Mars Met Venus: Empati Terbentur Stereotip

Kenyataan yang harus diterima bersama: orisinalitas sudah mulai langka. Mars Met Venus karya Hadrah Daeng Ratu, yang tampak mencontoh Disappearance of Eleanor Rigby (2013), adalah salah satu wujudnya. Seperti Eleanor Rigby, dwilogi Mars Met Venus menceritakan satu kisah lewat dua film dengan dua sudut pandang berbeda. Bedanya, Eleanor Rigby mengusung kisah tragis tentang pasangan yang mengalami perpecahan pasca kematian bayi mereka, sementara Mars Met Venus menceritakan muda mudi yang nge-vlog sebelum menikah. Kedua film ini, yang kualitasnya tidak bisa dibilang sepadan, biarlah kita bandingkan di lain kesempatan. Dalam tulisan ini, kita hanya akan melihat gagasan Mars Met Venus dengan lebih lekat.

Tayang lebih dahulu, Mars Met Venus (Part Cewe) berfokus pada Mila (Pamela Bowie). Dalam film, ia digambarkan sebagai kekasih yang sedang berbunga-bunga, karena mengetahui ajakan nge-vlog bareng hanyalah kedok lamaran dari kekasihnya, Kelvin (Ge Pamungkas). Soal apa kesibukan Mila sehari-hari, film tidak memberikan informasi yang cukup. Hanya kegemarannya yang kita ketahui: masak. Dengan gudeg sebagai menu andalan, Mila seakan memiliki kebanggaan dalam hidupnya, yang nantinya sirna ketika Kelvin mengaku tidak suka gudeg dalam salah satu sesi vlog mereka.

Kegiatan nge-vlog menjadi kunci sekaligus perekat jalan cerita film. Bisa ditebak, selama sejoli ini nge-vlog, cekcok terus menerus muncul. Puncaknya adalah ketika Kelvin berkata bahwa keluarganya di Padang hanya akan ke Jakarta untuk hal-hal penting. Mila, yang sedari awal film digambarkan cepat naik darah, tentunya kecewa berat. Sebab selama lima tahun pacaran ia tak pernah dipertemukan dengan keluarga Kelvin. Artinya: ia tidak penting. Fakta bahwa Kelvin wisuda tanpa didampingi ibunya pun tidak Mila pedulikan. Mila sakit hati. Hubungan keduanya terancam.

Penyelesaian puncak konflik tersebut terurai di Part Cowo yang dirilis dua minggu setelah Part Cewe. Di Part Cowo semua menjadi terjelaskan, baik itu tujuan nge-vlog maupun alasan ibunya Kelvin belum diperkenalkan dengan Mila. Sementara di Part Cewe, meskipun benang ceritanya lebih kuat daripada Part Cowo, tidak kita temukan penyelesaian apapun. Protagonis kita, Mila, tidak melakukan apapun, dan masalah selesai. Mungkin, seperti sejumlah film lain yang juga terbagi menjadi dua bagian, pengenalan dan penyelesaian cerita di film ini memang dimaksudkan untuk dijual secara terpisah.

Dua Ragam Stereotip

Dwilogi Mars Met Venus konon dimaksudkan agar kita mampu memahami perspektif orang lain. Oleh karenanya film terbagi menjadi dua sudut pandang, yang memperlihatkan dinamika pasangan dari dua sisi. Seperti yang juga terjadi di 3 Dara (2015) karya Ardy Octaviand, niat semacam ini tentu baik, yakni supaya kita berempati, sehingga keegoisan tidak terus merajalela di muka bumi. Namun, melihat bagaimana stereotip demi stereotip mengisi Mars Met Venus, rasanya niat mulia itu masihlah berupa angan-angan, kalau bukan gimmick pemasaran.

Kelvin dan Mila sayangnya tak pernah benar-benar hadir sebagai pribadi. Keduanya lebih sering dibicarakan sebatas gendernya saja. Gengnya Kelvin memulai omongannya dengan “Cewek itu”, sementara gengnya Mila memulai omongan dengan “Cowok itu”. Efeknya, alih-alih menelaah problema pasangan dari dua sisi, film ini justru menjadi pawai ocehan sterotip dari dua kelompok. Runyamlah maksud film ini sebagai ajang memahami keragaman perspektif. Bukankah dengan menggeneralisir laki-laki dan perempuan, film ini justru menutup mata terhadap keragaman yang lebih besar, yakni keragaman sifat laki-laki dan perempuan itu sendiri?

Tanpa obrolan seksis, Mars Met Venus mungkin bisa menjadi kisah antara Mila dan Kelvin yang lebih utuh. Dengan kata lain, keduanya tidak akan menjadi perwakilan dari “Mars” ataupun “Venus”. Tak ada obrolan yang menggeneralisir sifat-sifat cowok di Part Cewe, tak ada pula obrolan yang menggeneralisir sifat-sifat cewek di Part Cowo. Kelvin akan dilihat sebagai Kelvin, dan Mila akan dilihat sebagai Mila. Tapi nyatanya Mars Met Venus hanya menempatkan Mila dan Kelvin sebagai maskot dari stereotip gendernya masing-masing. Lihat saja adegan ketika Mila memojokkan Kelvin di salah satu momen nge-vlog. Kelar adu mulut, Kelvin berkata, “Cewek itu enggak pernah salah ya.”

Lewat omongan itu, lenyaplah pengembangan karakter yang terbangun sejak awal film. Padahal, melalui berbagai kilas balik dan kejadian jenaka, pasangan ini sudah punya modal untuk berdiri sendiri tanpa embel-embel gender plus stereotipnya. Mereka sudah lima tahun pacaran, bukan dua orang yang baru jumpa di Tinder. Tentu tak akan ada ruginya bila pembuat film membahas permasalahan mereka tanpa mengaitkannya dengan stereotip gender. Dengan kata lain, ketimbang bilang “Cewek itu enggak pernah salah ya”, Kelvin sebetulnya cukup bilang “Kamu itu enggak pernah salah ya.” Itu tentunya akan jauh lebih mengena.

Mila dan Kelvin sejatinya hanyalah wakil dari diri mereka sendiri. Film-film ini hanyalah Part Mila dan Part Kelvin, bukan Part Cewe dan Part Cowo. Bisa dimengerti apabila pembuat film ingin penonton laki-laki dan penonton perempuan merasa terwakili dalam dua filmnya. Namun mewujudkannya lewat stereotip rasanya bukan sebuah langkah yang tepat. Memaksakan dwilogi Mars Met Venus ini berbicara tentang perspektif perempuan dan laki-laki sama saja dengan melanggengkan lagi stereotip-stereotip yang beredar di masyarakat. Budaya pop membentuk masyarakatnya, dan masyarakat yang tenggelam dalam stereotip biasanya tidak punya waktu untuk berempati.

Mars Met Venus (Part Cewe) | 2017 | Durasi: 98 menit | Sutradara: Hadrah Daeng Ratu | Penulis: Nataya Bagya | Produksi: MNC Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Pamela Bowie, Ge Pamungkas, Ria Ricis, Rani Ramadhany, Reza Nangin, Ibob Tarigan, Steve Pattinama, Martin Anugrah

Mars Met Venus (Part Cowo) | 2017 | Durasi: 94 menit | Sutradara: Hadrah Daeng Ratu | Penulis: Nataya Bagya | Produksi: MNC Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Ge Pamungkas, Pamela Bowie, Reza Nangin, Ibob Tarigan, Steve Pattinama, Martin Anugrah, Ria Ricis, Rani Ramadhany