Liburan Keluarga: Melenturnya Yang Nyata dan Yang Tak Nyata

liburan-keluarga_highlight

Menonton film pendek Liburan Keluarga (2012) yang disutradarai Tunggul Banjaransari adalah menonton film dengan kualitas teknis yang tidak terjaga. Suara pada beberapa bagian film tidak merata, timbul-tenggelam. Gambar pun saya yakini banyak tertolong oleh proses editing.

Namun menjadi menarik ketika ketidaksempurnaan ini lahir dari seorang sutradara yang sebelumnya telah membuat setidaknya enam film. Artinya, ada hal yang memang sedang ia pertaruhkan di hadapan publik penonton.

Film ini dibuka dengan gambar dua orang anak yang tengah menaiki wahana permainan kereta-mini di dalam sebuah pusat perbelanjaan. Tidak ada tawa ceria atau jeritan riang keduanya selama kereta-mini melaju melewati orang-orang dan barang-barang jualan. Hanya suara musik jingle yang terekayasa dari pengeras suara pusat perbelanjaan dan bebunyian dari kereta-mini. Wajah kedua anak tampak takjub dengan suasana sekitar, seperti baru pernah mengunjungi.

Gambar beralih seketika pada satu kerumunan keluarga yang membawa rantang, lampu jinjing, menggelar tikar, bertamasya di satu alam bebas yang sepi dengan naik mobil bak terbuka pada malam hari. Tak ada manusia selain mereka. Sang ibu mengeluarkan makanan dan menatanya di atas tikar. Mereka bercengkerama, tertawa, saling mengatai dan berbicara satu sama lain dalam bahasa Jawa keseharian. Si anak tertua berjalan mengelilingi mereka dengan bermain tiup gelembung sabun seenaknya. Lalu muncul lelaki anggota keluarga menaiki sepeda motornya dengan memboncengkan seorang perempuan. Ia turun dan menghampiri kerumunan. Menyerobot satu-dua makanan yang sedang ditata lalu memakannya. Diumpat-sayanglah ia oleh sang ibu. Gaduh.

Lewat dua adegan pembuka itu Tunggul menyodorkan pertanyaan tentang liburan, yang seringkali secara simplistik diartikan sekadar sebagai satu usaha untuk enyah dari rutinitas, ritme yang statis, kebosanan dan stres yang menggila. Maka berpindah tempat dengan mengunjungi taman rekreasi, wahana permainan ekstrim, tempat-tempat yang indah dan sejenisnya, menjadi ukuran pasti. Tanpa kita menyadari bahwa perbincangan tentang liburan sebenarnya adalah satu perbincangan panjang yang spiritual. Bisa jadi ia tak ke mana-mana, namun ada di mana-mana.

Sebagai pengantar menuju perbincangan spiritual, dua adegan awal tersebut berhasil. Pada adegan-adegan berikutnya, Tunggul membawa kita pada perbincangan yang lebih lekat dalam keseharian. Bahkan ia tak ragu untuk menyodorkan dua perspektif bertentangan yang hidup dan dipercaya dalam masyarakat kita. Liburan Keluarga, tak pelak, adalah salah satu film yang mengajak penontonnya mengambil peran aktif untuk melekatkan pikiran pada konsep spiritual masing-masing.

Gancet dan Tulah

Salah satu kunci dalam film ini ada pada adegan senggama yang amit-amit, yang bagi sebagian penonton mendatangkan kelucuan semata. Yang harus dicatat adalah bahwa adegan senggama dalam Liburan Keluarga berhasil menjauh dari kebodohan film-film kita yang selalu menampilkan seksualitas Jawa sebagai hal yang adiluhung, yang selalu mencitrakan perempuan Jawa yang kenes, dalam balutan pakaian dan ritual tradisi, sendratari, kelambu, eksotik, prosesi yang disakral-sakralkan dan pandangan turistik lainnya. Tunggul secara pas menempatkannya bukan sekadar sebagai tempelan atau sensasi. Ia memegang peran penting dalam film ini. Tepat konteks dan teks.

Di semak-semak, si lelaki yang berkacamata hitam malam-malam menoleh kanan-kiri untuk memastikan tak ada mata yang mengawasi. Si perempuan memakai rok longgar agar kapanpun siaga dan siap digarap, karena mereka paham berada dalam ruang dan waktu yang tak sepenuhnya bisa mereka kuasai keajegannya. Di atas sebuah tikar yang digelar di depan sepeda motor itulah mereka bersenggama. Persenggamaan yang nikmat tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. Kelamin mereka gancet: kontol si laki-laki tidak bisa keluar dari memek. Terkunci, tak bisa dikeluarkan.

Gancet lalu ditafsirkan secara lain mengingat peristiwa gancet hampir selalu diberitakan terjadi pada ruang dan waktu yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Misalnya bersenggama di kompleks pemakaman, pemandian, situs alam terbuka dan sejenisnya, yang semuanya itu dikeramatkan. Kemalangan mereka ini sering disebut sebagai “kena tulah” atawa hukuman supranatural.

Dalam wilayah rasional, tersebutlah istilah vaginismus. Disfungsi seksual pada perempuan, berupa kekejangan otot memek sepertiga bagian luar dan sekitarnya. Ini semacam reaksi penolakan atas kondisi fisik dan psikis ketika bersenggama. Secara psikis, ini adalah ekspresi dari timbulnya rasa takut yang luar biasa karena kesadaran yang tiba-tiba hadir akan anggapan bahwa senggama adalah kotor dan nista, rasa takut jika persenggamaan mereka disaksikan orang, dan rasa takut persenggamaan tersebut menyalahi. Ada jejaring nilai yang membuat ketakutan, keyakinan bahwa persenggamaannya merusak tatanan moral, etik dan akhlak.

