Antara Mimpi dan Kenyataan: 5 Film yang Tak Diduga Jenaka

fulan-fitri-mohan_hlghMenonton film adalah kegiatan yang selalu saya lakukan, sengaja atau tidak sengaja, dengan alasan yang macam-macam, misal untuk mencoba mengerti bahayanya pengambilan gambar-gambar di film jaman baheula saat teknologi belum secanggih sekarang atau untuk membuat keponakan berhenti menangis akibat ibunya masih belum pulang dari resepsi kawinan tetangga sebelah. Dengan alasan yang macam-macam itulah, maka film favorit saya bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Pada masa ketika produksi film sudah begitu bejibun banyaknya, memilih lima film saja untuk dinobatkan sebagai film favorit personal adalah sebuah hil yang agak mustahal.

Lima film ini punya kesamaan yaitu menghadirkan mimpi atau keinginan dengan kenyataan yang akhirnya dipilih dan dihadapi para tokoh/karakter. Bagian kecil yang ikut melezatkan tiap film adalah selalu ada hal yang jenaka dan pas di tengah sesuatu yang khusyuk.

fulan-fitri-mohan_01

Roman Holiday (William Wyler, 1953)

Pengakuan: saya penggemar Gregory Peck karena suaranya yang berat (dan juga karena beliaunya memiliki kualitas ganteng nan tak kunjung padam sih). Karena suaranya ini, biarpun aktingnya kadang-kadang bagus dan kadang-kadang jelek, saya sering mendapati diri sendiri mengampuninya. Banyak film Gregory Peck yang saya suka, tapi film ini menempati posisi lebih tinggi dari film-filmnya yang lain karena keberadaan si kurus ceking dengan wajah ayu nan klasik yang juga bisa lucu dan jenaka, Miss Audrey Hepburn. Di film ini, Hepburn memerankan karakter yang ingin keluar dari tuntutan tugas negara yang harus dia emban tiap saat. Karakter perempuan yang berani keluar dari kungkungan adalah alasan kedua saya suka film ini. Dan alasan ketiga adalah, biarpun film ini tampak sebagai film komedi romantis nan menghibur, akhir ceritanya tetap realistis. Semacam tamparan bagi penonton untuk kembali lagi ke bumi setelah berkeliling ke dunia fantasi.

Alasan lainnya lagi adalah keberadaan vespa di kota Roma di film ini. Vespa dan kota Roma sama-sama punya kesan eksotis dan romantis di mata saya biarpun saya belum pernah mengendarai vespa apalagi putar-putar di jalanan kota Roma. Saya sadar kalau ke-belumpernah-an inilah yang mungkin menjadikannya terasa eksotis. Sebagai orang yang pernah menonton film-film Indonesia di jaman tahun 80an, adegan aktor dan aktris idola yang sedang naik vespa saat sedang pedekate atau pacaran (contoh: Roy Marten dan Christine Hakim di Badai Pasti Berlalu) membuat saya tidak bisa lepas dari mengidentikkan vespa dengan hal-hal yang cihuy tralala.

Awal saya menonton ini sungguhlah tidak sengaja. Hanya karena tahu bahwa ini film komedi jadul dengan Gregory Peck dan Audrey Hepburn di dalamnya dan saya sedang butuh sesuatu yang bisa dinikmati sambil makan siomay, maka saya tontonlah film ini. Tidak saya sangka, akhirnya siomay dan lain-lainnya saya singkirkan demi bisa menikmati penuh Roman Holiday.

Roman Holiday merupakan salah satu film yang dibuat di masa Hollywood sedang dalam masa-masa awal mencobai lokasi-lokasi syuting di negara-negara di luar Amerika. Kota Roma, Italia, menjadi salah satu tujuan favoritnya. Film ini bercerita tentang putri raja yang nyaris mati saking bosannya dengan acara-acara protokoler yang harus dia hadiri. Saat berada di kota Roma dia memutuskan untuk mendapatkan me-time dengan cara kabur malam-malam dan menyasarkan diri ke belantara kota. Pada saat kabur inilah sang putri bertemu jurnalis yang awalnya tak tahu bahwa si eneng yang kesasar dan ngantuk melulu itu adalah si putri raja. Akhirnya si jurnalis tahu, tapi memutuskan untuk pura-pura tidak tahu. Sementara si putri raja yang berusaha menyamarkan identitasnya tidak tahu menahu bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang lelaki yang berprofesi jurnalis. Ini karena si jurnalis juga menyamarkan identitasnya di depan si putri raja. Ini keribetan yang mengasyikkan dan yang membuat cerita berjalan ke depan dengan hal-hal yang sebetulnya juga mudah ditebak tapi tetap asyik ditonton.

