto D (1952). Kemasannya mirip seperti Ladri di biciclette: mulai dari penggunaan aktor amatir, syuting di jalanan, hingga pengambilan gambar secara long take. Bedanya adalah struktur cerita yang De Sica sampaikan. De Sica tidak lagi membuat kisah petualangan, melainkan rekaman kehidupan sehari-hari seorang pria. Penonton diajak melihat usaha seorang pria memenuhi kebutuhan dasarnya sehari-hari: makanan, rumah, dan teman. Namun, De Sica tidak mengijinkan penonton dekat-dekat dengan protagonis Umberto D. Jarak kamera ke karakter paling dekat adalah medium shot. Simpati penonton pun teralihkan ke pemandangan kota Roma, di mana bangunan-bangunan megahnya tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakatnya.

Umberto D

Karya-karya Rosselini, De Sica, dan Visconti sampai sekarang masih dianggap sebagai perwujudan prinsip Neorealisme Italia yang paling sempurna. Ketiganya menggunakan pendekatan teknis yang berbeda, namun tujuannya sama: mereplikasi realita dalam versi kasarnya. Kemunculan karya mereka yang berdekatan cenderung membuat para pengamat curiga, kalau-kalau ada semacam manifesto tertentu yang mengikat sutradara-sutradara Italia tersebut. Kenyataannya: sampai sekarang tidak ditemukan adanya manifesto, yang dapat membuktikan bahwa mereka terikat dalam suatu gerakan. Sebagai sebuah gerakan, Neorealisme Italia tidak bersandar pada sebuah manifesto, tapi pada aspirasi untuk menampilkan Italia secara jujur, tanpa ada halangan dari pihak-pihak tertentu.

Ketiadaan manifesto membuat Neorealisme Italia menghasilkan produk-produk yang beragam. Beberapa memang tidak menggambarkan realita secara telanjang, namun tak kalah lantang mengkritisi isu-isu kontemporer masyarakat Italia. Ada Vivere in pace (To Live in Peace, 1946). Karya Luigi Zampa tersebut memparodikan film-film Rosselini menjadi sebuah komedi tentang perang. Ada juga Senza pietà (Without Pity, 1948) karya Alberto Lattuada. Film tersebut menceritakan kisah cinta antara tentara berkulit hitam dari Amerika dengan seorang pelacur Italia. Lattuada mengkonstruksi filmnya seperti documentario romanzato, namun tanpa glorifikasi nasionalisme Italia. Giussepe De Santis lewat Riso amaro (Bitter Rice, 1948) mencoba mengkritisi budaya pop Italia. Secara kritis, De Santis menyorot pengaruh Amerika di Italia, mulai dari musik dansa, permen karet, hingga kontes kecantikan. Hal-hal tersebut dianggap De Santis sangatlah borjuis, dan berpotensi merusak budaya asli masyarakat Italia, yang lebih akrab dengan kultur proletar.

Tanpa terikat manifesto, para sutradara bisa berekspresi sesuka hatinya. Hal tersebut yang akhirnya menjadi akhir dari Neorealisme Italia. Faktanya film-film neorealis tidak laku di pasaran. Penonton lebih tertarik dengan film Hollywood, atau film Italia yang mirip dengan film Hollywood. Prinsip-prinsip Neorealisme Italia akhirnya mulai ditinggalkan. Prinsip-prinsip dalam film Hollywood pun mulai diadaptasi. Beberapa sutradara melakukannya untuk mencari uang. Beberapa merasa sudah cukup bermain-main dengan realisme, dan mulai melihat kemungkinan baru dalam mengekspresikan realita. Beberapa malah merasa sudah cukup kritik sosial, dan memilih untuk membuat film-film puitis atau psikologis. Kelompok terakhir itulah yang menjadi fase sinema Italia setelah Neorealisme. Pengibar benderanya adalah Federico Fellini dan Michelangelo Antonioni.

Referensi

Geoffrey Nowell-Smith. The Oxford History of World Cinema. Oxford: Oxford University Press: 1996.

Roy Armes. Patterns of Realism: A Study of Italian Neo-Realist Cinema. London: Tantivy Press, 1971.

Peter Bondanella. Italian Cinema: From Neorealism to the Present. New York: Continuum, 2001.