Dalam satu adegan panjang persenggamaan ini, Tunggul berhasil menempatkannya pada ruang yang pas, justru dengan menggambarkan budaya masyarakat kelas bawah, yang dipercaya ada namun sekaligus berusaha diingkari.

Weton dan Sawan Macan

Pada salah satu adegan diceritakan bahwa anak terkecil sang keluarga kambuh demamnya, padahal dua hari sebelumnya si anak sudah dibawa ke bidan (medis), namun demamnya tak kunjung turun, tak jua sembuh. Atas saran sang kakek, si anak dibawa ke Nyai Sum semata-mata dengan alasan ia sudah mengenalnya dan Nyai Sum baik orangnya. Kita tidak mendapati alasan lain yang menunjukkan Nyai Sum adalah orang yang tepat untuk menyembuhkan sakitnya si anak. Sesampainya mereka di tempat Nyai Sum, si anak malah bertingkah lain, berjalan merangkak, dan menyerupai tingkah macan.

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, kita kenal adanya weton atau hari lahir, yang memiliki asal kata dari wetu (metu, keluar dari rahim). Ia adalah kombinasi dari hari lahir dan pasaran, dan memiliki siklus ulang-weton setiap 35 hari. Misalnya seorang anak yang lahir pada Jumat Kliwon, ia akan ada di wetonnya setiap hari pasaran tersebut.

Ulang-weton selama ini dipercaya sebagai kondisi paling sensitif bagi seseorang, baik psikis maupun fisik. Ini adalah keadaan selemah-lemah dan sekuat-kuatnya seseorang. Bahkan dalam dunia perdukunan, hari weton ini dipercaya sebagai hari yang paling pas untuk melakukan sesuatu yang buruk pada seseorang, misalnya: memasang teluh. Ini pula yang dipercaya oleh sebagian orang Jawa untuk tidak memberitahu hari wetonnya secara sembarangan.

Dalam keadaan paling sensitif ini pula manusia Jawa mendapatkan imbangan dari bawaan (gawan). Gawan dipercaya sebagai makhluk tak tampak yang merupakan jelmaan diri pada dunia yang lain. Ia selalu mengikuti kemanapun manusianya. Gawan biasanya berwujud hewan yang didapat dari berbagai kemungkinan, dan pada beberapa wilayah di Jawa menyebutnya sebagai Sawan. Misalnya dari leluhur, secara alamiah dari weton, atau diberi oleh orang pintar dengan tujuan untuk menjaga. Pada hari weton inilah biasanya gawan akan menunjukkan pengaruhnya, bahkan bisa mendominasi. Lazimnya, dalam satu pengertian ini, kita menyebutnya sebagai kesurupan. Tingkahnya menjadi berbeda, menuruti tingkah gawan.

Penolakan pandangan supranatural dalam dunia medis menghasilkan istilah Dissociative Trance Disorder, yang bermuara pada hal-hal terjelaskan secara logika. Pendeknya: hubungan otak, saraf dan sensor tubuh tidak sinkron dan berimbas pada ketidakstabilan emosi dan perilaku.

Realisme Magis dan Yang Entah

Cerita dalam Liburan Keluarga digerakkan oleh dua perspektif yang saling bertentangan. Pikiran-pikiran yang rasional ditegakkan, namun dalam waktu bersamaan diinfiltrasi oleh cara pandang supranatural sebagai salah satu realitas yang dipercayai ada dalam masyarakat.

Keterjalinan keduanya kemudian membuat batasan-batasan yang ada mengalami pelenturan, sehingga kejelasan dan ketegasan ikhwal yang dipercaya dan yang tidak, mengalami pengaburan. Lahirlah hibriditas tafsir, yang logis tercampur dengan yang supranatural. Hasilnya adalah suatu ruang baru, suatu kepercayaan tersendiri.

Tunggul, yang kebetulan bermukim dalam khasanah Jawa, menyodorkan beberapa hal sederhana dari apa yang hidup namun sekaligus disangkal dalam kesehariannya. Di tangan Tunggul, dua perspektif ini secara konsisten dan simultan tetap diperlihatkan bertentangan, tidak sinkron. Sedangkan kesinkronan dan peleburan-peleburan yang menghasilkan kepercayaan dari perspektif tersebut adalah buah dari pikiran dan partisipasi penonton, yang bagi sebagian kita adalah ia yang bernama entah. Entah nyata atau tidak, entah benar atau tidak, entah mewujud atau tidak, dan entah-entah yang lain. Yang entah ini tentulah hidup di mana ia suka, tak hanya di Jawa. Film ini memperlihatkan manifestasi kultural yang mengambil tempat dalam relasi yang berbeda, namun tetap pada entah yang sama.

Menonton Liburan Keluarga adalah menonton karnaval mini tentang perbincangan spiritual yang panjang dan melelahkan. Ia tak ke mana-mana, namun ada di mana-mana. Sialnya, kita akrab dan hidup di dalamnya, dan mungkin takkan pernah selesai.

Bagi saya, Liburan Keluarga adalah film terkuat Tunggul Banjaransari, sekaligus merupakan sumbangan berharga bagi perkembangan sinema tanah air.

Liburan Keluarga | 2012 | Sutradara: Tunggul Banjaransari | Negara: Indonesia | Pemain: Ichlasul Akbar, Irene Astrid, Bambang Wahyupurnomo, Jatmiko