Roman Holiday mengisahkan hal yang sederhana tapi bisa meninggalkan jejak di hati saya karena kekuatan akting para aktor (terutama Hepburn yang aktingnya sangat alami) dan kepiawaian sutradaranya. Misal, adegan tanpa dialog saat si putri raja yang sedang ngantuk berat berjalan menaiki tangga mengikuti si jurnalis ke apartemennya. Atau adegan dansa di Sant’ Angelo (yang sampai sekarang masih bikin saya penasaran karena belum menemukan apa saja lagu-lagu yang dipakai). Atau adegan vespa yang bablas di tangan Hepburn. Adegan ini dipicu hal sepele sekali, tapi dengan cara begini sang sutradara mengajak penonton menyaksikan detil kota Roma. Tidak ada adegan-adegan yang terlalu berlebihan. Semua dialog dan adegan terasa halus dan pas sampai ke adegan terakhir yang sempurna dan realistis.

fulan-fitri-mohan_02

Tampopo (Juzo Itami, 1985)

Telah berulang kali saya menonton Tampopo dan setiap kali itu pula sensasi yang diundang sama: rasa lapar. Rasanya ini memang efek samping biasa sebuah film yang mengetengahkan makanan sebagai benang merahnya dengan cara yang dramatis.

Film ini keluar tahun 1985 dengan skrip dan penyutradaraan oleh Juzo Itami. Lewat Tampopo, sang sutradara rasanya ingin bercerita–dan meledek–soal kehidupan dan gaya hidup orang lewat makanan. Film Jepang satu ini jadi favorit saya karena bercerita tentang karakter seorang perempuan yang berani susah payah belajar meningkatkan pengetahuan memasak demi kembali larisnya usaha dagang mie yang nyaris bangkrut sejak suaminya–yang biasa mengurus warung–meninggal dunia.

Kisah sang ibu yang beranak satu dan ditinggal suaminya ini hanya satu dari beberapa karakter yang dijabarkan di film. Di sepanjang film, makanan menjadi perekat masing-masing karakter. Dan dari karakter-karakter yang tidak selalu berhubungan satu sama lain itu, penonton diajak melihat kelakuan macam-macam hidup dan orang. Cerita-cerita yang muncul digambarkan dengan memasukkan genre Western yang serius – saya selalu ingat John Wayne dengan topi cowboy dan kisah gedebak-gedebuknya sebagai penggarisbawahan kejantanan sang tokoh–tapi gedebak-gedebuk di film ini adalah demi… kesempurnaan resep ramen. Selain itu, Itami juga memakai gaya film-film gangster Jepang yang biasanya berisi gerombolan manusia bertampang dingin yang siap membunuh. Dalam film ini, mereka semua… siap makan.

Salah satu yang jadi fokus Itami adalah fakta bahwa orang bisa menyombongkan diri dengan menggunakan makanan. Kesombongan inilah yang diledek habis-habisan olehnya. Misalnya, adegan seorang ibu-ibu yang mengajar cara makan ala John Robert Powers ke para perempuan yang bersiap praktek makan yang benar dengan menu spaghetti. Si ibu pengajar bilang: tidak boleh ada suara seruput, harus begini dan begitu. Lalu kamera hinggap ke seorang pria asing berkulit putih yang sedang makan spaghetti tak jauh dari situ dengan suara srupat-sruput kencang. Kehadiran ajaran ala John Robert Powers yang penuh tata krama itu akhirnya berubah jadi John Robert Power Rangers: semua orang akhirnya makan dengan orkestra srupat-sruput yang membahana dengan wajah-wajah yang jauh merasakan kenikmatan.

Itami sepertinya mendramatisir hal-hal sepele untuk membuat penonton merasakan sensasi lain dari makanan secara berbeda. Bahwa makanan tidak cuma untuk memulihkan rasa lapar. Bahwa makanan sedikit banyak memiliki sisi erotismenya sendiri. Juga bahwa makanan bisa punya kekuatan yang mampu membuat orang sakit keras bisa masak untuk terakhir kali. Yang terakhir ini saya pikir agak kejam, tapi kemudian saya mengerti bahwa Itami ingin menggarisbawahi (lagi-lagi secara dramatis dan lagi-lagi dengan unsur meledek) bagaimana makanan bisa punya peranan yang sangat penting dalam mengingat sesuatu atau seseorang.

Hal ini terutama saya alami sendiri sejak saya jauh dari kota dan negara di mana saya lahir dan tumbuh. Saya yang tidak suka makan, tidak suka masak, dan tidak suka berada di dapur bisa menjadi orang yang suka makan, (agak) suka memasak, dan akhirnya senang berada di dapur demi mengkreasikan kembali masakan-masakan yang membuat saya dekat dengan kenangan atas orang-orang yang saya cintai dan sudah tidak ada lagi di dunia ini. Bahwa kadang, makanan juga mengandung memori yang terlampir dengan halus di setiap bahan-bahan masakannya.

fulan-fitri-mohan_03

Amelie (Jean-Pierre Jeunet, 2001)

Amelie bercerita tentang seorang gadis pemalu yang berusaha membuat hidup orang-orang di sekitarnya menjadi lebih berwarna, film ini enak dinikmati karena penggarapan cerita dan gambar yang unik, penuh humor dan dengan semangat bermain-main yang tinggi.

Lagi-lagi, tokoh perempuan yang berani membuat sesuatu untuk orang lain (dan akhirnya untuk dirinya sendiri) adalah salah satu alasan kenapa ini jadi film favorit. Cara Jeunet menjabarkannya membuat saya bisa menikmati gambar per gambar secara terpisah maupun saat sudah dijahit bersama. Jeunet tahu betul bagaimana menghasilkan gambar dengan efek sinematik yang indah tanpa lupa memasukkan unsur humor bahkan saat menggambarkan adegan matinya seseorang. Banyak adegan membuat penonton merasa diajak ngobrol dan membuat saya merasa sedang didongengi seorang kawan yang pemalu sekaligus usil. Ini dicapai lewat narator yang bercerita pada penonton tentang sepak terjang Amelie, tapi ada saat-saat dimana tokoh-tokoh lain di dalamnya termasuk Amelie menengok ke kamera entah sedang tersenyum atau bicara pada penonton.

Saya suka bagaimana karakter Amelie yang pemalu dan penyendiri ini tidak lalu jadi pasif dan menutup diri. Sejak kecil ia digambarkan senang memperhatikan hal sepele. Hal-hal yang menurutnya “tak adil” ia carikan “keadilan” lewat versinya yang jahil. Misalnya adegan saat petite Amelie yang sedang senang-senangnya memotret apa saja dengan kameranya membalas kelakuan tetangganya, seorang penggila bola, yang sebelumnya menuduh kameranya telah membuat kecelakaan mobil di dekat mereka. Saat si tetangga sedang deg-degan menonton dan menunggu gol, setiap kali gol mau masuk setiap kali itu pula Amelie mencabut salah satu kabel antena tivi sehingga layar televisi si tetangga jadi blur. Ini balas dendam yang tidak epic, tidak sampai harus diselesaikan secara adat, tapi semua penggila bola pasti merasakan bagaimana senada dan seiramanya momen ini dengan orgasme yang tak kesampaian.

Soal orgasme ini juga dipikirkan secara sembarangan oleh Amelie yang telah beranjak gadis dan senang bertanya tentang hal-hal kecil yang nggak penting seperti “berapa orang yang mendapatkan orgasme malam ini?” Adegan ini digambarkan Jeunet dengan urutan cepat gambar-gambar pasangan yang sedang bercinta dengan suara menjerit-jerit meledak dalam kenikmatan. Setelahnya, wajah Amelie menengok ke kamera dan dengan senyum jailnya ia berbisik ke arah penonton memberitahukan hasil hitungannya. Ini jadi salah satu adegan singkat favorit saya di film favorit saya.

fulan-fitri-mohan_04

The Triplets of Belleville (Sylvain Chomet, 2003)

Dari sekian banyak jenis film, saya tidak pernah melewatkan kesempatan menonton film animasi. Pertama, film animasi memberikan saya pengalaman lain dalam menonton film. Kedua, saya sudah menonton film animasi dari kecil dan karena itu adalah sebuah kesaksian yang menyenangkan melihat dari tahun ke tahun semakin banyak pembuat film animasi keluar seiring dengan perkembangan teknologi.

Tak cuma di Amerika, negara-negara lain akhirnya punya studio film animasi yang menelurkan gaya khasnya sendiri seperti Studio Ghibli-nya Hayao Miyazaki di Jepang (salah satu favorit saya: My Neighbour Totoro) atau Aardman Studio di Inggris (salah satu favorit saya: Chicken Run).

The Triplets of Belleville (Les Triplettes de Belleville) ditulis dan disutradarai Sylvain Chomet, animator tersohor dari Prancis. Ceritanya berkisar tentang seorang nenek, Madame Souza yang mengasuh dan membesarkan cucunya, Champion, setelah kedua orangtuanya tiada. Setelah tahu bahwa sang cucu yang sangat pendiam dan selalu tampak murung itu senang dengan sepeda, dibelikanlah Champion barang tersebut. Kegemaran Champion bersepeda dari kecil membuatnya jadi pesepeda profesional. Saat ia mengikuti Tour de France, Champion diculik. Menemukan dan membawa pulang kembali sang cucu ke haribaan Madame Souza menjadi cerita selanjutnya yang menghubungkan si nenek dengan trio penyanyi terkenal yang dijadikan judul film ini, The Triplets of Belleville. Trio yang terkenal sejak puluhan tahun lalu itu diceritakan sudah jadi nenek-nenek saat bertemu Madame Souza yang mencari cucunya. Madame Souza akhirnya menjadi bagian dari The Triplets of Belleville begitu juga sebaliknya. Para nenek ini bersatu tak bisa dikalahkan dalam menghadapi mafia Prancis dan orang-orang yang dipekerjakan untuk menculik cucunya.

Saya terpukau dengan detil gambar yang ditampilkan di sini. Panorama, sudut-sudut dan kondisi kota juga para penghuni dan kebiasaannya dari yang paling jorok sampai yang paling glamour ditampilkan dengan detil yang kaya tekstur sehingga menjadikannya terasa riil. Dan itu baru satu detil saja. Masih banyak detil lain yang membuat mata bisa menjelajah tanpa lelah.

The Triplets of Belleville menunjukkan bahwa film animasi punya kekuatan yang sama bahkan mungkin lebih dari film bukan animasi. Apa yang tidak bisa diraih atau akan makan waktu lama jika memakai medium film secara umum, dicapai dengan optimal dan jenius di sini, misal: saat salah satu anggota trio mencari bahan makanan untuk makan malam dan panen kodok.

Kekayaan utama The Triplets of Belleville, seperti yang sudah saya sebutkan tadi, ada pada gambar-gambar yang kaya detail yang bercerita dengan sendirinya tanpa banyak dialog. Gambar yang bicara sendiri ini bisa dibuktikan ketika saya menontonnya dengan mengaktifkan tombol mute. Ceritanya tetap bisa dimengerti dan tidak membingungkan. Tanpa banyak narasi, film yang berselang-seling dengan lagu-lagu yang dibawakan trio nenek ini bergulir riil dan bertenaga. Saya terutama suka dengan penggunaan tokoh nenek-nenek yang masih terus perkasa biarpun sudah tua dan bongkok. Karakter-karakter kuat dan banyak akal tanpa harus jadi macho yang berjalin dengan gambar yang dihidupkan lewat detil yang melimpah menjadikan The Triplets of Bellevile masuk dengan lancar sebagai film favorit.

SOURCE CREDIT - "British Film Institute" Reproduction of this image requires the appropriate copyright clearance. In making this image available, the bfi confers no licence to use or copy the image. All copyright clearance is the responsibility of the user. In consideration for making this image available, the user hereby agrees to indemnify the bfi against any claim or liability arising from the use of this image. The information service of the bfi National Library may be able to carry out copyright ownership research on your behalf. Fax +44 (0) 20 7436 0165 for details of services and costs. British Film Institute 21 Stephen Street London W1T 1LN Tel +44 (0) 20 7255 1444 http://www.bfi.org.uk/

Chronicle of a Summer (Jean Rouch & Edgar Morin, 1975)

Ini adalah salah satu film dokumenter yang bekasnya nggak pernah bisa hilang di hati. Dirilis tahun 1961, dua pembuatnya Jean Rouch dan Edgar Morin tampak jelas terpengaruh cara Dziga Vertov, pembuat film Rusia yang terkenal dengan teori Kino Pravda-nya dengan Man with A Movie Camera-nya. Secara singkat, Kino Pravda berarti kebenaran yang dicapai secara sinematis lewat mata kamera yang tidak akan sama dengan yang ditangkap mata manusia. Ini tidak berarti bahwa nilai kebenarannya berkurang atau kemudian dikorupsi tetapi menunjukkan bahwa mata manusia memiliki keterbatasan dalam menangkap yang bisa ditangkap oleh kamera.

Dalam Man with A Movie Camera, Vertov menjelaskan teori ini dengan piawai lewat dua hal: kameraman dan editor. Vertov meminta penonton terus berpikir dan selalu berada dalam kesadaran tinggi untuk melihat apa yang dia suguhkan. Film Vertov ini menabukan pendekatan teater dan literatur dalam film sehingga ia sengaja membuat filmnya secara eksperimental tanpa adanya struktur tiga babak, tanpa karakter yang mengalami perkembangan dari A sampai Z, dan tanpa narasi. Meski tidak memiliki hal-hal itu, Man with A Movie Camera yang dikeluarkan tahun 1929 adalah film dokumenter yang pengaruhnya amat kuat dari masa ke masa hingga dijadikan inspirasi bagi Jean Rouch dan Edgar Morin untuk membuat eksperimen sejenis lewat Chronicle of A Summer (Chronique d’un été). Perbedaan diantara kedua film adalah, dalam eksperimen Rouch dan Morin, mereka memasukkan karakter-karakter sebagai penghidup dari film dokumenter mereka.

Tanpa adanya skrip dan tak memiliki struktur, Chronicle of A Summer meluncurkan satu demi satu karakter-karakter yang berawal dari interview Rouch dan Morin ke kawan dekat mereka, seorang perempuan bernama Marceline yang kemudian beranjak ke karakter-karakter lain. Semakin ke belakang, penonton diajak mengenal mereka semua lebih dekat.

Kekuatan film dokumenter ini adalah pada dibawanya kita secara intim ke karakter-karakter tersebut tanpa adanya skrip. Semuanya rata-rata adalah pekerja atau mahasiswa Prancis yang dekat dengan budaya berorganisasi dan berkumpul, bercerita dan berdiskusi, dan peduli pada kejadian tak hanya di sekitar mereka tapi juga di luar mereka. Semuanya rata-rata bercerita tentang krisis yang menimpa mereka dan bagaimana mereka semua menghadapinya.

Salah satu yang menyentuh hati adalah adegan Marceline berjalan sendirian sembari mendekatkan microphone yang terpasang di jaketnya ke mulutnya. Ia berbicara tentang pengalaman penuh kenangannya bersama sang ayah tercinta. Saya tidak mau membocorkan apa peristiwa besar dunia yang mempengaruhi hidup Marceline dengan ayahnya, tetapi adegan singkat tanpa skrip ini menunjukkan bagaimana para pembuat film dan editor benar-benar mengerti cara mengikuti karakternya lewat pengambilan gambar dengan timing dan eksekusi gambar yang pas.

Gong eksperimen film ini tentu saja diletakkan di bagian terakhir. Percakapan yang terjadi di antara mereka sungguh menarik dan tak jarang mengundang tawa. Anda harus menontonnya sendiri untuk tahu betapa sedapnya mengikuti eksperimen Rouch dan Morin ini dari awal hingga akhir.